A. Profile Auguste Comte
Auguste Comte adalah Isidore Auguste Marie Francois Xavier. Comte lahir 20 Januari 1798. Comte lahir di kota Montpellier, Perancis.[1] Meskipun beliau adalah seorang mahasiswa yang cerdas, namun Comte tidak pernah mendapatkan ijazah sarjana. Beliau dan seluruh mahasiswa seangkatannya dikeluarkan dari Ecole Politehnique karena gagasan politik dan pembangkakan mereka. Pemberhentian ini berdampak buruk pada karir akademis Comte. Beliau adalah seorang filsuf dan ahli teori sosial Prancis, selain itu beliau juga dikenal sebagai pencetus ajaran ‘positivisme’ dan sosiologi. Beliau merupakan seorang filsuf dan ilmuwan sosial terkemuka yang sangat berjasa dalam perkembangan ilmu kemasyarakatan atau sosiologi. Comte mencetuskan suatu sistem ilmiah yang kemudian melahirkan ilmu pengetahuan baru, yaitu sosiologi. Sejak saat itu Auguste Comtedisebut sebagai Bapak Sosiologi karena dialah yang pertama kali memakai istilah sosiologi dan mengkaji sosiologi secara sistematis. Comte merupakan pencetus positivism dan dahulunya merupakan sekertaris dari saint simon. Beliau menulis buku berjudul Course de philosophie yang ditulis dari tahun 1830-1842 yang terbit sebanyak enam jilid.[2]
Dalam buku itu, Comte mengemukakan teori baru yang diberi nama fisika sosial atau sosiologi. Comte berpendapat bahwa jika manusia itu merupakan hasil dari evolusi , maka sejarahnya tentu berhubungan erat dengan hukum-hukum evolusi, dan kehidupan manusia dapat diselidiki dengan metode yang juga dipakai untuk menyelidiki ilmu pengetahuan alam. Dalam bukunya tersebut, dapat diterangkan bahwa pendekatan-pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat harus melalui urutan-urutan tertentu yang kemudian akan sampai pada tahap akhir yaitu tahap ilmiah.
Auguste Comte adalah pendiri sekaligus tokoh terpenting dari aliran positivism. Filsafat ini adalah filsafat yang anti-metafisis, yaitu hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif. Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour privoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala ini supaya bisa meramalkan apa yang terjadi.[3]
B. Dasar-dasar pemikiran Auguste Comte
Buku Cours de Philosphie Possitive adalah karya Auguste Comte yang paling pokok dan sistematis. Buku ini dikatakan sebagai representasi bentangan aktualisasi yang di dalamnya berisi tentang tiga tahapan perkembangan manusia[4] yakni :
1. Tahap Teologis
Pada tahap teologis ini, manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia. Tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi dari pada makhluk-makhluk lain.
Tahap Teologis ini dibagi lagi menjadi tiga tahap:
a. Tahap yang paling bersahaja atau primitif, dimana orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme).
b. Tahap ketika orang menurunkan kelompok hal-hal tertentu, dimana seluruhnya diturunkan dari suatu kekuatan adikodrati yang melatarbelakanginya sedemikian rupa hingga tiap tahapan gejala-gejala memiliki dewa sendiri-sendiri (polytheisme).
c. Tahapan tertinggi dimana pada tahap ini orang mengganti dewa yang bermacam-macam itu dengan satu tokoh tertinggi (Esa), yaitu dalam monotheisme. Singkatnya, pada tahap ini manusia mengarahkan pandangannya kepada hakekat yang batiniah (sebab pertama). Manusia percaya kepada kemungkinan adanya sesuatu yang mutlak, artinya di balik setiap kejadian tersirat adanya maksud tertentu.
2. Tahap Metafisik
Tahap transisi dari pemikiran Comte, Tahapan ini merupakan varian dari cara berpikir Teologis, karena di dalam tahap ini dewa-dewa hanya diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak dengan pengertian atau dengan benda-benda lahiriah yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut dengan alam. Terjemahan metafisis dari monoteisme itu misalnya terdapat dalam pendapat bahwa semua kekuatan kosmis dapat disimpulkan dalam konsep alam.
