APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda. Hasil Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan suatu bentuk negara Federal untuk Indonesia dengan nama RIS (Republik Indonesia Serikat). Suatu bentuk negara ini merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat-perangkat pemerintahan di Indonesai tidak setuju dengan bentuk negara federal. Tapi juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan bentuk negara federal, hal ini menimbulkan banyak pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada saat itu. Pemberontakan- pemberontakan ini dilakukan oleh golongan- golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut jika Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas Indonesia akan hilang.
Tujuan dari pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dan kaum kolonialis yang ada dibelakangnya adalah mempertahankan bentuk federal di Indonesia dan memepertahankan adanya tentara sendiri dinegara-negara bagian RIS (Republik Indonesia Serikat). Padahal pada konferensi antar Indonesia di kota Jogjakarta bahwa APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) adalah angkatan Perang Nasional.
Gerakan yang dikenal dengan dikenal dengan nama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibawah pimpinan bekas Kapten Raymond Westerling. Gerakan ini di dalangi oleh kelompok kolonialis Belanda yang ingin mengamankan kepentingan ekonominya. Sehingga Belanda tetap memiliki pengaruh diwilayah Indonesia. Kemudian salah satu cara untuk memeperoleh dukungan bagi gerakannya, Westerling memepermainkan kepercayaan rakyat tentang akan datangnya ratu adil. Yang akan memahami keadaan rakyat Indoenesia yang telah lama menderita karena penjajahan baik dari penajajah Belanda maupun penjajahan Jepang yang sangat mendambakan datangnya kemakmuran seperti yang telah diramalkan oleh Jayabaya.
Sebagian besar masyarakat Indonesia mempercayai akan ramalan Jayabaya yang berisi tentang akan datang seorang pemimpin yang disebut ratu adil yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana sehingga keadaan akan aman dan damai sehingga rakyat akan makmur dan sejahtera.
Aksi – Aksi Pemberontakan APRA dan Reaksi Pemerintah
Dalam menjalanakan aksinya APRA cenderung anarkis dimana pasukan APRA yang terdiri dari lebih kurang 532 orang diantaranya kira-kira 300 anggota KL bersenjata lengkap menyerang kota Bandung pada pagi hari tanggal 23 Januari 1950. Sehari sebelumnya sebetulnya pimpinan divisi Siliwangi sudah menyisinyalir adanya suatu gerakan dari sekelompok orang bersenjata diluar kota Bandung. Akan tetapi sebelum merekaa sempat mengadakan persiapan untuk mengantisipasi gerakan itu Westerling telah bertindak terlebih dahulu. Dalam gerakan ke Bandung pasukan APRA melucuti pasukan dipos Cimindi, Cibeuruem dan Pabrik Mecaf. Didalam kota mereka membunuh anggota TNI dan berhasil menduduki markas staf divisi Siliwangi setelah membunuh membunuh semua regu jaga yang berjumlah 15 orang dan Letanan Kolonel Lembong sedangkan jumlah gerombolan penyerbu lebih dari 150 orang hanya tiga orang yang selamat karena dapat meloloskan diri dari pengeboman .
Gerakan APRA di Kota Bandung ini menewaskan lebih dari 79 anggota APRIS dan banyak penduduk yang yang ikut menjadi korban pemerintah RIS segera mengirimkan bala bantuan ke Bandung, kepolisian RIS mengerahkan satuan Mobiele Brigade Polisi dari Jawa Timur dibawah pimpinan Komisaris Polisi II Sucipto Judodiharjo. Pasukan ini diangkut dengan pesawat terbang dari Jakarta sementara itu di Jakarta diadakan perundingan antara Perdana Menteri Moh. Hatta dan Komisaris tinggi Belanda. Sesuai dengan perundingan itu Komisaris tinggi belanda memerintahkan Mayor Jendral Engeles Komandan tentara Belanda di Bandung agar memaksa Westerling dan pasukannya meninggalkan Bandung. Sore itu juga APRA meninggalkan Bandung kemudian menyebar keberbagi tempat.
