A. Runtuhnya Kerajaan Demak
Perebutan tahta kerjaan Demak dimulai setelah meninggalnya Raja Kedua yaitu Pati Unus. Peristiwa ini menimbulkan peperangan berkepanjangan yang berakhir dengan kehancuran kerajaan. Perebutan kekuasaan terjadi antara keturunan Pangeran seda lepen dengan Pangeran Trenggana. Kedua pangeran ini memang berhak menduduki tahta Kesultanan Demak. Dari segi usia, Pangeran Seda lepen lebih tua sehingga merasa lebih berhak atas tahta Kesultanan Demak dari pada Pangeran Trenggana. Namun Pangeran Seda lepen lahir dari istri ke tiga Raden Patah, yaitu putri Adipati Jipang, sedangkan Pangeran Trenggana lahir dari istri pertama, putri Sunan Ampel. Oleh karena itu Pangeran Trenggana merasa lebih berhak menduduki tahta Kesultanan Demak. Dalam babad tanah jawi, dikatakan bahwa pangeran prawata putra sultan trenggana berutang mati kepada arya panangsang jipang, karena ia pernah membunuh pangeran seda lepen, ayah Arya panangsang jipang.
Pembunuhan ini menjadi pangkal persengketaan di Kerajaan Demak. Raden Arya Penangsang, putra Pangeran Seda lepen berusaha menuntut balas atas kematian ayahnya, sehingga ia berusaha untuk menumpas keturunan Sultan Trenggana. Apalagi ia mendapat dukungan secara penuh dari gurunya. Sunan Kudus.
Suksesi pergantian kepemimpinan pasca wafatnya Sultan Trenggona tidak dapat berjalan mulus dikarenakan terjadi konflik di Kerajaan Demak Bintoro.Faktor penyebab adalah konflik dari intern (dalam kerajaan) dan faktor ekstern (perbedaan pandangan dari para wali sembilan tentang calon pengganti Sultan Trenggono).
Terdapat perbedaan pendapat di antara para Wali. Pendapat Sunan Kalijaga, adalah Hadiwijaya alias jaka tingkir Adipati Pajang menantu Sultan Trenggana yang pantas menggantikan sebagai Raja. Alasannya meski bukan keturunan langsung Raden Patah, tetapi masih mempunyai darah Raja Majapahit.Sunan Kalijaga mengingatkan bahwa para Wali pernah mengangkat Pati Unus sebagai Sultan Demak, padahal Pati Unus tidak memiliki darah Raja Majapahit. Selain itu sikap pencalonan Sunan Kalijaga terhadap Pangeran Hadiwijaya disertai dengan alasan bahwa jika yang tampil Pangeran Hadiwijaya, maka pusat kesultanan Demak Bintoro akan dapat dipindahkan ke Pajang, sebab apabila masih di Demak, agama Islam kurang berkembang, sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila pusat kesultanan itu berada di Pedalaman (di Pajang).
Sikap dan pendapat dari Sunan Kalijaga ini tampaknya kurang disetujui oleh Sunan Kudus, karena apabila pusat kerajaan dipindahkan di pedalaman (Pajang) maka sangat dikhawatirkan ajaran Islam yang mulia, terutama menyangkut bidang Tasawuf, besar kemungkinannya bercampur dengan ajaran “mistik” atau Klenik sedangkan Sunan Kudus sedang mengajarkan ajarannya “Wuluang Reh” / penyerahan. Dari pendapat ini menunjukkan bahwa Sunan Kudus tidak setuju dengan sikap dan pendapat Sunan Kalijaga yang mencalonkan Hadiwijaya sebagai pengganti dari Sultan Trenggono.
Sunan Kudus berpendapat bahwa Arya Penangsang, Adipati Jipang Panolan, putra Pangeran Bagus Surawiyata/ Raden Kikin yang terbunuh yang berhak sebagai Sultan Demak karena Arya Penangsang adalah pewaris (keturunan) langsung Sultan Demak dari garis laki-laki yang tertua, kecuali itu Arya Penangsang adalah orang yang mempunyai sikap kepribadian yang teguh dan pemberani. Sunan Kudus meyakinkan bahwa Arya Penangsang memiliki kemampuan dalam tata negara dan merupakan pemimpin yang kharismatik. Sunan Giri berpendapat bahwa Sunan Prawata, putra Sultan Trenggono yang berhak menjadi Sultan. Alasannya adalah sesuai adat dan hukum.Akhirnya Sunan Prawata diangkat sebagai Sultan.