3. Tahap Positif
Tahap positif dimana orang menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta yang disajikan, yaitu dengan pengamatan dan dengan memakai akalnya. Tujuan tertinggi dari tahap positif adalah menyusun dan mengatur segala gejala di bawah satu fakta yang umum.
Bagi Comte, ketiga tahapan tersebut tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi di bidang ilmu pengetahuan. Comte menerangkan bahwa segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis, sesudah itu dikacaukan dengan pemikiran metafisis dan akhirnya dipengaruhi hukum positif. Jelasnya, ketiga tahapan perkembangan umat manusia itu tidak saja berlaku bagi suatu bangsa atau suku tertentu, akan tetapi juga individu dan ilmu pengetahuan. Lebih jauh Comte berpendapat bahwa pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Ilmu pengetahuan dapat dikatakan bersifat positif apabila ilmu pengetahuan tersebut memusatkan perhatian pada gejala-gejala yang nyata dan kongrit.
Terdapat kemungkinan untuk memberikan penilaian terhadap berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan jalan mengukur isinya yang positif, serta sampai sejauh mana ilmu pengetahuan tersebut dapat mengungkapkan kebenaran yang positif. Sesuai dengan pandangan tersebut kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan. Demikian pandangan Auguste Comte tentang hukum tiga tahapnya, yang pada intinya menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah.
Dalam hal ini Auguste Comte memberikan analog: manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis dibutuhkan figur dewa-dewa untuk menerangkan kenyataan. Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis. Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.
Positivisme Auguste Comte
Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan dikembangkan oleh Auguste Comte. Adapun yang menjadi titik tolak dari pemikiran positivis ini adalah apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif sehingga metafisika ditolaknya. Yang dimaksud dengan positif adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi setelah fakta diperoleh fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan. Namun begitu, Auguste Comte dapat dikatakan merupakan tokoh terpenting dari aliran filsafat Positivisme. Menurut Comte, dan juga para penganut aliran positivisme, ilmu pengetahuan tidak boleh melebihi fakta-fakta karena positivisme menolak metafisisme. Bagi Comte, menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya tidak mempunyai arti apapun. Ilmu pengetahuan dan filsafat hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Kaum positivis membatasi dunia pada hal-hal yang bisa dilihat, diukur, dianalisa dan yang dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan model pemikiran seperti ini, kemudian Auguste Comte mencoba mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama. Perkembangan selanjutnya dari aliran ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat materi, yang dikenal dengan Materialisme. Selanjutnya, karena agama (Tuhan) tidak bisa dilihat, diukur dan dianalisa serta dibuktikan, maka agama tidak mempunyai arti dan faedah. Comte berpendapat bahwa suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu sesuai dengan fakta. Sebaliknya, sebuah pernyataan akan dianggap salah apabila tidak sesuai dengan data empiris. Model pemikiran ini disebut dengan teori Korespondensi.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat bentuk khusus bagi Positivisme Comte, yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan makna yang terkandung di dalam kata “positif”. Kata nyata (riil) dalam kaitannya dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah. Kebenaran bagi Positivisme Comte selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan, dan nantinya berujung kepada penataan atau penertiban.
Comte beranggapan bahwa pengetahuan itu tidak bersumber dari otoritas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik (sumber tidak langsung), melainkan bersumber dari pengetahuan langsung terhadap suatu objek secara indrawi. Dari model pemikiran tersebut, akhirnya Comte menganggap bahwa garis demarkasi antara sesuatu yang ilmiah dan tidak ilmiah (pseudo science) adalah veriviable, dimana Comte untuk mengklarifikasi suatu pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), dia melakukan verifikasi terhadap suatu gejala dengan gejala-gejala yang lain untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud. Comte menggunakan metode ilmiah Induktif-Verivikatif, yakni sebuah metode menarik kesimpulan dari sesuatu yang bersifat khusus ke umum, kemudian melakukan verifikasi. Selanjutnya Comte menggunakan pola operasional metodologis dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif.