Pasukan APRA yang bergerak ke Jakarta dihancurkan APRIS di daerah Cianjur. Setelah gerombolan APRA meninggalakan Bandung APRIS kemudian mengadakan razia secara intensif. Tokoh yang diduga terlibat ditangkap dimana mereka yaitu Anwar TJokroaminoto (Perdana Menteri Pasundan) Komisaris besar Jusuf, Komisari besar Djanakum, Surja karta legawa dan Male Wiranata Kusuma.
Selain di Bandung APRA juga merencanakan gerakan di Jakarta disini Westerling mengadakan kerja sama dengan Sultan Hamid II, menteri negara tanpa portopolio didalam cabinet RIS. Menurut rencana geromboln APRA akan menyerang gedung tempat cabinet di sidang. Mereka akan menculik semua menteri dan membunuh menteri pertahanan yaitu Sultan Hamengkubuono IX, sekertris jenderal kementrian pertahanan Mr. Ali Budiarjo dan pejabat staf angkatan perang colonel T.B. Simatupang. Sebagai kemuplase Sultan Hamid akan di tembak dikakinya dimana rencana ini akan dilaksnakan pada 24 Januari tetapi tercium oleh aparat intelejent . Sultan Hamid ditangkap sedangkan Westerling 22 Februari 1950 meninggalkan Indonesia menuju Malaya dengan pesawat terbang Belanda. Dengan perginya Westerling para pengikutnya menjadi bubar.
Latar Belakang dan Pelaku Pemberontakan RMS
Pendiri dari gerakan RMS adalah Mr.Dr. Christian Robert Steven Soumokil yaitu mantan Jaksa Agung NIT. Kedudukannya sebagai Jaksa Agung NIT memudahkan Soumokul untuk nepergian kebeberapa tempat di Indonesia Timur dengan menggunakan pesawat militer. Sebelum menuju Ambon, pada tanggal 13 April ia berkunjung ke Manado.
Di Ambon gejala-gejala pemisahan dengan NIT sudah tampak. Pada tanggal 4 April Ir. Manusama mengundang rapat para rajapati (penguasa desa) dari pulai Ambon bertempat di kantornya. Kepada rajapati dikemukakan bahwa penggabungan Maluku Selatan dengan wilayah Indonesia lainnya mengundang bahaya. Untuk memperingatkan seluruh rakyat Ambon mengenai bahaya ini, para rajapati menyetujui jika Manusama mengadakan rapat umum di kota Ambon. Rapat umum diselenggarakan pada tanggal 18 April 1950.
Perkembangan selanjutnya setelah rapat umum setidak-tidaknya dipengaruhi oleh Soumokil. Perannya yang aktif dalam proses pembentukannya RMS tampak ketika ia mengadakan rapat secara rahasia di Tulehu tanpa mengikutsertakan para pamong praja. Dalam rapat yang dihadiri oleh para pemuka KNIL dan Ir. Manusama itu, Soumokil menganjurkan agar KNIL bertindak. Seluruh anggota Dewan Maluku Selatan disarankan untuk dibunuh, kemudian daerah itu dinyatakan sebagai Negara merdeka. Sebagian peserta rapat menolak gagasan untuk melakukan pembunuhan. Untuk melaksanakan proklamasi disarankan agar Pemerintah daerah sendirilah yang melaksanakannya. Pada rapat kedua sore itu Kepala Daerah Maluku Selatan, J. Manuhutu dipaksa hadir dibawah ancaman pasukan KNIL.