Konflik intern Kerajaan Demak terjadi karena adanya rasa dendam berebut kekuasaan dari keturunan Pangeran Sedo Ing Lepen yang dibunuh oleh Sunan Prawata (Putera Sulung Sultan Trenggono) ternyata meninggalkan duri dalam hati keturunan Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen, puteranya yang bernama Arya Penangsang merasa lebih berhak menduduki tahta kerajaan, sebab dia beranggapan bahwa yang menduduki kursi mahkota tersebut adalah ayahnya, bukan Sultan Trenggono karena Pangeran Sekar adalah kakak dari Sultan Trenggono dan adik dari Patih Unus atau Pangeran Sabrang Lor (Sultan Syah Alam Akbar II) yang memerintah tahun 1518 – 1521 M. Atas dasar inilah Arya Penangsang berusaha untuk merebut dan menduduki tahta kerajaan Demak. Sedangkan faktor ekstern yaitu munculnya aksi saling mendukung dari para wali yang memiliki calon-calon pengganti dari Sultan Trenggono turut mewarnai situasi politik di dalam kerajaan.
Situasi politik semakin meruncing dan tambah memanas, sehingga Arya Penangsang mengambil sikap, karena merasa dialah yang lebih berhak menduduki tahta kerajaan Demak Bintoro, maka dengan gerak cepat terlebih dahulu menyingkirkan Sunan Prawata dengan pertimbangan, Sunan Prawata lah yang membunuh ayahnya, kedua dialah yang menjadi saingan berat dalam perebutan kekuasaan itu, akhirnya Sunan Prawata mati terbunuh beserta isterinya oleh budak suruhan Arya Penangsang / “Soreng Pati” yang bernama “Rungkut”, pada tahun 1546. Setelah Sunan Prawata wafat, ia kemudian membunuh Pangeran Hadiri, suami Ratu Kalinyamat. Pangeran Hadiri berhasil dibunuh oleh pengikut Arya Penangsang dalam perjalanan pulang dari Kudus, mengantarkan istrinya dalam rangka minta keadilan dari Sunan Kudus atas dibunuhnya Sultan Prawata oleh Arya Penangsang. Namun Sunan Kudus tidak dapat menerima tuntutan Ratu Kalinyamat karena ia tidak memihak Arya Penangsang. Menurut Sunan Kudus, Sultan Prawata memang berhutang nyawa kepada Arya Penangsang yang harus dibayar dengan nyawanya. Arya Penangsang juga mencoba membunuh Adipati Pajang Hadiwijaya, menantu Sultan Trenggana.
Kematian Sunan Prawata dan Pangeran Hadiri tampaknya membuat selangkah lagi bagi Arya Penangsang untuk menduduki tahta Demak. Meskipun pembunuhan terhadap Sunan Prawata dan Pangeran Hadiri telah berjalan mulus, namun Sunan Kudus merasa belum puas apabila Arya Penangsang belum menjadi raja, karena masih ada penghalangnya yaitu Hadiwijaya. Atas nasehat Sunan Kudus, Arya Penangsang berencana membunuh Hadiwijaya namun mengalami kegagalan.Kegagalan itu mendorong pecahnya perang antara Jipang dengan Pajang.Di luar dugaan pihak Sunan Kudus dan Arya Penangsang, ternyata Ratu Kalinyamat tampil memainkan peranan penting dalam menghadapi Arya Penangsang. Ratu Kalinyamat minta kepada Hadiwijaya untuk membunuh Arya Penangsang. Didorong oleh naluri kewanitaannya yang sakit hati karena kehilangan suami dan saudara, ia telah menggunakan wewenang politiknya selaku pewaris dari penguasa Kalinyamat dan penerus keturunan Sultan Trenggana. Ratu Kalinyamat memiliki sifat yang keras hati dan tidak mudah menyerah pada nasib. Menurut kisah yang dituturkan dalam Babad Tanah Jawi, ia mertapa awewuda wonten ing redi Danaraja, kang minangka tapih remanipun kaore (bertapa dengan telanjang di gunung Danaraja, yang