Filsafat Comte merupakan filsafat yang anti-metafisis, hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah, dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi bidang ilmu-ilmu positif.[5]
Semboyan Comte yang terkenal adalah savoir pour prevoir (mengetahui supaya siap untuk bertindak), artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara gejala-gejala, agar supaya dia dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Filsafat positivisme Comte disebut sebagai faham empirisme-kritis, bahwa pengamatan dengan teori berjalan bersama. Bagi Comte pengamatan tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan penafsiran atas dasar sebuah teori dan pengamatan juga tidak mungkin dilakukan secara terisolasi, dalam arti harus dikaitkan dengan suatu teori. Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta, menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Positivisme mengembangkan pemikiran tentang ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik, dan lain-lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui eksistensi dan menolak esensi.
Apabila dikaitkan dengan ilmu sosial budaya, positivisme Auguste Comte berpendapat bahwa:
a. Gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami;
b. Ilmu sosial budaya harus dapat merumuskan hukum-hukum atau generalisasi-generalisasi yang mirip dalil hukum alam;
c. Berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah berkembang dalam ilmu-ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu sosial budaya.
C. Implementasi pemikiran Auguste Comte dalam Gerak Sejarah
1. Penggerak Filsafat Sejarah Auguste Comte Penggerak sejarah Auguste Comte yaitu:
a. Rasionalitas atau akal budi. Dalam Filsafat sejarah yang dipaparkan oleh Comte, Rasionalitas atau akal budi menjadi unsur utama dalam menentukan gerak sejarah. Sifat sejarah yang tidak akan pernah berhenti selama kehidupan manusia terus berlangsung menjadikan teory positivisme Comte menjadi sangat penting dalam menentukan arus gerak sejarah.
b. Dapat dilihat dari 3 zaman tentang pemikiran manusia berlaku dibidang ilmu pengetahuan
Segala ilmu pengetahuan semula dikuasai oleh pengertian-pengertian teologis yang tidak dapat diklepaskan dari pemikiran tentang teologis yang tidak dapat dilepaskan dari pemikiran tentang pengetahuan yang dimiliki manusia dijamin kebenarannya dengan cara mencarokan argumentasi-argumentasi dari hal-hal-hal yang bersifat transendental, pengetahuan didasarkan pad keyakinan bahwa segala sesuatu mempunyai roh/jiwa/kekuatan yang tidak dapat ditangkap secara inderawi namun diyakini adanya kemudian pemikiran zaman trologis ini diperkeruh oleh pemikiran metafisis dimana pengetahuan manusia dijamin oleh konsep atau rumusan abstrak yang diciptakan oleh manusia pada masa ini hasil kerja manusia lewat abstraksinya yang kadang intuitik atau apriori saja pengetahuan tidak dapt diterima oleh panca in dera dan pada akhirnya dicerahkan oleh pemikiran positif atai ilmiah dimna apengetahuan didasarkan pada hukum-hukum ilmiah yang bersifat relatif dan pengetahuan manusia sepenuhnya berdasarkan rasio atau akal budi yang dibuktikan dengan fakta-fakta yang kongkrit dan fakta tersebut dapat diamati dengan panca indera. Jadi dapat disimpulkan bahwa, penggerak filsafat sejarah Augsute Comte berdasarkan pada akal budi yang mendorong untuk kemajuan, rasionalitas atau akal budi ini kemudiam dimanifestasikan dalam ilmu pengetahuan yang mengalami perkembangan dan mengantar pada industrialisasi. Adapun perkembangan ilmu pengetahuan ditandai dengan adanya susunan ilmu pengetahuan. Berdasarkan sejauh mana keterkaitan ilmu pengetahuan dengan fakta-fakta pendukungnya maka perkembangan ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi 6 macam yaitu:
a. Ilmu pasti yaitu ilmu yang paling fundamental dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya.
b. Astronomi yaitu membicarakan gerak.
c. Fisika yaitu menambahkan relasi matematis, gerak dengan penelitian materi.
d. Kimia yaitu membahas proses perubahan yang berlangsung dalam materi
e. Biologi yaitu membicarakan kehidupan
f. Sosiologi.
