Metodologi Sejarah Lisan

Rahmad Ardiansyah

Struktur wawancara dapat dibedakan menjadi dua hal bagian yaitu wawancara yang memfokuskan topik, dan pendekatan pengalaman hidup (life history) yang menempatkan sejarah kehidupan seseorang dalam konteks sosial dan sejarah. Contoh-contoh dari pengalaman hidup akan dikemukakan disini. Kisah sejarah lisan, seperti dengan meyakinkan dikemukakan oleh Grele, merupakan suatu kreasi bersama antara pewawancara dan yang diwawancarai. Pewawancara dengan daftar paertanyaan dan saran-saran tidak terucap membantu membentuk kisah dalam bentuk jawaban yang diberikan oleh yang wawancarai.

Wawancara kisah hidup yang dilakukan oleh Pusat Sejarah Lisan bukan semata-mata cerita seperti yang bisa ditemukan otobiografi, dan bukan juga sekedar sebuah sesi bertanya dan menjawab. Ada diskursus interaktif yang berkembang antara pewawancara dan yang diwawancarai dalam membangun sebuah “teks” ketika pewawancara mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai mengingat-ingat, mengorganisasi pikiran dan merenungkan jawabannya unuk menjawab pertanyaan tersebut. Ada beberapa persyaratan untuk membangun sebuah “teks” sejarah lisan, pertama, yang diwawancarai harus memiliki sebuah kenangan mengenai suatu pengalaman untuk diceritakan kepada umum, dan kedua pewawancara memiliki sebuah kerangka konseptual dan analitis dalam mendekati pihak yang diwawancarai.

Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terstruktur dalam suatu kerangka tertentu, dimana baik pewawancara maupun yang diwawancarai sepakat membuat suatu catatan sejarah yang lengkap, metodologi itu pertama-tama memungkinkan terungkapnya pengalaman subyektif dan fefleksi interpretative dari yang diwawncarai, kedua metodologi itu sejalan dengan Pusat Sejarah Lisan untuk mengumpulkan data sejarah sosial dan budaya.

Data subyektif yang muncul bisa menyanggah asumsi yang ada. Teks kisah sejarah lisan mempunyai batas-batasnya. Bahkan kalaupun daftar pertanyaan untuk wawancara telah disususn oleh pewawancara, adakalanya wawancara itu berlangsung tidak sebagaimana mestinya. Mereka yang diwawancarai bisa menolak, menjawab pertanyaan Para pembawa cerita cenderung kurang menyoroti sejumlah aspek pengalaman mereka yang mereka rasa penting, namun mungkin Pusat Sejarah Lisan tidak berkehendak megumpulkannya.
Contohnya adalah kesediaan banyak orang untuk membicarakan pengalaman sehari-hari mereka selama pendudukan Jepang yang telah didokumentasikan dengan sangat baik dalam wawancara sebelumnya. Wawancara yang tidak disiapkan dengan baik-baik akan berakibat menumpuknya rekaman yang memuat informasi tidak penting atau tidak dikehendaki. Dipihak lain, cara mewawancarai yang kaku bisa berakibat hilangnya informasi yang berarti dan penting. Sekalipun Pusat Sejarah Lisan mengumpulkan kisah-kisah pribadi, tetapi juga disadari bisa meuncul kekeliriuan dari generalisasi proses sosial berdasarkan pengalaman hidup pribadi. Bila perlu wawancara diuji-silang satu dengan yang lain.