dijadikan kain adalah rambutnya yang diurai). Tindakan ini dilakukan untuk mohon keadilan kepada Tuhan dengan cara menyepi di Gunung Danaraja. Ia memiliki sesanti, baru akan mengakhiri pertapaanya apabila Arya Penangsang telah terbunuh. Karena ratu kalinyamat adalah ipar Jaka Tingkir, maka ia sanggup membalaskan kematian pangeran kalinyamat. Demikianlah, jaka tingkir akhirnya berjasil membunuh arya panangsang jipang.Dengan bantuan Ki ageng pemanahan dan ki ageng panjawi.Dinasti di demak berakhir pada tahun 1546, hanya bertahan selama 68 tahun.Sejak awal pembangunannya hanya berumur 71 tahu.Pada tahun itu juga, berdirilah kesultanan baru di pajang. (Slamet muljana : 246 )
B. Awal Terbentuknya Wilayah Mataram
Wilayah yang masih berbentuk hutan yaitu daerah Mentaok yang diberikan oleh sultan Hadiwijaya dari kerajaan Pajang, diberikan oleh Ki Ageng Pamanahan dan anaknya Sutawijaya atas jasanya dalam menaklukan kerajaan Demak. kedau orang ini membuka hutan yang kan dijadikan sebagai pemukaiman dan daerah wilayah kekuasaanya pada tahun 1577. Dari daerah pemukiman yang kecil lama-kelamaan menjadi daerah yang tumbuh makmur dan menjadi kota besar dan dinamakan Mataram.[1]
Kemajuan yang dialami oleh Mataram ini menjadikakn wilayahnya menjadi daerah perdagangan juga dari berbagai wilayah. Setelah 7 tahun menjadi meminpin Mataram Ki Ageng Pamanahan menyebut dirinya sebagai Ki Gede Mataram dan menjadi penguasa Mataram. Ki Ageng Pamanahan menguasai semua tanah yang ada diwilayahnya dan rakyat sebagai buruh yang menggarap sawah, sehingga hubungan yang terjalin yaitu antara gusti dengan kawula. Namun kerajaan ini masih berada dibawah kekuasaan kerajaan Pajang.
Setelah Ki Ageng Pamanahan wafat pada tahun 1584, beliau digantikan oleh anaknya yaitu Sutawijaya. Pada masa pemerintahan Sutawijaya, wilayah Mataram ini mulai mngembangkan daerahnya, dengan memperkuat bidang militernya dan membangun benteng mengelilingi daerah Matarm. Hal ini dilakukan untuk melindungi Mataram dari serbuan daerah lain.
Hal tersebut membuat sultan Hadiwijaya selaku raja Pajang merasa tidak senang, apalagi ditambah perkataan Sunan Giri terhadapt Hadiwijaya yang menyebutkan akan lahir kerjaan baru yang akan menyaingi kerajaan Pajang. Sehingga pada tahun 1587, pasukan Pajang hendak mnyerang Mataram, akan tetapi disana ternyata sedang mengalami musibah letusan gunung Merapi. Namun dalam musibah tersebut Sutawijaya selamat, dan bersiap mengahadapi pasukan dari kerajaan Pajang. Pertempuranpun tak dapat dihindari, hingga akhirnya pasukan Pajang kalah.
C. Kerajaan Pajang di Bawah Kekuasaan Mataram
Kerajaan Pajang merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di pedalaman.Tidak seperti kerajaan-kerajaan lainnya yang biasanya berada di sekitar pesisir.Sebelum menjelma menjadi kerajaan, Pajang merupakan daerah yang bereda dalam kekuasaan Demak.Lokasinya terletak di daerah Kartasura, dekat Surakarta (Solo).Pada waktu itu yang menjadi adipati (semacam bupati) di Pajang adalah Joko Tingkir.Joko Tingkir ia merupakan keturunan Raja Pengging yang bernama Handoyoningrat. Pengging ini terletak di lereng tenggara Gunung Merapi, Jawa Tengah.Setelah setelah berhasil menghabisi Arya Penangsang, Joko Tingkir naik tahta menjadi sultan pertama Pajang, bergelar Raden Hadiwijaya.