Praktik-praktik mengintimidasi masa dengan terror telah mulai tampak dilaksanakan sejak bulan Februari 1950 dengan menggunakan tenaga polisi. Pihak-pihak yang pro Republik mengalami tekanan-tekanan. Serangkaian pembunuhan terjadi dibeberapa tempat. Pelaksanaan gerakan ini selain mendapat bantuan polisi didukung pula oleh pasukan istimewa KNIL yang merupakan bagian dari Korps Speciale Treopen yang dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling di Batujajar (dekat Bandung). Mereka ikut mengambil bagian dalam pemberontakan Westerling di Bandung pada awal tahun 1950. Semula mereka hanya berjumlah 60 orang di Ambon, tetapi kemudian pada bulan April 1950 bertambah menjadi sekitar 200 orang. Mereka kemudian menjadi pengikut Soumokil dan melakukan terror terhadap golongan Republikein. Ketua Persatuan Pemuda Indonesia Maluku, Wim Reawaru, mereka tangkap dan mereka bunuh. Sampai bulan April di Ambon terdapat 2000 orang anggota KNIL. Sebag9ian tiba disana dalam rangka pengembalian ke masyarakat dan sebagian lagi ingin bergabung dengan APRIS.
Disamping itu, terdapat pula kelompok yang sengaja dikirim ke sana lengkap dengan senjata untuk tujuan-tujuan lain. Suatu ketika timbul huru-hara antara anggota-anggota KNIL dan pemimpin mereka yang berkebangsaan Belanda. Guna mengatasi hal ini, Kementrian Pertahanan RIS mengirim Letkol Tahiya, yang pada waktu itu menjadi pejabat sebagai Perwira Staf KSAP. Tahiya dengan kepala daerah mencatat nama para prajurit KNIL yang ingin masuk APRIS. Pekerjaan itu terhenti karena terjadi kekacauan.
Pada masa prolog sebelum dicanangkan proklamasi “RMS”, dilancarkan propaganda-propoganda separatis oleh Gabungan Sembilan Serangkai yang beranggotakan KNIL dan Partai Timur Besar. Menjelang Proklamasi tanggal 24 April 1950, Soumokil berhasil menghimpun kekuatan yang ada di lingkungan Masyarakat Maluku Selatan. Selain KNIL dan polisi yang dapat dipengaruhi, juga para rajapati melalui Manusama, serta Pemerintah daerah melalui Manuhutu dan sebagian golongan cendekiawan. Orang-orang yang menyatakan dukungannya kepada Republik dipenjarakan atau diancam.
Aksi-Aksi Pemberontakan RMS dan Reaksi Pemerintah dalam Menumpas Gerakan Republik Maluku Selatan
Pemerintah RIS berusaha mengatasi masalah ini secara damai dengan mengirim dr. Leimena. Akan tetapi, misi damai ini ditolak oleh Soumokil, bahkan mereka meminta bantuan, perhatian, dan pengakuan dari dunia luar, terutama dari Negara Belanda, Amerika Serikat, dan Komisi PBB untuk Indonesia.
Masyarakat Ambon pun ikut membantu mencoba mencari penyelesaiannya. Bekas anggota-angggota badan perjuangan mengadakan pertemuan untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya kepada masyarakat Ambon. Pertemuan ini dimaksudkan untuk mencegah meluasnya provokasi dari kelompok-kelompok yang mendukung RMS.
Masih dalam rangkaian usaha membendung meluasnya pengaruh RMS, pada tanggal 12 sampai 13 Juni 1950 diselenggarakan Konferensi Maluku di Semarang. Dalam konferensi tersebut para politikus asal Ambon yang umumnya terdiri dari tokoh-tokoh zaman pergerakan nasional menganjurkan agar masyarakat Maluku mengirim misi perdamaian ke Ambon. Mereka juga menyusun daftar usul kepada Pemerintah agar diberikan otonomi kepada Maluku Selatan. Para pemuda dari kelompok badan-badan perjuangan tidak menyetujui gagasan itu dan menganjurkan agar Pemerintah melaksanakan operasi militer.
Misi perdamaian dikirimkan terdiri dari para politikus, pendeta, dokter, dan wartawan. Meskipun berhasil diberangkatkan, mereka tidak dapat bertemu dengan pengikut Soumokil. Karena usaha kompromi mengalami jalan buntu, akhirnya Pemerintah terpaksa menumpas petualangan itu dengan kekuatan senjata. Ekspedisi militer untuk menumpas RMS disebut Gerakan Operasi Militer (GOM) III. Selaku pemimpin ekspedisi ditunjuk Kolonel Kawilarang, Panglima Tentara dan Territorium Indonesia Timur.
