A. SURABAYA
Semenjak didengarnya kabar mengenai proklamasi di wilayah Surabaya, maka masyarakat di wilayah tersebut segera melakukan gerakan-gerakan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Tiga hari setelah kabar proklamasi, mereka memperoleh perintah dari presiden untuk membentuk KNI, PNI , dan BKR. Yang pertama kali dibentuk adalah KNI (Komite Nasional Indonesia), meskipun masih dalam suasana di bawah kekuasaan Jepang, para pemimpin bangsa dan KNI berusaha keras untuk melepaskan diri dari kekuasaan Jepang. Sementara itu Residen Sudirman mendapat panggilan untuk menghadiri sidang KNIP dan Permusyawaratan Pegawai Negeri di Jakarta. Ia berangkat tanggal 27 Agustus dan kembali pada tanggal 3 September sore hari. Pada tanggal 2 September 1945, di Surabaya telah dibentuk BKR dengan anggota terdiri atas bekas anggota tentara Peta. Kegiatan pemerintahan selanjutnya ditujukan untuk mengambil alih kekuasaan untuk memperkuat aparatur pemerintahan. Namun, di dalam situasi transisi eksplosif, pemerintah belum sepenuhnya menguasai keadaan. Jepang masih berkuasa sekalipun atas nama Serikat. Gedung-gedung vital dijaga oleh Jepang dengan bertopi MP (Military Police). Usaha yang dilakukan oleh pemerintah yang terutama untuk memojokkan pegawai atau para pejabat Jepang, dilakukan dengan teknik diplomasi. Di dalam organisasi pemerintahan, pengambilalihan kekuasaan berjalan dengan baik. Pejabat-pejabat Jepang mulai dirumahkan dan tidak dipatuhi perintah-perintahnya. Sementara itu, para pemuda yang berjuang untuk merebut senjata berhasil mencapai kemajuan pesat, sampai dengan jatuhnya gedung Kempeitai pada tanggal 1 Oktober 1945. Jatuhnya gedung tersebut merupakan sebuah perlambangan terhapusnya dualisme kekuasaan di wilayah tersebut. Sejak saat itulah pemerintahan daerah Surabaya dipegang oleh Residen Sudirman dan KNI mulai berkuasa sepenuhnya. Sebagai tindak lanjut dari penyerahan Kempeitai, dilakukan perundingan antara pemimpin Indonesia dan KNI dengan Boeitaico Jenderal Iwabe yang didampingi oleh beberapa perwira Kempeitai. Hasil dari perundingan tersebut ialah: “Pada tanggal 1 Oktober 1945, PT. R. Sudirman atas nama Pemerintah RI daerah Surabaya telah menyampaikan kepada Surabaya Syucokan pernyataan sebagai berikut:
- Sekarang sudah tiba saatnya bagi kami untuk mengurus Pemerintahan sendiri dengan selengkap-lengkapnya, maka karenanya segala urusan Pemerintahan di dalam negeri ini akan kami urus dan selesaikan dengan tenaga sendiri dan mulai sekarang hanya menjalankan titah Pemerintah RI.
- Oleh karena itu, maka mulai sekarang juga segala urusan dengan wakil-wakil negari Serikat yang mengenai soal-soal negara, penduduk, dan harta benda dan sebagainya, sudah seharusnya dirundingkan dan diselesaikan oleh dan dengan kami sendiri juga.”
Pengumuman ini lebih ditegaskan lagi dengan Dekrit Pemerintah RI Daerah Surabaya, tanggal 2 Oktober yang berisi:
- BKR mulai hari ini kami angkat menjadi Badan Pemerintahan di bawah pimpinan Residen Surabaya R. Sudirman.
- Penjagaan yang memakai tanda MP mulai hari ini dihapuskan.
- Tanda matahari di peci polisi diganti dengan lencana Merah-Putih.
- Tempat BKR ada di bekas Gedung Kempeitai.
- Orang-orang Nippon ditempatkan di bekas Marine Establishment Gubeng di lapangan Jarmarkt.
- Mesiu dan senjata yang didapat hendaknya diserahkan kepada Pemerintah RI Daerah Surabaya di Kantor BKR di bekas gedung Kempeitai atau Polisi Istimewa di Coen Boulevard.
Pada masa setelah adanya pengambilalihan kekuasaan tersebut, terjadilah perundingan antara BKR-Laut dengan Serikat, dimana Serikat mengancam akan melakukan penembakan setelah lima menit jika hasil perundingan tersebut tidak dilaksanakan oleh BKR-Laut.[1]
Hasil dari perundingan tersebut antara lain:
- BKR-Laut diminta untuk menurunkan bendera merah putih yang dikibarkan di Gedung Modderlust dan menggantinya dengan bendera Inggris.
- BKR-Laut diminta untuk mengosongkan Gedung Modderlust dan sekitarnya. Dengan sangat mengejutkan pihak Serikat, BKR-Laut menolak mentah-mentah kedua tuntutan tersebut hingga akhirnya Serikat mengarahkan meriamnya ke Gedung Modderlust. Namun dengan sikap siaga dan penuh nasionalisme, para anggota BKR yang berada di dalam gedung tersebut mengambil senjata dan mencoba melindungi Gedung Modderlust. Inggris pada akhirnya menyerah dan pergi meninggalkan gedung tersebut.
1. Peristiwa 10 November 1945, Pembuktian Kekuatan Rakyat Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Kronologi Penyebab Peristiwa Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1945, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Kedatangan Tentara Inggris & Belanda . Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945,tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
2. Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya. Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya. Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih. Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
3. Kematian Brigadir Jenderal Mallaby
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal E.C. Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
4. Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party)
Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg: “… Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik… karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan “
5. Ultimatum 10 November 1945
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945. Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia. Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal mupun terluka. Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris. Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris. Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukanInggris dan India kira-kira sejumlah 600. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.
6. Isi Dari Pidato Bung Tomo
Bismillahirrohmanirrohim.. MERDEKA!!!
Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini tentara inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara jepang mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera puitih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka
Saudara-saudara di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi, pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, pemuda-pemuda
yang berasal dari Kalimantan, pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di surabaya ini di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-manahanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara dengan mendatangkan presiden dan pemimpin2 lainnya ke Surabaya ini maka kita ini tunduk utuk memberhentikan pentempuran tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya
Saudara-saudara kita semuanya kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini akan menerima tantangan tentara inggris itudan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya ingin mendengarkan jawaban rakyat Indoneisa ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indoneisa yang ada di Surabaya ini dengarkanlah ini tentara inggris ini jawaban kita ini jawaban rakyat Surabaya ini jawaban pemuda Indoneisa kepada kau sekalian hai tentara inggris kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada tetapi inilah jawaban kita:
selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga
Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah! keadaan genting! tetapi saya peringatkan sekali lagi jangan mulai menembak baru kalau kita ditembak maka kita akan ganti menyerang mereka itu kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka
Dan untuk kita saudara-saudara lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar percayalah saudara-saudara
Tuhan akan melindungi kita sekalianAllahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! MERDEKA!!!
Pidato dari Bung Tomo ini merupakan salah satu penyemangat berkobarnya perang di Surabaya. Rakyat Surabaya yang telah merelakan nyawanya bagi upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia sangatlah perlu diapresisasi dan dicontoh oleh generasi sekarang ini. Tentara Inggris, Belanda (dan negara lain yang tergabung di dalam kelompok sekutu) memang pada awalnya meragukan kekuatan bangsa Indonesia. Namun pada akhirnya mereka mengerti bahwa perjuangan yang ditempuh oleh bangsa Indonesia bukanlah hal yang bisa dianggap enteng. Pada kenyataannya, mereka dipemalukan dengan tewasnya dua jenderal yang terkenal hebat dalam menaklukkan daerah-daerah jajahan yang mereka singgahi.
B. BALI
Hal yang terjadi di Surabaya tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Bali. Tanda-tanda respons dengan perang terhadap kedatangan Belanda berawal ketika pendaratan awak kapal Belanda “Abraham Grijns” di Pelabuhan Buleleng pada 22 Oktober 1945. Pada waktu itu, terjadi sebuah peristiwa berdarah, oleh Nyoman S. Pendit disebutnya “Peristiwa Bendera di Pelabuhan Buleleng dapat dikatakan sebagai awal meletusnya revolusi perang untuk mempertahankan kemerdekaan. Setelah itu, dilakukan persiapan-persiapan dan konsolidasi menyatukan kekuatan organisasi pemuda dan kesatuan militer Republik untuk melancarkan revolusi bersenjata melawan aparatus sipil dan militer Belanda NICA. Tak lama kemudian, datang tentara Sekutu Inggris di Pelabuhan Benoa pada 18 Februari 1946. Pendaratan tentara Sekutu ini bertugas memindahkan tawanan perang, melucuti tentara Jepang serta memulihkan stabilitas keamanan setempat. Tentara sekutu Inggris ini kemudian membuka markas besar di Denpasar pada 24 Februari 1946. Menurut laporan perwira komandan Amacab Bali, J. Van Beuge, pasukan Belanda yang terdiri dari bekas tawanan perang Jepang yang ditahan di Siam, yaitu bekas anggota KNIL (tentara Hindia Belanda), sebanyak dua batalyon yang menamakan batalyon “Gajah Merah” mendarat di Pantai Sanur pada 2 Maret 1946. Pada hari itu juga, kota Denpasar dan Lapangan Udara di sebelah selatan Kuta diduduki tanpa perlawanan. Kota-kota penting lainnya segera diduduki, yaitu Gianyar pada 3 Maret, Singaraja 5 Maret, Klungkung 6 Maret, Tabanan 7 Maret. Pos-pos jaga Jepang masih dipertahankan oleh Negara, Gilimanuk pelabuhan penyebrangan ke Jawa dan Padangbai. Selanjutnya, pada 8 Maret 1946, di Denpasar Panglima Divisi India Kelima dari Surabaya, Jenderal Mansergh, yang mempunyai wewenang atas wilayah Bali menerima penyerahan dari Panglima Angkatan Perang Jepang di Denpasar. Sejauh mungkin, kontak persahabatan diciptakan dengan penduduk dan tidak ada penembakan kecuali sangat diperlukan.[2]
1. Respons Kaum Republikan
Salah satu ciri revolusi Indonesia adalah perang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perang ini mendapat dukungan dari kalangan pejuang di Bali. Respons kaum Republikan denagn cara perang, baik gerilya maupun perang terbuka, oleh pihak resmi Belanda menyebutnya sebagai gerakan teroris dari kelompok ekstrimis di daerah rekolonialisasi mereka. Di denpasar selama enam bulan terakhir ini menjadi sarana agitasi politik para pemuda dan daerah ini berada dalam keadaan kacau. Di Tabanan, para pemuda membunuh orang-orang yang setia kepada Belanda. Untuk mengatasi aksi perlawanan, maka pihak Belanda menambah jumlah personil milternya. Pada 19 maret 1946, dua kompi Eropa dari Sumbawa diberangkatkan ke Bali. Menyusul pada 25 maret, satu batalyon pasukan Bali dan Lombok mendarat untukk memperkuat operasi militer mereka. Sementara itu, di Timor berlangsung serah terima pasukan Australia kepada komandan pasukan Hindia Belanda, KNIL. Periode sejak Agustus 1945 sampai Maret 1946, dapat dikatakan sebagai situasi ketidakpastian. Merajalelanya anarki di pusat pemerintahan Republik Sunda Kecil, di bali, karena absennya otoritas negara. Hampir selama tahun 1946, aksi-aksi KNIL cukup menggila dan direspons dengan perlawanan gerilya pemuda pejuang yang militan dan revolusioner. Dapat dikatakan, respons revolusi di Sunda Kecil, khususnya Bali berkarakter konflik militer antara “orang Bali Indonesia kaum Replubikan” dan “negara kolonial”. Karakter inilah yang membedakan respons revolusi berupa revolusi sosial seperti peristiwa tiga daerah di Jawa Tengah, revolusi sosial di Aceh dan Sumatera Timur pada masa awal revolusi Indonesia. Penahan aparat sipil RI Sunda Kecil yang dipenjara pihak Belanda NICA yang bekerja sama dengan Aristrokat konservatif (raja-raja) di Sunda Kecil, tidak dapat menghentikan gerakan pendukung revolusi yang disertai dinamika intern pergolakannya. Dinamika intern yang ditandai konflik internal antara kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat ikut mewarnai wajah respons lokal revolusi. Kelompok-kelompok kepentingan memiliki prinsip dan cara-cara merespons gelombang revolusi yang melanda daerahnya di Bali. Ada golongan aristokrasi konservatif yaitu raja-raja yang pro Belanda dan golongan pemuda pejuang revolusioner, inilah yang menjadi pendukung cara perang melawan kekuatan dan kekuasaan yang anti Republik dan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Sebaliknya, golongan