Pada tahun 1554, Sultan Hadiwijaya merebut daerah Blora, dekat Jipang. Pada tahun 1568, semua perangkat kebesaran Majapahit yang terdapat Demak ia pindahkan ke Istana Pajang. Selanjutnya, guna melebarkan sayap kekuasaannya ia menyerang Kediri pada tahun 1577. Tiga tahun setelah itu, raja-raja di Jawa Timur mengakui kedaulatan Pajang.Hadiwijaya wafat pada tahun 1587, dimakamkan di Desa Butuh.Ia digantikan oleh menantunya, Arya Pangiri. Arya Pangiri sendiri adalah putera Sunan Prawoto dari Demak.Arya Pangiri lalu mengangkat Pangeran Benawa (Benowo), anak Hadiwijaya, menjadi adipati di Jipang.Karena merasa lebih berhak atas tahta Pajang, Pangeran Benawa melakukan pemberontakan terhadap Pangiri.Ia dibantu oleh sejumlah pejabat Demak. Selain Demak, Benawa juga dibantu oleh adipati Mataram, Panembahan Senopati (Sutawijaya). Karena didukung kekuatan yang lebih besar,Pangeran Benawa berhasil mengalahkan Pangiri, yang tak lain masih saudara iparnya sendiri. Benawa menjadi sultan Pajang pada tahun 1588.
Tak lama kemudian, setelah satu tahun menjabat sebagai raja Pajang, Pangeran Benawa wafat. Sebelum wafat dia berpesan agar Sutawijaya mau untuk menjalankan pemerintahan kesultanan Pajang. Sehingga sejak saat itu Sutawijaya menjabat sebagai raja kerajaan Mataram Islam pertama. Dan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Sultan Benawa, Sutawijaya tidak mau menggunakan gelar sultan.[2]
Pada perkembangan selanjutnya, Pangeran Benawa lebih memilih menjadi penyiar Islam daripada mengurusi Pajang.Karena itu, yang berkuasa atas Jawa selanjutnya adalah Mataram.Pada tahun 1589 Pangeran Benawa digantikan oleh Gagak Bening atas kebijakan Sutawijaya.Pada tahun 1591, Gagak Bening meninggal dan digantikan oleh anak Benawa, yang ketika itu telah menjadi bawahan Mataram.Pada tahun 1618, putera Benawa memberontak terhadap Sultan Agung, Raja Mataram.Karena tak seimbang, Sultan Agung dengan mudah melumpuhkan perlawanan penguasa Pajang ini.Abdi-abdi Pajang yang selamat melarikan diri ke Giri dan Surabaya. Setelah pemberontakan betul-betul redam, Sultan Agung mengirimkan penduduk Pajang ke Mataram untuk menjadi buruh kerja paksa. Dengan demikian, tamatlah riwayat Pajang yang berkuasa hanya 45 tahun.Seluruh pusaka kerajaan lalu Pajang dipindahkan ke Mataram.
D. Dinasti Mataram Islam
1. Masa Pemerintahan Raja Sutawijaya
Sutawijaya yang bergelar Panembahan senopati memerintah kerajaan Mataram dari tahun 1584-1601. Setelah ia menguasai kerajaan Pajang, maka daerah kerajaan Mataram menjadi sangat luas sampai daerah bagian pantai utara Jawa. Lalu ia berusaha melakukan penaklukan-penaklukan daerah yang dulunya adalah daerah dibawah kekuasaan Pajang seperti Jepara, Madium, Kediri. Sehingga bisa dikatakan bahwa kekuasaan Mataram menjadi sangat luas dari Jawa bagian selatan sampai Utara. Pusat pemerintahan Mataram Islam berada di Mentaok, pada awal pemerintahan letak keratonnya berada di Banguntapan, namun dipindahkan ke kotagede, dan menjadikan kotagede tumbuh menjadi kota yang besar makanya kenapa dinakan kotagede atau sebuah kota yang besar.[3]
Untuk mengkukuhkan silsilahnya, Panembahan Senopati melakukan pernikahan dengan beberapa putri raja dikerajaan lain seperti putri Ki Ageng Giring dari Gunung Kidul, putri dari penguasa Pati Ki Penjawi. Pengukuhan silsilah ini dilakukan untuk membentu sebuah dinasti yang akan dijadikan landasan kekuasaannya. Bahkan dalam melakukan pengukuhan, Panembahan Senopati ini, beliau menikah dengan Ratu penguasa pantai selatan atau Kanjeng Ratu Kidul. Atas hal tersebut, Kanjeng Ratu Kidul berjanji akan melindungi kerajaan Matram Islam sepanjang masa. Dan akan menjadi pendamping siapapun yang menjadi raja di Mataram Islam. Sepanjang masa pemerintahannya, Panembahan Senopati melakukan penyerangan-penyerangan militer, seperti ke Madiun, Tuban, Lamongan, Surabaya, Malang, Blitar, Lasem dan sampai Sumenep. Hal ini dilakukan agar Mataram Islam mampu menguasai keseluruhan daerah pulau Jawa. Setelah berkuasa selama 13 tahun, Panembahan Senopati akhirnya wafat, yang kemudian dimakakan disamping makam ayahnya yaitu Ki Ageng Pamanahan.