Pada tanggal 14 Juli pagi, pasukan ekspedisi APRIS sebanyak 850 orang dibawah pemimpin Kolonel Kawilarang mendarat di Namlea, Pulau Buru. Dengan susah payah, karena belum mengenal medannya, APRIS berhasil merebut pos-pos penting di Pulau Buru. Komandan pasukan RMS menyerah dan menghadap Kolonel Kawilarang. Setelah Pulau Buru dikuasai, pasukan Apris bergerak menuju Seram. Pendaratan dilakukan se Seram Barat pada tanggal 19 Juli 1950, dan dengan mudah Seram Barat dapat dikuasai pada hari itu juga. Dari sini gerakan pasukan APRIS dilanjutkan ke bagian lain Pulau Seram. Rupanya RMS bermaksud memusatkan kekuatan dan kekuasaannya di pulau Seram dan Ambon. Pertempuran kemudian terjadi di Piru. Pada tanggal 28 september 1950 pasukan ekspedisi mendarat di Ambon, dan dengan demikian Pulau Ambon bagian utara berhasil dikuasai. Serangan selanjutnya ditujukan ke Teluk Passo. Dalam serangan itu pasukan dibagi atas tiga grup, yaitu Grup I dipimpin oleh Mayor Achmad Wiranatakusumah, Grup II dipimpin oleh Letkol Kolonel Slamet Riyadi, dan Grup III dipimpin oleh Mayor Surjo Subandrio.
Grup III berhasil menguasai lapangan terbang Laha, sedangkan Grup II ketika mendarat di Tulehu disambut dengan gembira oleh rakyat. Serangan-serangan ini dilindungi oleh tembakan-tembakan dari udara dan dari laut. Sementara Grup II menyerang Waitatiri, pada tanggal 3 November 1950 Grup I didaratkan di Ambon dan berusaha merebut benteng Nieuw Victoria. Pada hari itu juga kota Ambon dapat dikuasai setelah terjadi pertempuran dramatis.pasukan RMS dengan menyamar sebagai anggota APRIS serta membawa bendera Merah Putih berhasil menguasai benteng itu kembali. Beberapa saat setelah peristiwa itu, datang Grup II dibawah pimpinan Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Dalam pertempuran jarak dekat di depan benteng Nieuw Victoria, Letnan Kolonel Slamet Riyadi tertembak dan gugur.
Dengan jatuhnya Ambon, perlawanan RMS praktis telah dipatahkan. Banyak tokohnya yang melarikan diri ke pedalaman Pulau Seram dan selama beberapa tahun mengadakan serangkaian kekacauan.
Gerakan Operasi Pengejaran Terhadap Pemberontak
Untuk mengejar dan menumpas sisa pemberontakan, terus diadakan pengejaran sampai tertangkapnya pemimpin RMS yaitu Soumokil yang bertahan dan bergerilya di pulau Ceram. Operasi-operasi pengejaran terhadap sisa-sisa pemberontak itu antara lain :
1. Operasi Haruku
Berlangsung pada tanggal 31 Desember 1950, dengan tujuan untuk menyerang dan menduduki pulau Haruku. Operasi itu berhasil pada hari itu juga, sehingga pulau Haruku dapat dikuasai dan sebagian musuh melarikan diri ke pulau Saparua dan pulau Ceram.
2. Operasi Bulan Siang
Sebagai dasar operasi Bulan Siang yaitu :
PO No. 076/I/IS.II/D/51, tanggal 7 Maret 1951. Adapun hari H jatuh pada tanggal 14 Maret 1951. Operasi tersebut bertujuan untuk merebut dan menduduki pulau Saparua. Dua hari kemudian pulau tersebut dapat direbut. Perlawanan musuh dapat dikatakan tidak berarti dan mereka banyak yang melarikan ke pulau Ceram.