Berbagai ilmu pengetahuan ini menurut Aguste comte mengantarkan pada industrialisasi sebab dengan kemjuan ilmu pengetahuan melahirkan cerdik pandai untuk menggambarkan masyarakt industri.
Mengenai ilmu pengetahuan diajarkan demikian, bahwa pengaturan ilmu pengetahua yang berarti harus disesuaikan dengan oembagian kawasan gejala-gejala atau penampakan-penampakan yang dipelajari ilmu itu. Segala gejala yang dapat diamati hanya dapat dikelompokkan dalam beberapa pengertian dasar saja. Pengelompokkan itu dapat dilakukan beberapa pengertian dasar saja. Pengelompokan itu dapat dilakukan sedeikian rupa, sehingga penelitian tiap kelompok dapat menjadi dasar bagi penelitian kelompok berikutnya. Urutan kelompok-kelompok itu ditentukan oleh tingkatan sifat tunggal atau oleh tingkatan sifat umumnya. Gejala yang sifatnya umum adalah gejala yang paling sederhana, karena gejala inilah yang paling tidak memiliki kekhususan hal-hal yang individual.
Comte membagi-bagikan segala gejala pertama-tama dalam gejala-gejala yang terdapat dalam segala anorganis yang anorgis, dan baru kemudian gejala-gejala yang terdapat dalam segala yang organis. Segala gejala organis baru dapat dipelajari, jikalau segala yang anorganis telah dikenal. Hal ini disebabkan karena di dalam makhluk yang hidup terdapat segala proses mekanis dan kimiawi dari alam yang anorganis itu ddan juga terdapat hal-hal yang lain, yang lebih daripada itu.
Ajaran tentang segala sesuatu yang anroganis dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu : astronomi, yang mempelajari segala gejala umum dari jagat raya; dan fisika serta kimia, yang mempelajari gejala-gejala anorganis di bumi. Pengetahuan tentang fisika harus didahulukan, sebab proses-proses kimiawi lebih rumit dibansdung dengan proses alamiah dan tergantung daripada proses alamiah.
Ajaran tentang segala yang organis juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu: proses-proses yang berlangsung pada individu-individu dan proses-proses yang berlangsung dalam jenisnya, yang lebih rumit. Oleh karena itu ilmu yang harus diusahakan di sini adalah biologi, yang menyelidiki proses-proses dalam individu; kemudian menyususl ilmu sosiologi, yang menyelidiki gejala-gejala dalam hidup kemasyarkatan. (ilmu ini untuk pertama kaliu disusun oleh Comte. Juga sebutan “sosiologi” adalah hasil ciptaannya). Demikianlah sosiologi mnjadi puncak bangunan ilmu pengetahuan. Akan tetapi ilmu ini baru dapat berkembang jikalau segala ilmu yang mendahuluinya telah mencapai kedewasaannya.
2. Gerak Filsafat Sejarah August Comte Linier -> ditandai dengan evolutif yang mengarah pada tujuan Gerak sejarah dapat dilihat dari 3 tahapan pembagian jaman. Zaman teologis -> Zaman metafisis -> Zaman ilmiah atau zaman positif Gerak sejarah menurut August Comte ini bergerak kedepan terus menerus untuk menuju kemajuan keterangan positif.
1) Zaman teologis atau tahap teologis Orang mengarahkan rohnya keapada hakekat-hakekat batiniah di mana orang masih percaya kepada kemungkinan adanya pengetahuan atau pengenalan yang mutlak dan orang yakin bahwa dibelakang setiap kejadian terseira suatu pernyataan kehendak yang secara khusus. Di taman ini taraf pemikiran ini terdapat 3 tahap yaitu:
a. Tahap yang paling bersahaja atau primitif ketika orang menganggap segala benda berjiwa (animisme)
b. Tahap ketika orang menurunkan kelompok-kelompok, masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati yang melatar belakanginya. Dalam tahapan ini tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri (politetisme).
c. Tahap yang tertinggi ketika orang mengganti dewa yang bermcam-macam itu dengan satu
d. tokoh tertinggi yaitu dalam monoteisme. Pengetahuan pada zaman ini bersumber pada kebenaran yan diperoleh dari Allah.
2) Zaman metefisika Pada zaman ini sebenarnya hanya mewujudkan suatu perubahan dari zaman teologis dimana kekuatan-kekuatan yang adikodrati atau dewa-dewa diganti dengan kekuatan abstrak dengan pengertian-pengertian atau dengan pengadaa-pengadaan yang lahiriah dan kemudian dipersatukan dalam suatu yang bersifat umum yang disebut dengan alam. Pengetahuan pada zaman ini desiebut metafisis.
3) Zaman positif atau ilmiah Pada zaman ini semua orang tahu bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak atau absolut baik pengenalan teologis maupun pengenalan metafisis.ret, fakta yang dapat diamati dengan panca indra dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Semua dipertanggung jawablan dengan ilmiah sebab memang ada bukti faktualnya. Pengetahuan yang faktual yan ilmiah itulah pengetahuan yang sejati.
3. Tujuan Filsafat Sejarah Auguste Comte Menurut Auguste Comte tujuan filsafat sejarah berdasarkan masyarakat industri yaitu:
a. Menurut positivisme atau ilmiah dari Auguste Comte bertujuan untuk mencapai masyarkat industri sebab menurut Comte kebahagian manusia terdapat pada kemajuan materialisme.
b. Ajaran Comte tentang masyarakat mewujudkan suatu filsafat tentang sejarah melalui 3 zaman Comte memerikasa. Banyak sekali fakta-fakta sejarah serta menggabungkannya menjadi suatu sistem. Ke dalam filsafat sejarah Comte memasukkan perkembangan kenegeraan, kehakiman dan kemasyarkatan serta perkembangan kesenian, agama, ilmu dan filsafat, comte masyarakat mengalami perkembangan terus menerus dimana Comte memetakan masyarakat dieropa. Pekembangan masyarakat menurut Comte yaitu:Teologis -> Metafisik-> Positif Organisasi sosial keluarga -> negara bangsa -> masyarakat industri
Tugas Manusia dalam Sejarah atau Manusia dalam Sejarah
Manusia tidak dapat dipisahkan dari sejarah. Manusia dan sejarah merupakan suatu dwi tunggal, manusia adalah subyek dan obyek sejarah. Sejarah menceritakan riwayat tentang manusia, dimana riwayat manusia diceritakan oleh manusia dan cerita itu dibaca juga dialami oleh manusia pula. Apabila manusia dipisahkan dari sejarah maka ia bukan manusia lagi melainkan sejenis makhluk biasa seperti hewan. Sejarah adalah pengalaman-pengalaman manusia dan ingatan tentang pengalaman-pengalaman yang diceritakan. Maka peran manusia dalam sejarah adalah bahwa ia adalah pencipta sejarah, sebagai penutur sejarah dan pembuat sejarah. Sehingga manusia adalah sumber sejarah. Maka dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari sejarah.
Manusia berjuang terus berarti dia terus berusaha memperbaiki taraf hidupnya. Ia terus diperkaya, diperindah, disempurnakan. Sejarahpun terus diperluas dengan perjuangan-perjuangan baru. Justru karena manusia menguasai warisan nenek moyang, ia dapat berjuang dengan lebih sempurna. Dengan menguasai sejarahnya, ia dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya. Apabila hajat berjuang manusia menjadi lemah dan terus berkurang, maka gerak sejarah mulai membeku. Akhirnya gerak sejarah tidak tampak bergerak, berhenti dan bersifat statis. Pembekuan gerak sejarah berarti bahwa manusia tidak mengalami perubahan-perubahan penting.