penguasa status quo dari aristokrasi konservatif tradisional, raja-raja yang menyatakan diri mendukung NICA, kini menjadi kekuatan reaksioner dan kontra revolusi. Golongan pemuda revolusioner kaum Republikan mempertahankan kemerdekaan, berhadapan dengan kekuatan asing NICA yang mendapat dukungan dan beraliansi dengan raja-raja kontra revolusi. Intensitas pergolakan sangat ditentukan oleh faktor geografis, antar daerah pusat dan pinggiran. Semakin dekat dengan pusat, yaitu pusat kekuasaan provinsi, dalam hali ini Bali denag Jawa Pusat kekuasaan Republik, maka perlawanan pendukung Republik dan revolusi semakin kuat dan sering. Kondisi ini dapat dimengerti, karena wilayah administratif provinsi Sunda Kecil cukup luas, terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil membentang dari Bali sampai pulau Timor dan pulau-pulau lainnya. Akibatnya, konflik bersenjata telah mewarnai respons lokal bagi kaum republikan pendukung revolusi dengan cara berperang untuk mempertahankan eksistensi Republik Proklamasi, baik yang berskala besar maupun yang berskal kecil. Bergerilya mengikuti arus revolusi di basis perjuangan Republik di Jawa.[3]
2. Puputan Margarana
Latar belakang munculnya puputan Margarana sendiri bermula dari Perundingan Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946, Belanda melakukan perundingan linggarjati dengan pemerintah Indonesia. Salah satu isi dari perundingan Linggajati adalah Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Selanjutnya Belanda diharuskan sudah meninggalkan daerah de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda mendaratkan pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI, sehingga dia tidak mengetahui tentang pendaratan Belanda tersebut. Di saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan politik di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri merasa kecewa terhadap isi perundingan tersebut karena mereka merasa berhak masuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih lagi ketika Belanda berusaha membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk diajak membentuk Negara Indonesia Timur. Untung saja ajakan tersebut ditolak dengan tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada tanggal 18 November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya Ciung Wanara Berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di Tabanan. Karena geram, kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya di Bali dan Lombok untuk menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan Rakyat Bali. Selain merasa geram terhadap kekalahan pada pertempuran pertama, ternyata pasukan Belanda juga kesal karena adanya konsolidasi dan pemusatan pasukan Ngurah Rai yang ditempatkan di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil mengumpulkan pasukannya dari Bali dan Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung Wanara. Pada tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung Wanara), melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Tetapi tiba-tiba di tengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu Belanda di Desa Marga, Tabanan, Bali. Tak pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang, berubah menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi warga sekitar. Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang jagung di daerah perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu. Pasukan pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya, tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration (NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara berhasil memukul mundur serdadu Belanda. Namun ternyata pertempuran belum usai. Kali ini serdadu Belanda yang sudah terpancing emosi berubah menjadi semakin brutal.Kali ini, bukan hanya letupan senjata yang terdengar, namun NICA menggempur pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang pembantaian penuh asap dan darah. Perang sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti Ngurah Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda demi Nusa dan Bangsa.
[1] Pusat Sejarah dan Tradisi ABRI, “Pertempuran Surabaya” (Jakarta: Balai
Pustaka, 1998), hlm. 40.
[2] Anak Agung Bagus W, Pusaran Revolusi Indonesia di Sunda Kecil 1945-1950 (Denpasar: Udayana University press, 2012), hlm. 119
[3] Anak Agung Bagus W, Pusaran Revolusi Indonesia di Sunda Kecil 1945-1950 (Denpasar: Udayana University press, 2012), hlm. 129-131