3. Operasi Kole-kole I
Sebagai dasar operasi Kole-kole yaitu PO No. 0271/0104/IV/S-II/D/51/K. adapun hari H jatuh pada tanggal 1 Mei 1951. Gerakan operasi ini bertujuan untuk menduduki Sukaraja/Uwin-Patahu (Pantai Utara pulau Ceram Barat) dan merebut serta menguasai daerah segi tiga antara pegunungan Cicilia dan Naimakina.
Pendaratan pasukan dapat berhasil dengan baik sehingga kubu musuh dapat dihancurkan. Sebagian musuh dapat melarikan diri. Pihak APRIS tidak memberi kesempatan bagi musuh untuk mengkonsilidasi kekuatan guna mengadakan perlawanan. Rakyat yang melarikan diri kehutan dapat dikembalikan lagi ke negerinya masing-masing. Gerakan operasi ini disebut Combat Team “A”.
4. Operasi Kole-kole II
Sebagai dasar untuk melaksanakan operasi Kole-kole II adalah PO No. 0313/0104/V/S.II/D/51/K. tangggal 23 April 1951. Adapun hari H jatuh pada tanggal 29 Mei 1951. Operasi tersebut bertujuan untuk penyempurnaan penutupan daerah pulau Ceram bagian Barat. Gerakan operasi ini disebut Combat Team “B”. setelah berhasil menduduki Taniwel dengan tidak mengalami perlawanan yang berarti, pasukan terus bergerak untuk menguasai pantai dan daerah pedalaman antara Tanjung Hanna dan Pegunungan Cicilia yang subur. Didaerah ini banyak bahan makanan seperti sagu dan palawija. Gerakan ini mengutamakan pemisahan antara rakyat dan pemberontak, karena sangat dipengaruhioleh pihak pemberontak.
5. Operasi Harimau
Untuk pelaksanaan operasi ini berdasarkan pada PO. No. X019/S I/712/0104, tanggal 25 Juni 1951. Operasi ini jatuh pada tanggal 29 Juni 1951. Operasi tersebut bertujuan untuk melakukan penutupan jalan hubungan antara daerah Sukaraja – Ahiolo – Liang di pulau Ceram bagian Barat. Selain itu gerakan operasi ini bermaksud juga untuk menduduki daerah perkebunan Waraka – Awaya – Elpaputih – Wairanatan – Samasuru. Daerah tersebut merupakan gudang logistic makanan musuh, sehingga operasi harus dapat memisahkan antara rakyat dengan pihak pemberontak. Pihak pemberontak terus-menerus menghasut rakyat dengan cara mengancam karena banyak rakyat yang kembali ke pangkuan RIS.
6. Operasi Garuda II
Operasi ini dilaksanakan atas dasar PO. No. X085 148 8135/0104, tanggal 20 September 1951 dan hari H jatuh pada tanggal 25 September 1951, tujuan Operasi Garuda II yaitu mengadakan pendaratan di Kairatu, penghancuran dan pengejaran ke daerah pedalaman. Dalam operasi ini waktu melakukan pendaratan, APRIS mendapat gangguan karena ranjau buatan yang dipasang oleh musuh. Musuh melarikan diri ke pedalaman sambil membakar kampong dan asrama-asrama mereka.
7. Operasi Garuda III
Pelaksanaan operasi ini berdasarkan pada PS No. X 1465 1824/S/0104 pada tanggal 8 Desember 1951. Hari H dalam operasi tersebut jatuh pada tanggal 1 Januari 1952. Tujuan dari Gerakan operasi ini untuk menghancurkan musuh di Ceram Barat serta melakukan pengejaran. Dalam gerakan ini dibagi dalam tiga bagian, yaitu :
- Pasukan Garuda III (A), melakukan penyerbuan dari arah Honitepu ke Ahiolo dilaksanakan oleh Yon 208.
- Pasukan Garuda III (B), melakukan penyerbuan dari arah Honitepu ke Hukuanakota – Huku Kecil, dilakukan oleh Yon 709.
- Pasukan Garuda III (C), dilakukan oleh Yon 423, Yon 411, Yon 710, Yon 701, dan Yon 203 untuk melaksanakan patrol tempur guna menutup perbatasan Ceram Barat, Ceram Tengah dan daerah-daerah sekitarnya.
Pada tanggal 4 Januari 1952 telah menyerah Presiden RMS Y.H. Manuhutu serta beberapa orang menterinya, 2000 orang rakyat dan beberapa anggota APRMS dengan senjatanya Kepada Yon 208 di daerah Abio. Aktifitas musuh menjadi kelompok-kelompok kecil antara 5 s/d 7 orang. Mereka mengadakan hambatan sedangkan pimpinan mereka selalu berada pada pasukan yang kekuatannya dalam jumlah besar.
8. Pasukan Garuda IV
Pelaksanaan Pasukan Garuda IV didasarkan atas PS No. Xo 17508483/0104 tanggal 2 Januari 1952. Operasi ini bertujuan untuk menduduki Bessy dan Roho. Pendudukan daerah tersebut disebabkan karena musuh terus mengusahakan dan menyelenggarakan pada pihak luar melalui Bessy dan Roho. Oleh karena itu diusahakan penutupan terhadap daerah Ceram Barat dan Ceram Timur. Pengejaran ke daerah pedalaman terus dilakukan. Blokade pantai terus diperketat.
9. Operasi Masohi
Operasi ini berjalan lama sekali dengan tugas utama ialah mengadakan penumpasan terhadap sisa-sisa gerombolan RMS. Kegiatan yang dilakukan pada umumnya melakukan operasi-operasi yang terdahulu. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan yaitu :
- Pada tahun 1960 melakukan penumpasan-penumpasan sisa-sisa gerombolan RMS.
- Pada tahun 1961-1962 mengadakan penumpasan sisa-sisa RMS di Piru – Kairatu dan Hanitepu.
- Pada tahun 1960-1965 mengadakan penumpasan sisa-sisa RMS di Pulau Ceram.
- Pada tahun 1962-1963 mengadakan penumpasan sisa-sisa RMS di Kairatu
- Pada tahun 1962 Yon If 508 mengadakan penumpasan sisa-sisa RMS di daerah Sukaraja – Taniwel.
- Pada tanggal 15 Juli 1963 s/d 1964 (awal tahun), Brigif XV/Tirtayasa yang dipimpin oleh Letkol Natakusumah melakukan kegiatan operasinya
- Pada tanggal 22 September jam 05.30 tertangkap tokoh militer APRMS Kolonel APRMS W.F. Sopacua (sebagai Komandan Sektor Pertahanan APRMS Ceram Timur) oleh Kompi IV/320 (Lettu M. Nawawi sebagai Komandan Kompi IV) di kompleks Walili.
- Pada tanggal 2 Desember 1963 jam 05.00 tertangkap juga gembong utama dari pimpinan RMS yaitu Mr. Dr. Soumokil oleh Peleton 2/2/320 (Pelda Rukhiyat cs) disebelah utara Hasinepe, 14 jam perjalanan biasa dari pantai Sawai (Pulau Ceram). Dalam penangkapan tersebut tanpa letusan senjata.
- Pada tanggal 6 Desember 1963 jam 17.00 Kepala Staf APRMS L. Supacua (Kolonel APRMS) telah tertangkap oleh pasukan yang dipinpin oleh Mayor Banuarli.
Suatu hal yang harus diperhatikan yaitu jarak waktu antara suatu operasi dengan operasi yang berikutnya dalam rangka penumpasan-penumpasan sisa-sisa gerombolan RMS itu sangat jauh. Hal itu mungkin dikarenakan kurangnya personil, karena harus menunggu Yon – Yon yang datang dari T.T. lain, disamping mengembalikan Yon – Yon yang telah bertugas ke T.T. induknya .