Masyarakat tetap, tak bergerak menuju perubahan yang mengakibatkan kemajuan dan keruntuhan. Maka dapat disimpulkan bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari sejarah. Manusia berjuang berarti bahwa ia terus berusaha memperbaiki taraf kehidupan. Menurut para filosof sejarah pengikut metode kontemplatif terdapat tiga pola gerak di mana sejarah berjalan sesuai dengannya, yaitu:
a) Sejarah berjalan menelusuri garis lurus lewat jalan kemajuan yang mengarah ke depan atau kemunduran yang bergerak ke belakang.
b) Sejarah berjalan dalam daur kultural yang dilalui kemanusiaan, baik daur saling terputus,dan dalam berbagai kebudayaan yang tidak berkesinambungan atau daur-daur itu salingberjalin dan berulang kembali.
c) Gerak sejarah tidak selalu mempunyai pola-pola tertentu. Sejarah adalah sejarah manusia dimana peran, penulis sejarah, dan peminatnya hanya manusia saja. Maka manusialah yang harus dipandang sebagai inti sejarah.
Manusia tidak dapat dipisahkan dari sejarah. Manusia dan sejarah merupakan suatu dwi tunggal, manusia adalah subyek dan obyek sejarah. Sejarah menceritakan riwayat tentang manusia, dimana riwayat manusia diceritakan oleh manusia dan cerita itu dibaca juga dialami oleh manusia pula. Apabila hajat berjuang manusia menjadi lemah dan terus berkurang, maka gerak sejarah mulai membeku. Akhirnya gerak sejarah tidak tampak bergerak, berhenti dan bersifat statis. Pembekuan gerak sejarah berarti bahwa manusia tidak mengalami perubahan-perubahan penting.[6]
D. Contoh Atas Dasar Pemikiran Gerak Sejarah menurut Auguste Comte
perkembangan manusia dan pemikirannya, berawal pada tahapan teologis dimana studi kasusnya pada masyarakat primitif yang masih hidupnya menjadi obyek bagi alam, belum memiliki hasrat atau mental untuk menguasai (pengelola) alam atau dapat dikatakan belum menjadi subyek. Fetitisme dan animisme merupakan keyakinan awal yang membentuk pola pikir manusia lalu beranjak kepada politeisme, manusia menganggap ada roh-roh dalam setiap benda pengatur kehidupan dan dewa-dewa yang mengatur kehendak manusia dalam tiap aktivitasnya dikeseharian.
Contoh yang lebih konkritnya, yaitu dewa Thor saat membenturkan godamnyalah yang membuat guntur terlihat atau dewi Sri adalah dewi kesuburan yang menetap ditiap sawah. Beralih pada pemikiran selanjutnya, yaitu tahap metafisika atau nama lainnya tahap transisi dari buah pikir Comte karena tahapan ini menurut Comte hanya modifikasi dari tahapan sebelumnya. Penekanannya pada tahap ini, yaitu monoteisme yang dapat menerangkan gejala-gejala alam dengan jawaban-jawaban yang spekulatif, bukan dari analisa empirik. “Ini hari sialku, memang sudah takdir !”, “penyakit AIDS adalah penyakit kutukan!”, dan lain sebagainya, merupakan contoh dari metafisika yang masih ditemukan setiap hari. Tahap positiv, adalah tahapan yang terakhir dari pemikiran manusia dan perkembangannya, pada tahap ini gejala alam diterangkan oleh akal budi berdasarkan hukum-hukumnya yang dapat ditinjau, diuji dan dibuktikan atas cara empiris.
Penerangan ini menghasilkan pengetahuan yang instrumental, contohnya, adalah bilamana kita memperhatikan kuburan manusia yang sudah mati pada malam hari selalu mengeluarkan asap (kabut), dan ini karena adanya perpaduan antara hawa dingin malam hari dengan nitrogen dari kandungan tanah dan serangga yang melakukan aktivitas kimiawi menguraikan sulfur pada tulang belulang manusia, akhirnya menghasilkan panas lalu mengeluarkan asap. Sistem kepercayaan orang-orang Yunani Kuno yang hidup pada abad ke-6 SM, bahwa segala sesuatunya harus diterima sebagai suatu kebenaran yang bersumber pada mitos atau dongeng-dongeng. Artinya jika ada kebenaran yang berdasarkan akal pikir (logos) maka itu tidak akan berlaku. Namun, setelah abad ke-6 SM muncul sejumlah ahli pikir yang menentang adanya mitos, karena mereka menginginkan jawaban-jawaban pertanyaan tentang misteri alam semesta ini dapat diterima oleh akal (rasional). Keadaan inilah yang memunculkan istilah Demitologi, artinya suatu kebangkitan pemikiran untuk menggunakan akal-pikir dan meninggalkan hal-hal yang sifatnya Mitologi. Maka sebab itulah banyak orang yang mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal-pikir secara murni.