2. Masa Pemerintahan Raja Panambahan Anyakrawati
Berbeda dengan ayahnya yaitu Panembahan Senopati yang pada sepanjang masa pemerintahannya banyak melakaukan penaklukan-penaklukan didaerah lain sehingga perkembangan kota kerajaanya tidak terlalu diperhatikan. Panambahan Anyakrawati atau yang bernama asli Mas Jolang, lebih banyak mengurusi dan membangun kotanya yaitu Kotagede. Sehingga dalam hal segi fisik Kotagede tumbuh pesat dan tampilannya menjadi kota yang sangat megah. Sehingga hal ini membuat Panambahan Anyakrawati dijuluki sebagai tokoh pembangunan Mataram.[4]
Namun dia tidak lupa untuk meneruskan perjuangan ayahnya untuk menaklukan daerah lain. Hal ini terbukti Panembahan Anyakrawati tetap berkali-kali melakukan penaklukan seperti di Demak, Kediri, Giri dan Gresik yang hendak memberontak dan melepaskan diri dari Mataram. Pemberontakan tak hanya dilakukan oleh daerah-daerah dibawah kekuasaan Mataram, bahkan Panembahan Anyakrawati harus menghadapi kakaknya sendiri yang menjadi Adipati Demak, yang merasa kecewa karena tidak menjadi raja Mataram. Pada masa pemerintahan Panembahan Anyakrawati ini lah, VOC kongsi dagang Belanda datang ke Indonesia. hal ini tak membuat Panembahan Anyakrawati melalukan perwanan, malah mataram menawarkan bantuan kepada Belanda dalam hal keamanan. Raja menganggap bahwa bekerjasama dengan VOC akan menguntungkan Mataram dalam hal perluasan perniagaan kerjaan mereka. Saat Panembahan Anyakrawati sedang kritis akibat serangan rusa saat sedang melakukan perburuan, beliau berpesan kepada Pangeran Purboyo, agar mengangkat anaknya Pangeran Martopuro sebagai penggantinya raja Mataram Islam. Setelah Panembahan Wafat pada tahun 1613, Pangeran Martapuro diangkat sebagai raja sementara, menunggu anak Panembahan Anyakrawati yaitu Mas Rangsang pulang dari tirakatnya diwilayah selatan Mataram.
3. Masa Pemerintahan Sultan Agung
Setelah satu tahun melakukan tirakatnya, Mas Jolang yang merupakan anak sulung Panembahan Anyakrawati pulang dan mengantikan Pangeran Martopuro sebagai raja kerajaan Mataram Islam, dia ber gelar Sultan Agung Senapati Ing Alaga Ngaburachman Sayidin Panatagama. Mas Rangsang bertekat untuk membawa Mataram dalam kejayaannya. Sultan Agung lalu memindahkan kerajaan Mataram ke Kerto disebelah selatan Kotagede. Sultan Agung kemadian membangun kratonya dan memperkuat bidang kemiliterannya dengan melatih angkatan lautnya.
Beberapa penyerangan juga dilakukan oleh Sultang Agung yaitu penyerangan ke Madura. Beliau berhasil mempersatukan wilayah-wilayah di Madura yang sebelumnya terbagai-bagi dan berhasil dipersatukan dalam satu kekuasaan Sampang. Dengan meminta bantuan Kerajaan Banten, Sultan Agung menyerang Raja Sumenep. Atas penyerangan tersebut orang-orang yang memberontak dari Sumenep dibawa ke Mataram untuk diberi hukuman mati. Kemudian memindahkan hampir 40ribu penduduk Madura ke Jawa, sehingga menjadikan Madura menjadi seperti pulau yang tak berpenghuni.[5]
Sedangkan untuk kerajaan-kerajaan yang berada di Jawa bagian barat mersedia menyerahkan diri untuk berada dibawah kekuasaan Mataram. Sehingga setiap tahunnya mereka akan mengirimkan upeti kepada kerajaan Mataram. Kerajaan yang dapat ditaklukkan yaitu kerajaan Cirebon dan Pakuan. Dan membuat pada tahun 1628, wilayah mataram hampir mencakup seluruh pulau Jawa.
Untuk menaklukan kerajaan Banten, Mataram meminta bantuan kepada VOC atau Belanda untuk membantu menyerang Banten. Akan tetapi permintaan bantuan Mataram tersebut ditolak oleh pihak Belanda, sehingga membuat Sultan Agung merasa Belanda membela Banten. Oleh krena itu, Mataram hendak menyerang dan mengambil alih Batavia dari tangan Belanda. Namun penyerangan yang dipimpin oleh Tumenggng Bhahurekso yang dilakukan baik dari laut ataupun darat dapat digagalkan oleh Belanda, dan Bhahurekso meninggal dalam peperangan tersebut.
Setelah kegagalan tersebut, penyerangan kembali dilakukan yaitu pasukan yang dipimpin oleh Surongalolo dan pada tahun 1629, namun semua penyerangan tersebut dapat dikalahkan oleh Belanda. Kemudian pihak Belanda melakukan perlawanan ke Kreto, namun penyerangan tersebut ternyata mendapat penyerangan dadakan dari pasukan Mataram. Permintaan bantuan kepada kerajaan Pasundanpun oleh Mataram ditolak oleh raja Bumi Pasundan. Sehingga membuat Sultan Agung geram dan menghukum raja serta rakyatnya di Kreto dengan hukuman mati.
Atas hukuman yang diberikan oleh Sultan Agung tersebut, banyak rakyat sunda pada akhirnya meminta bantuan kepada pihak Belanda. Sehingga banyak raktyat sunda yang dijadikan serdadu Belanda dan digunakan untuk membantu melindungi Belanda dari serangan Mataram. Adanya keinginan Sultan Agung untuk mempersatukan kedua kekuasaan yaitu kekuasaan dunia dan kekuasaan agama. Hal ini dilakukan untuk mendongkrak kewibawaan seorang raja. Dari hasil penyatuan ini, Sultan Agung mengakui sistem penanggalan baru yang menggunakan perhitunggan berdasarkan perhitungan peredaran bulan atau sering kita kenal dengan penanggalan Qomariah.[6]
Kemudian Sultan Agung berusaha menaklukan Gresik yang ditempati oleh Sunan Giri yang merupakan keluarga wali terkemuka diJawa. Kemudian setelah Pangeran Pekik dinikahkan dengan adik raja, Pangeran Pekik yang masih merupakan keturunan Sunan Ampel, melakukan penyerangan, dan Gresik berhasil diduduki oleh Mataram.
Ambisi Sultan Agung untuk menjadikan dirinya memiliki kewibawaan seorang wali sebagai raja, dia memerintahakan bawahannya utuk pergi ke Mekkah. Disana utusan Sultan Agung meminta kepada raja Arab memohon gelar bagi Sultan Agung. Setelah kembali gelar tersebut didapatkan yaitu Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani.
Selanjutnya Sultan Agung membangun komplek pemakaman di Pegunungan Girilaya yang berada di timur laut Imogiri. Makam tersebut akan dijadikan sebagai komplek pemakaman raja-raja Mataram. Dan pada akhirnya Sultan Agung meninggal pada tahun 1645.
E. Terpecahnya Mataram
Kerajaan Mataram Islam. Kembali bergejolak karena adanya perebutan tahta antar keluarga istana. Antara Pangeran Pakubuwono III dengan pangeran Mangkunbumi dan Raden Mas Said. Pakubuwono naik tahta menjadi Raja Kasunanan Surakarta pada tanggal 15 Desember 1749 menggantikan ayahnya. Ia dilantik menjadi Raja Kasunanan Surakarta oleh Baron Von Hohendorff, Gubernur Pesisir Jawa bagian timur laut. Ia adalah Raja keturunan Mataram pertama yang dilantikoleh VOC. Ketika Pakubuwono III memerintah Mataram, terjadi pemberontakan yang dilakukan Pangeran Mangkunbumi dan Raden Mas Said, dari pihak pemberontak telah mengangkat Pangeran Mangkubumi sebagai raja Mataram, dan Raden Mas Said sebagai Patihnya.
Pasukan pemberontak semakin kuat, karena banyak pejabat Surakarta yang memilih bergabung dengan Pangeran Mangkubumi. Akan tetapi, pasukan tersebut tidak mampu mengusir Pakubuwono III dari istana, sebab Pakubuwono III dilindungi oleh VOC. Walaupun demikian, Mangkubumi sangat percaya diri, berkat kewibawaan yang diamiliki, hampir seluruh wilayah Mataram mendukung dan berpihak kepadanya. Mas Said, keponakannya, telah merestui dan mengakui kedudukan dan kedaulatan Mangkubumi. Bahkan, hubungan Mangkubumi dengan Mas Said semakin erat, karna Mas Said dinikahkan dengan salah satu putriMangkubumi.
Selama berjalannya waktu, pemberontakan dibagian Timur wilayah Yogyakarta yang dipimpin oleh Raden Mas Said, lebih membuahkan hasil. Ia berhasil menguasai Madiun dan Ponorogo, lalu ia mengangkat Bupati di daerah yang ditaklukkannya tersebut. Namun, ternyata hal tersebut membuat Pangeran Mangkubumi merasa dilangkahi oleh Raden Mas Said. Pangeran Mangkubumi merasa, bahwa pengangkatan para bupati merupakan hak dan wewenangnya.
Oleh karena itu, Pangeran Mangkubumi segera mencopot para bupati yang diangkat oleh Raden Mas Said tersebut. Tindakan Pangeran Mangkubumi yang sewenang-wenangnya ini membuat Raden Mas Said merasa tersinggung, sehingga hubungan mereka menjadi renggang, bahkan saling bermusuhan.
Tekad Raden Mas Said untuk menjadi Raja Mataram pun semakin bulat. Ia kemudian memerangi PangeranMangkubumi, yang notabene adalah ayah mertuannya sendiri. Mas Said pun memperlihatkan kesungguhannya dalam berperang. Hal ini dilakukan untuk melampiaskan rasa marah dan sakithatinya.
Akhirnya pada tanggal 13 Februari 1755, ditandatanginya Perjanjian Giyanti, yang merupakan kesepakatan antara VOC, (pihak Mataram diwakili oleh Sunan Pakubuwono III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi. Berdasarkan perjanjian ini, wilayah Mataram dibagi menjadi dua, yaitu wilayah disebelah timur Kali Opak (melintasi daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris tahta Mataram, Sunan Pakubuwono III, dan tetap berkedudukan di Surakarta. Sedangkan, wilayah disebelah barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi, yang kemudian diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta.
Atas perjanjian tersebut kerajaan Mataram Islam Runtuh karena adanya konflik didalam kerajaannya sendiri. Dimana wilayah asli kerajaan Mataram berubah menjadi Kesultnan Yogjakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono I, dan wilayah Solo menjadi Kasunanan Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono III.
[1] Kresna, Ardian,2011,Sejarah Panjang Mataram,Yogjakarta,Diva Press, hal:28.
[2] Kresna, Ardian,2011,Sejarah Panjang Mataram,Yogjakarta,Diva Press, hal:32-33.
[3] Kresna, Ardian,2011,Sejarah Panjang Mataram,Yogjakarta,Diva Press, hal:35.
[4] Kresna, Ardian,2011,Sejarah Panjang Mataram,Yogjakarta,Diva Press, hal:38.
[5] Kresna, Ardian,2011,Sejarah Panjang Mataram,Yogjakarta,Diva Press, hal:41-42.
[6] Kresna, Ardian,2011,Sejarah Panjang Mataram,Yogjakarta,Diva Press, hal:48