Sejak tahun 1952 bantuan pengiriman Yon – Yon dari T.T. lain mulai dikurangi. Yang pada waktu itu tiap-tiap Kwartal kurang lebih 10 Yon dikirim ke Maluku. Pada umumnya Yon yang baru datang dikerahkan kedaerah operasi baru. Penggantian pasukan yang dilakukan di Maluku pada waktu itu ialah dengan cara memindahkan pasukan yang telah lama bertugas ditempat itu, kemudian ditempatkan ke tempat yang kegiatan musuh mulai berkurang seraya menunggu giliran kembali ke induk pasukannya.
Setelah Mr. Dr. Soumokil tertangkap, ia mengeluarkan statement yang ditujukan kepada ara pengikutnya untuk menghentikan segala tindakan dan pekerjaan yang bersifat anti Republik Indonesia. Dengan tertangkapnya Mr. Dr. Soumokil maka riwayat hidup RMS telah selesai. Hal itu sesuai dengan statement yang dikeluarkan oleh Soumokil yang menyatakan bahwa “sejak tanggal 2 Desember 1963 maka hapuslah riwayat hipup dari pada RMS seperti sebuah fatamorgana, maka segala hak-hak/kuasa-kuasa dari Dr. Nikijuluw dan Ir. J Manusama yang berdiam di Nederland dibatalkan”.
Tetapi kenyataannya tidaklah demikian, karena pengikut yang menamakan dirinya “Para Patriot Gerilya RMS” tidak mengakui adanya statement yang dikeluarkan oleh Soumokil. Mereka akan tetap melanjutkan perjuangannya.
Begitu juga yang menamakan dirinya Perwakilan Pemerintah RMS di Neterland melakukan kegiatan-kegiatan yang tetap menginginkan kemerdekaan RMS. Gembong-gembong RMS yang dapat meloloskan dirinya dari Maluku dengan mengharap pertolongan Belanda terus bergerak di negeri Belanda. Dr. Nikijuluw, Ir. J. Manusama dan P.W. Lakollo merupakan tokoh-tokoh yang akan menegakkan perjuangan RMS di Nederland. Ir. J. Manusama yang menamakan dirinya Kepala Misi Politik RMS dan merangkap sebagai menteri Pertahanan, ia diangkat oleh Pemerintah Belanda dari Irian Barat ke negeri Belanda. Jadi jelaslah bahwa Belanda memberi fasilitas, merupakan satu “tempat berteduh” bagi anasir-anasir yang berlindung dibawah panji-panji RMS.
Beberapa kali Pemerintah Indonesia mengadakan protes terhadap aktifitas Ir. J. Manusama yang anti Pemerintah Indonesia, akan tetapi Pemerintah Belanda tetap tidak melarang dengan adanya aktifitas gerakan tersebut. Hal itu menunjukkan kepada kita bahwa Belanda telah memberikan dukungan moril atau setidak-tidaknya mereka berdiri dibelakang aksi tersebut. Selama ini taktik RMS di negeri Belanda ialah dengan mengadakan penyiaran berita sensasional untuk memancing perhatian dunia tentang adanya persoalan dan gerakan RMS. Hal itu terbukti dengan adanya rencana serangan terhadap kota Ambon, sehingga keadaan pada bulan Desember 1954 menjadi sangat genting.
Setelah Irian Barat kembali ke pangkuan Republik Indonesia makin sempit pula gerak dari RMS baik di dalam maupun luar negeri. Dalam hal itu Belanda masih berusaha memperalat RMS untuk mengembalikan kepentingan-kepentingannya di Indonesia. RMS hanya melakukan kegiatan-kegiatannya di negeri Belanda saja, karena dianggap tempat yang baik bagi mereka.
Peristiwa Wessenaar adalah peristiwa penyerbuan terhadap Kedutaan Besar Republik Indonesia di Belanda oleh gerombolan RMS, merupakan suatu masalah yang harus dihadapi oleh Belanda. Dengan adanya peristiwa tersebut yang terjadi pada tanggal 31 Agustus 1970, tetapi dengan adanya peristiwa itu kemudian diundur 2 x 24 jam, sehingga baru dilaksanakan pada tanggal 2 September 1970.
Pada waktu dilakukan penyerbuan terhadap kediaman duta besar di Wessenaar, den Haag Gerombolan RMS berhasil menahan istri, anak Duta Besar RI, serta beberapa anggota Staf Kedutaan Besar RI. Mereka disekap sebagai Sandera oleh gerombolan pemuda-pemuda RMS, dengan harapan agar penyelesaian tuntutannya berhasil. Kurang lebih selama 12 jam, 40 orang pemuda keturunan Maluku di Nederland menduduki kediaman Duta Besar RI, dengan bersenjatakan senapan mesin, revolver dan stengun. Akhirnya kira-kira pada jam 17.30 waktu setempat gerombolan RMS itu menyerahkan diri kepada pihak Polisi.
Rupa-rupanya penyerbuan itu ialah untuk menarik perhatian umum terhadap apa yang mereka anggap sebagai penaklukan dan exploitasi terhadap pulau-pulau milik mereka oleh Indonesia. Mereka juga menuntut agar pemerintah Ambon yang berjumlah 30000 orang di Negeri Belanda pimpinannya diberi kesempatan bertemu dengan Presiden RI. Hal itu mungkin untuk mendesak tuntutan “otonominya”. Pimpinan mereka yang menganggap dirinya sebagai Presiden RMS – Ir. Manusama – telah menemui Perdana Menteri Belanda Piet de Yong dengan suatu desakan supaya ia mengusulkan kepada Presiden RI agar bersedia untuk bertemu dengan Ir. Manusama. Keputusan Pemerintah Republik Indonesia tetap menyatakan menolak keinginan Ir. Manusama itu. Presiden RI hanya bertemu dengan apa yang menamakan dirinya RMS.
Apabila diteliti lebih dalam lagi terhadap tuntutan pemuda-pemuda RMS itu agar Ir. Manusama dapat diterima oleh presiden RI, agak mengherankan apabila dilihat dari tindakan yang dilakukan oleh mereka dalam mengajukan tuntutannya itu. Dengan cara kekerasan dan pemerasan seperti yang mereka lakukan itu, pasti tidak mungkin bagi Presiden RI memenuhi Ir. Manusama. Pemuda-pemuda RMS melakukan tindakan serupa itu sebagi suatu langkah propaganda untuk menyatakan kepada dunia bahwa “Republik Maluku Selatan” itu masih ada.
Peristiwa Wessenaar akan membuat Pemerintah Belanda dalam kedudukan yang amat pelik. Penyelesaian RMS akan memberi nama baik dan prestise Pemerintah dan segenap rakyat Belanda dalam pandangan Pemerintah serta rakyat Indonesia. Hal itu mengingat hubungan antara Indonesia Belanda itu telah dipulihkan kembali. Kejadian itu tidak akan menggangu hubungan baik antara rakyat Belanda dengan Rakyat Indonesia, tetapi kiranya sudah tiba waktunya bagi Pemerintah Belanda dan rakyat Belanda agar memberi ajaran sopan santun kepada gerombolan Ir. Manusama yang tidak tau berterima kasih, mengenai hal yang telah diberikan kepadanya. Sudah tiba waktunya bahwa pemerintah Belanda dan rakyat Belanda bersikap secara tegas dank eras kepada gerombolan Ir. Manusama itu. Hal itu sesuai dengan apa yang dikatakan dalam peribahasa Belanda yaitu :
“Wat gij niet wilt dat gij geschiedt doet da took een ander niet”. (Apa yang anda tidak ingin diperlakukan orang terhadap diri anda, jangan pulalah memperlakukan orang seperti itu) .
Sumber :
Notosusanto, Nugroho dan marwati Djoened Poesponegoro.2008. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta:Balai Pustaka
Suryanegara, Ahmad Mansur.2002. Api Sejarah 2. Jakarta: Salamadani Pustaka Semesta (hal 308-3014)
Subajadi.1985. Penumpasan Pemberontakan Separataisme Di Indonesia. Bandung: Dinas sejarah TNI-AD 1985
Trijono,Lambang.2001. Keluar Dari Kemelut Maluku.Yogyakarta: Putaka Pelajar