Ada Tiga faktor yang menjadikan Filsafat Yunani lahir:
a. Bangsa Yunani yang kaya akan mitos, dimana mitos dianggap sebagai awal dari upaya orang untuk mengetahui atau mengerti. Mitos-mitos tersebut kemudian disusun secara sitematis yang untuk sementara kelihatan rasional sehingga muncul mitos selektif dan rasional, seperti syair karya Homenus, Orpheus, dan lain-lain.
b. Karya satra Yunani yang dapat dianggap sebagai pendorong kelahiran filsafat Yunani, karya Homerus mempunyai kedudukan yang sangat penting untuk pedoman hidup orang-orang Yunani yang didalamnya mengandung nilai-nilai Edukatif. Pada periode Yunani Kuno ini lazim disebut dengan Filsafat Alam karena pada periode ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir alam, dimana arah dan perhatian pemikirannya kepada apa yang diamati disekitarnya mereka membuat pernyataan tentang gejala alam yang tidak berdasarkan pada mitos. Mereka mencari asas yang pertama dari alam semesta yang sifatnya mutlak, yang berada dibelakang segala sesuatu yang serba berubah. Seperti halnya pernyataan bahwa bumi itu bulat. Dengan adanya ketiga faktor tersebut kedudukan mitos digeser oleh akal budi yang didasarkan pada ilmu pengetahuan yang empiris dan mengedepankan rasionalitas.
E. Kritik Terhadap Pemikiran Auguste Comte mengenai Gerak Sejarah
Kelemahan daripada pemikiran atau konsep gerak sejarah yang digagas oleh Auguste Comte adalah linearitas yang membuat gerak sejarah tidak mungkin berulang. Sehingga teori positivism atau tahap positivism dianggap sebagai tahap akhir daripada kehidupan manusia. Namun apa yang terjadi jikalau kehidupan manusia masih berlangsung beberapa ribu tahun lagi. Apakah teori ini akan tetap relevan dengan keadaan yang ada. Pertanyaan ini yang selalu terbersit dalam alam fikiran penulis ketika membahas tentang Teori gerak sejarah yang dicanangkan oleh Auguste Comte. Dan mungkin pertanyaan ini hanya akan terjawab oleh beliau saja selaku penggagas teori positivism dalam gerak sejarah. Namun penulis juga mengakui betapa Auguste Comte adalah seorang manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan. Sehingga tidak salah jika teori yang beliau gagaas hanya sebuah teori yang dilahirkan oleh keadaan dan suasana masa itu yang memang relevan dengan pemikiran ini. Setidaknya penulis sudah mencoba dengan segala daya upaya untuk memecahkan pertanyaan tersebut, namun apadaya ketika keadaan tidak sanggup lagi menjawab dan hanya waktu yang dapat memberikan jawaban secara real. Asumsi penulis hanyalah sebuah analisis yang dilakukan secara mendalam atas pemikiran Auguste Comte. Sehingga asumsi tersebut belum benar-benar ilmiah dan tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya.
[1] Sosiologi suatu pengantar (Soerjono Siekanto): 43
[2] Filsafat Sejarah (Arif Purnomo): 29
[3] http://indahfitriana965.blogspot.com/2013/04/makalah-pengetahuan-menurut-august-comte.html (22/9/14)
[4] http://filsafat.kompasiana.com/2014/01/08/positisme-dan-august-comte-624962.html (22/9/14)[5] http://galileo-pmii.pmii.tripod.com/artikel/comte.htm (22/9/2014)Manusia, Filsafat, dan Sejarah (Abdul, L.J : 2006)Refleksi Tentang Sejarah (Ankersmit : 56)