Jadi, bisa dikatakan bahwa wawancara sejarah lisan bukan sekedar kisah yang menampilkan kenangan tentang masa lampau. Dengan dorongan, atau kehadiran pewawancara, kisah bisa menjadi reflektif dan interpretatif, seperti halnya dalam kasus Ballas yang membuat analisis mengenai perjuangan para pedagang kecil Yahudi. Metodologi pengalaman hidup itu memungkinkan dilakukan perekaman pengalaman subyektif dan orang-orang yang diwawancarai, bagaimana mereka melihat identitas mereka sendiri.
Sejauh ini, telah dikemukakan bagaimana metodologi pengalaman hidup telah berguna untuk mengumpulkan data sosiologis dan historis. Ini adalah suatu metodologi yang memungkinkan orang yang menceritakan pengalamannya dalam sejarah sosial migrasi dan identitas dalam royek-proyek multikulturalisme. Bagian kedua dari bab ini akan membicarakan pelaksanaan atau situasi metode wawancara. Dengan mengakui bahwa mewawancari adalah suatu diskusus hermeneutis antara pewawancara dan yang diwawancarai, bisa membantu kita menyadari mengenai cara-cara merekam dan batasan-batasannya.

Grele mengatakan, bahwa dalam suatu wawancara ada konteks ideologis untuk menentukan siapa yang mengendalikan wawancara : pewawancara dengan pertanyaanya, atau yang diwawancarai dengan kisahnya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi diskursus suatu wawancara. Etnisitas merupakan salah satu variable yang bisa menenangkan pewawancara dan yang diwawancarai, serta membangun hubungan kedekatan (rapport) yang penting bagi terselenggaranya sebuah wawancara yang baik. Hambatan-hambatan lintas-etnis bis diatasi bila pewawancara bisa menggunakan bahasa atau dialek seperti yang digunakan orang yang diwawancarai untuk membangun suatu suasana saling percaya. Bila ada perbedaan usia terlalu nyata antara pewawancara dan yang diwawancarai, hal ini bisa menimbulkan ketidaknyamanan, kecuali jika pewawancara dapat menunjukkan bahwa ia mempunyai rasa percaya diri, kompeten dan siap. Para wanita yang diwawancarai bisa merasa lebih nyaman kalau yang diwawancarai bisa merasa lebih nyaman kalau pewawancaranya adalah wanita juga, terutama bila mengemukakan hal-hal yang bersifat pribadi.

Telah menjadi kebiasaan di Pusat Sejarah Lisan, terutama dalam melaksanakan proyek-proyek besar, sedapat mungkin mencocokkan pewawancara dengan orang yang diwawancarai. Bila tidak terdapat kecocokkan, pewawancara paling tidak harus bisa mengguakan bahasa yang digunakan orang yang diwawancarai, merupakan ketrampilan sosial untuk membangun kedekatan dan cukup dengan cara membaca. Selain apa yang telah dikatakan mengenai pemahaman terhadap dinamika untuk lebih lugas dalam melakukan pendekatan, menyadari tanggung jawabnya dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat dan membangun kepercayaan dari orang-orang yang diwawancarai.

Metodologi kearsipan dari Pusat Sejarah Lisan, dirancang dengan mengikuti kebiasaan-kebiasaan dari Museum Perang Kerajaan di London, yang digabungkan dengan kedalaman proyek-proyeknya, dengan tetap mempertimbangkan kepentingan para pengguna. Medium rekaman yang digunakan pada perekaman asli sama pentingya dengan transkripsi, karena beragamnya pemakaian. Ada pengaruhnya juga bila orang hanya membaca teks atau transkrip. Teks dari suatu wawancara berguna sebagai bahan untuk mencari informasi bila perubahan-perubahan sosial dan kultural diperlukan, hubungan kata-kata suara rekaman bisa menjadi sangat penting.
Grele mengatakan bahwa di Amerika Serikat, perpustakaan dan arsip merupakan bagian yang telah membangun koleksi sejarah lisan dan bukan jurusan-jurusan di Universitas. Dinegara-negara lain, seperti di Inggris, Meksiko, Australia, Malaysia, dan Indonesia, proyek-proyek dokumentasi sejarah lisan berkembang, karena tersedia dana dari pemerintah. Dengan demikian, tampaknya bahwa salah satu dari keistimewaan sejarah lisan adalah sifat kearsipannya..

Bagikan:

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang, Calon Guru Penggerak angkatan 11 Kota Semarang dan kontributor Modul Pembelajaran MGMP Sejarah Kota Semarang.

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah