Sejarah Partai Politik Pada Masa Reformasi

Rahmad Ardiansyah

Lahirnya gerakan reformasi bertujuan untuk memperbaiki tatanan perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pemerintahan Orde Baru dinilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupakan faktor atau penyebab utama lahirnya gerakan reformasi. Namun, persoalan itu tidak muncul secara tiba-tiba. Banyak faktor yang mendahuluinya, terutama ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum.

Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Presiden Suharto selama 32 tahun, ternyata tidak konsisten dan konsekuen dalam mewujudkan cita-cita Orde Baru. Pada awal kelahirannya tahun 1966, Orde Baru bertekad untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun dalam pelaksanaannya, pemerintahan Orde Baru banyak melakukan penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UUD 1945 yang sangat merugikan rakyat kecil. Bahkan, Pancasila dan UUD 1945 hanya dijadikan legitimasi untuk mempertahankan kekuasaan. Penyimpangan-penyimpangan itu melahirkan krisis multidimensional yang menjadi penyebab umum lahirnya gerakan reformasi, seperti berikut ini:

a. Krisis Politik
Krisis politik yang terjadi pada tahun 1998 merupakan puncak dari berbagai kebijakan 4politik pemerintahan Orde Baru. Berbagai kebijakan politik yang dikeluarkan pemerintahan Orde Baru selalu dengan alasan dalam kerangka pelaksanaan demokrasi Pancasila. Namun yang sebenarnya terjadi adalah dalam rangka mempertahankan kekuasaan Presiden Suharto dan kroni-kroninya. Artinya, demokrasi yang dilaksanakan pemerintahan Orde Baru bukan demokrasi yang semestinya, melainkan demokrasi rekayasa. Dengan demikian, yang terjadi bukan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk rakyat, melainkan demokrasi yang berarti dari, oleh, dan untuk penguasa. Kehidupan politik hanya menguntungkan para penguasa.

Pada masa Orde Baru, kehidupan politik sangat represif. Banyak tekanan yang kuat dari pemerintah terhadap pihak oposisi atau orang-orang yang berpikir kritis. Ciri-ciri kehidupan politik yang represif, di antaranya:

  1. Setiap orang atau kelompok yang mengkritik kebijakan pemerintah dituduh sebagai tindakan subversif (menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia).
  2. Pelaksanaan Lima Paket UU Politik yang melahirkan demokrasi semu atau demokrasi rekayasa.
  3. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela dan masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk mengontrolnya.
  4. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI yang memasung kebebasan setiap warga negara (sipil) untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan.
  5. Terciptanya masa kekuasaan presiden yang tak terbatas. Meskipun Suharto dipilih menjadi presiden melalui Sidang Umum MPR, tetapi pemilihan itu merupakan hasil rekayasa dan tidak demokratis.

b. Krisis Hukum
Rekayasa-rekayasa yang dibangun pemerintahan Orde Baru tidak terbatas pada bidang politik. Dalam bidang hukum, pemerintah juga melakukan intervensi. Kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh keadilan. Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Hukum dan lembaga peradilan tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya. Kenyataan itu bertentangan dengan ketentuan pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kehakiman memiliki kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintah (eksekutif).

c. Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara sejak Juli 1996 mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia tidak mampu menghadapi krisis global yang melanda dunia. Krisis ekonomi Indonesia diawali dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Pada tanggal 1 Agustus 1997, nilai tukar rupiah turun dari Rp 2,575.00 menjadi Rp 2,603.00 per dollar Amerika Serikat. Pada bulan Desember 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat turun menjadi Rp 5,000.00 per dollar. Bahkan, pada bulan Maret 1998, nilai tukar rupiah terus melemah dan mencapai titik terendah, yaitu Rp 16,000.00 per dollar.

Para investor banyak yang menarik investasinya. Inflasi mencapai titik tertinggi dan pertumbuhan ekonomi mencapai titik terendah selama pemerintahan Orde Baru. Pengangguran dan kemiskinan terus meningkat Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak dapat dipisahkan dari berbagai kondisi, seperti Hutang luar negeri Indonesia yang sangat besar menjadi penyebab terjadinya krisis ekonomi. Meskipun, hutang itu bukan sepenuhnya hutang negara, tetapi sangat besar pengaruhnya terhadap upaya-upaya untuk mengatasi krisis ekonomi.

d. Krisis Sosial
Krisis politik, hukum, dan ekonomi merupakan penyebab terjadinya krisis sosial. Pelaksanaan politik yang represif dan tidak demokratis menyebabkan terjadinya berbagai konflik. Baik konflik politik maupun konflik antar etnis dan juga agama. Semua itu berakhir pada meletusnya berbagai kerusuhan di beberapa daerah. Ketimpangan perekonomian Indonesia memberikan sumbangan terbesar terhadap krisis sosial. Pengangguran, persediaan sembako yang terbatas, tingginya harga-harga sembako, rendahnya daya beli masyarakat merupakan faktor-faktor yang rentan terhadap krisis sosial.

e. Krisis Kepercayaan
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia telah mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan Presiden Suharto. Ketidakmampuan pemerintah dalam membangun kehidupan politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan sistem peradilan, dan pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada rakyat banyak telah melahirkan krisis kepercayaan. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara telah sampai pada titik yang paling kritis. Krisis kehidupan masyarakat Indonesia inilah yang sering disebut sebagai krisis multidimensional. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi demonstrasi. Demonstrasi bertambah gencar dilaksanakan oleh para mahasiswa, terutama setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Agenda reformasi yang menjadi tuntutan para mahasiswa mencakup beberapa tuntutan, seperti: 1)Adili Soeharto dan kroni-kroninya, 2)Laksanakan Amandemen UUD1945, 3)Penghapusan Dwi fungsi ABRI, 4)Pelaksanaan Otonomi daerah seluas-luasnya, 4)Tegakkan Supermasi Hukum, 5)Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN.

Setelah peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998, seluruh lapisan masyarakat Indonesia berduka dan marah. Hal ini mengkibatkan peristiwa anarkis di Ibu kota dan di beberapa kota lainnya pada tanggal 13— 14 Mei 1998, yang menimbulkan banyak korban baik jiwa maupun material. Semua peristiwa tersebut makin meyakinkan mahasiswa untuk menguatkan tuntutan pengunduran Soeharto dari kursi kepresidenan. Pilihan aksi yang kemudian dipilih oleh kebanyakan kelompok massa mahasiswa untuk mendorong turunnya Soeharto mengerucut pada aksi pendudukan gedung DPR/MPR. Pendudukan Gedung DPR/MPR RI adalah peristiwa monumental dalam proses pelengseran Soeharto dari tampuk kekuasaan Presiden dan tuntutan reformasi. Dalam peristiwa ini, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus bergabung menduduki gedung DPR/MPR untuk mendesak Soeharto untuk mundur.

Selama masa orde baru, kehidupan kepartaian di Indonesia seakan mati tak terdengar gemanya. Meskipun pada saat itu bukan sistem partai tunggal yang diterapkan, namun yang tejadi seakan partai tunggal. Partai politik selain Golkar mengalami pengerdilan habis-habisan. Pengerdilan ini misalnya dilakukan dengan penyederhanaan partai untuk mengurangi lawan politik. Pada saat itu partai dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang berhaluan agama dan berhaluan nasionalis. Selain itu juga dengan pelarangan kampanye sampai level desa. Partai hanya diperbolehkan kampanye sampai level kabupaten. Oleh sebab itu massa di desa dapat dikeruk oleh Golkar, sebab Golkar bukan partai. Pengerdilan-pengerdilan tersebut masih diperkuat dengan pemerintahan yang di backing oleh miter. Tindakan-tindakan represif dilakukan terhadap masyarakat dan kontrol media juga yang sangat ketat.Ini yang mengakibatkan Soeharto dan Golkar mampu bertahan cukup lama di kursi kekuasaan.

Pada masa reformasi, kehidupan politik Indonesia berjalan mengarah kepada hal yang lebih baik jika dibandingkan dengan masa Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dari adanya sistem kepartaian yang baru. Sistem kepartaian baru disebut kokoh dan adaptable apabila sistem tersebut mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan nasional baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan menjadi penting bila ia mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk saluran-saluran kelembagaan yang diperlukan guna menampung partisipasi politik.

Sistem kepartaian yang kokoh, sekurang-kurangnya harus memiliki dua kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai, sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan. Kedua, mencakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru dimobilisasi. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan kuat yang dihadapi oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem kepartaian yang kuat menyediakan organisasi-organisasi yang mengakar dan prosedur yang melembaga guna mengasimilasi-kan kelompok-kelompok baru ke dalam sistem politik.

Dampak dari adanya sistem kepartaian yang baru dapat terlihat secara menyeluruh dalam kehidupan perpolitikan Indonesia. Seperti yang dikutip dari buku Sistem Politik Indonesia Era Reformasi oleh Prof. DR. Budi Winarno, MA. Gerakan reformasi Indonesia mempunyai beberapa prestasi besar dalam bidang politik dan ketatanegaraan, seperti:

  • Perubahan baik dalam pemilihan umum yang lebih demokratis. Awal perubahan baik ini dapat dilihat pada pemilu 1999, dimana itu adalah pemilu pertama setelah jatuhnya rezim Soeharto. Ketika pada masa orde baru pemilu hanya dijadikan alat legitimasi kekuasaan Soeharto. Namun, pada pemilu 1999 partisipasi pollitik diberikan ruang yang lebih luas. Partisipasi masyararakat juga tinggi untuk memilih partai politik dan wakil-wakil yang akan menduduki jabatan-jabatan publik tanpa adanya intervensi.
  • Adanya reformasi politik dan fungsi-fungsi politik yang melekat pada struktur tersebut. Adanya amandemen UUD 1945 pada tahun 2002 yang menegaskan bahwa presiden tidak lagi dipilih MPR, tetapi dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Selain itu presiden hanya dapat dijatuhkan oleh parlemen jika terbukti melakukan pelanggaran hukum. Hal tersebut tentunya tidak terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa Orde Baru, walaupun presiden merupakan mandataris MPR , tetapi pada kenyataanya MPR tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
  • Reformasi sistem kepartaian. Pada masa orde baru partai politik tidak diberi ruang untuk berkembang dan melaksanakan fungsi-fungsinya secara maksimal dalam sistem politik demokrasi. Maka dalam reformasi sistem kepartaian terdapat banyak perubahan. Pada masa orde baru, partai-partai politik (PPP dan PDI) tidak diizinkan untuk beroperasi sampai ketingkat grass root (desa). Akibatnya, partai politik tidak mempunyai kekuatan yang mengakar kebawah. Namun setelah lahirnya reformasi, partai politik mempunyai ruang yang luas untuk berkembang.
  • Reformasi penyelenggaraan pemerintah daerah. Selama masa orde baru, penyelenggaraan pemerintahaan daerah diwarnai terlalu kuatnya peran pusat dalam menentukan pembangunan daerah. Selain itu, perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga menimbulkan banyak persoalan. Pemerintah daerah hanya diberi peluang untuk mendapatkan pendapatan dari pajak daerah yang kecil, sementara pendapatan daerah yang besar dikuasai pusat yang mengakibatkan pemerintah daerah merasa dicurangi. Kelemahan itu mulai dibenahi pada masa reformasi melalui lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Sistim pembentukan anggota DPR yang didasarkan pada profesionalisme kinerja dapat membentuk anggota DPR yang solid, dan professional dibidangnya. Mereka dapat menjadi partner kerja sekaligus pengevaluasi kinerja pemerintahan. Harus ada sistim yang terpisah antara memilih lembaga eksekutif dan lembaga legeslatif.

Pada tahun 1999 diadakan pemilu yang diikuti oleh berbagai macam partai. Partai politik yang mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman berjumlah 141. Namun setelah diseleksi, tidak semuanya dapat mengikuti pemilihan umum 1999. Partai politik yang memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum hanya 48 partai saja.

Hasil pemilihan umum 1999 yang tertera pada tabel di bawah ini menunjukkan bahwa tidak ada partai yang secara tunggal mendominasi pemerintahan. Selain itu, juga tidak ada partai yang memegang posisi mayoritas mutlak yang dapat mengendalikan pemerintahan.

Tabel 1
Perolehan Suara dan Kursi Enam Besar dalam Pemilihan Umum 1999
Nama Partai
Perolehan Suara
Persentase
Perolehan Kursi
Persentase
PDIP
35.689.073
33,74
153
33,11
Golkar
23.741.749
22,44
120
25,97
PPP
11.329.905
10,71
58
12,55
PKB
13.336.982
12,61
51
11,03
PAN
7.528.956
7,12
34
7,35
PBB
2.049.708
1,93
13
2,81

Sumber: Komisi Pemilihan Umum RI

Setelah pemilihan umum 1999 dan menjelang pemilihan umum tahun 2004 banyak bermunculan partai-partai politik baru. Pada awal 2003, partai politik yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia bertambah lagi, hingga berjumlah 237 partai. Oleh karena itu, pada pemilihan umum 2004 ada dua tahap seleksi yang harus dilalui untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum 2004. Pertama, seleksi yang dilakukan oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Kedua, seleksi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Partai politik yang tidak lolos pada seleksi tahap pertama tidak diperbolehkan untuk mengikuti seleksi tahap kedua. Dari jumlah tersebut yang dapat mengikuti seleksi di KPU hanya 50 partai, sedangkan yang lolos tahap kedua sehingga dapat mengikuti pemilihan umum 2004 hanya 24 partai.

Pada pemilihan umum 2004 terdapat 7 partai yang memenuhi electoral threshold. Ketujuh partai tersebut adalah :

Tabel 2
Perolehan Suara dan Kursi Tujuh Besar dalam Pemilihan Umum Legislatif 2004
Nama Partai
Perolehan Suara
Persentase
Perolehan Kursi
Persentase
Golkar
24.480.757
21,58
128
23,27
PDIP
21.026.629
18,53
109
19,81
PKB
11.989.564
10,57
52
9,45
PPP
9.248.764
8,15
58
10,54
P Demokrat
8.455.225
7,45
57
10,36
PKS
8.325.020
7,34
45
8,18
PAN
7.303.324
6,44
25
4,54

Sumber: Komisi Pemilihan Umum Tahun 2004

Berikut ini adalah partai politik yang ikut serta dalam pemilu tahun 1999 sampai pemilu tahun 2014. Pertama adalah “Partai Indonesia Baru, Partai Kristen Nasional Indonesia, Partai Nasional Indonesia – Supeni, Partai Aliansi Demokrat Indonesia, Partai Kebangkitan Muslim Indonesia, Partai Ummat Islam, Partai Kebangkitan Ummat, Partai Masyumi Baru, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Abul Yatama, Partai Kebangsaan Merdeka, Partai Demokrasi Kasih Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Rakyat Demokratik, Partai Syarikat Islam Indonesia 1905, Partai Katolik Demokrat, Partai Pilihan Rakyat, Partai Rakyat Indonesia, Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, Partai Bulan Bintang, Partai Solidaritas Pekerja, Partai Keadilan, Partai Nahdlatul Ummat, Partai Nasional Indonesia – Front Marhaenis, Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai Republik, Partai Islam Demokrat, Partai Nasional Indonesia – Massa Marhaen, Partai Musyawarah Rakyat Banyak, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Golongan Karya, Partai Persatuan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Uni Demokrasi Indonesia, Partai Buruh Nasional, Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong, Partai Daulat Rakyat, Partai Cinta Damai, Partai Keadilan dan Persatuan, Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia, Partai Nasional Bangsa Indonesia, Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia, Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia, Partai Nasional Demokrat, Partai Ummat Muslimin Indonesia, Partai Pekerja Indonesia, Partai Pelopor, Partai Persatuan Daerah, Partai Karya Peduli Bangsa”.

Diantara begitu banyak partai, ada 7 partai politik yang memperoleh suara lebih banyak dari partai-partai lainnya. Partai yang pertama adalah

Partai Golkar (Golongan Karya). Pada tahun 1964 untuk menghadapi kekuatan PKI (dan Bung Karno), golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1961 di Jakarta. Pembentukan Sekber Golkar merupakan inisiatif dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) setelah adanya pengakuan tentang kehadiran dan legalitas golongan di MPRS dan front Nasional.

Sekber Golkar merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada dibawah pengaruh politik tertentu.Terpilih sebagai Ketua Pertama, Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono melalui Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas). Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat. Hal ini dikarenakan golongan fungsional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi.

Partai politik yang kedua adalah PAN (Partai Amanat Nasional). Kelahiran Partai Amanat Nasional (PAN) dibidani oleh Majelis Amanat Rakyat (MARA), salah satu organisasi gerakan reformasi pada era pemerintahan Soeharto, PPSK Muhamadiyah, dan Kelompok Tebet. PAN dideklarasasikan di Jakarta pada 23 Agustus 1998 oleh 50 tokoh nasional, di antaranya mantan Ketua umum Muhammadiyah Prof. Dr. H. Amien Rais, , Goenawan Mohammad, Abdillah Toha, Dr. Rizal Ramli, Dr. Albert Hasibuan, Toety Heraty, Prof. Dr. Emil Salim, Drs. Faisal Basri, M.A., A.M. Fatwa, Zoemrotin, Alvin Lie Ling Piao, dan lainnya.Sebelumnya pada pertemuan tanggal 5–6 Agustus 1998 di Bogor, mereka sepakat membentuk Partai Amanat Bangsa (PAB) yang kemudian berubah nama menjadi Partai Amanat

Nasional (PAN). PAN bertujuan menjunjung tinggi dan menegakkan kedaulatan rakyat, keadilan, kemajuan material, dan spiritual. Cita-cita partai berakar pada moral agama, kemanusiaan, dan kemajemukan. Selebihnya PAN menganut prinsip non-sektarian dan non-diskriminatif. Untuk terwujudnya Indonesia Baru, PAN pernah melontarkan gagasan wacana dialog bentuk negara federasi sebagai jawaban atas ancaman disintegrasi. Titik sentral dialog adalah keadilan dalam mengelola sumber daya sehingga rakyat seluruh Indonesia dapat benar-benar merasakan sebagai warga bangsa.

Partai yang ketiga adalah PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) adalah sebuah partai politik di Indonesia yang lahirnya dapat dikaitkan dengan peristiwa 27 Juli 1996. Hasil dari peristiwa ini adalah tampilnya Megawati Soekarnoputri di kancah perpolitikan nasional. Walaupun sebelum peristiwa ini Megawati tercatat sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia dan anggota Komisi I DPR, tetapi setelah peristiwa inilah, namanya dikenal di seluruh Indonesia. PDI-P didirikan setelah dibukanya kehidupan kepartaian politik oleh Presiden Habibie yang bertujuan untuk menyongsong Pemilu 1999. Kongres I PDI-P berlangsung di Semarang, Jawa Tengah pada tahun 2000. Pada pemilu 1999, PDI-P memperoleh peringkat pertama untuk suara DPR dengan memperoleh 151 kursi. Walaupun demikian, PDI-P gagal membawa Megawati ke kursi kepresidenan. Hal ini dikarenakan kalah voting dalam Sidang Umum MPR 1999 dari Abdurrahman Wahid, dan oleh karenanya Megawati menduduki kursi wakil presiden. Setelah Abdurrahman Wahid turun dari jabatan presiden pada tahun 2001, PDI-P berhasil menempatkan Megawati ke kursi presiden.

Dalam Pemilu Legislatif 2004, perolehan suara PDI-P turun ke peringkat kedua, dengan 109 kursi. Pada Pemilu Presiden 2004, PDI-P kembali mencalonkan Megawati sebagai calon presiden, berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden. Pada Pemilu Legislatif 2009, perolehan suara PDI-P kembali turun ke peringkat ke-tiga dengan jumlah kursi sebanyak 94 kursi. PDI-P kemudian bersama dengan Partai Gerindra mengusung pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu Presiden 2009.

Pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 kali ini, PDI-P berhasil meraih peringkat pertama dan mendapatkan perolehan suara sebanyak 18.95% dan perolehan kursi DPR sebanyak 109 kursi. PDI-P bersama dengan Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hanura, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia dalam Pemilihan Presiden 2014 kali ini mengusung Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan mantan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.

Partai keempat adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah sebuah partai politik di Indonesia. Pada saat pendeklarasiannya pada tanggal 5 Januari 1973, partai ini merupakan hasil gabungan dari empat partai keagamaan yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Perti dan Parmusi. Ketua sementara saat itu adalah Mohammad Syafa’at Mintaredja. Penggabungan keempat partai keagamaan tersebut bertujuan untuk penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia dalam menghadapi Pemilihan Umum pertama pada masa Orde Baru tahun 1973.

Partai selanjutnya adalah PBB (Partai Bulan dan Bintang). Partai Bulan Bintang (PBB) adalah sebuah partai politik Indonesia yang berasas-kan Islam dan menganggap dirinya sebagai partai penerus Masyumi yang pernah jaya pada masa Orde Lama. Partai Bulan Bintang didirikan pada 17 Juli 1998. Partai ini telah ikut pemilu selama empat kali yaitu pada Pemilu tahun 1999, 2004 ,2009 dan 2014. Pada Pemilu tahun 1999, Partai Bulan Bintang mempu meraih 2.050.000 suara atau sekitar 2% dan meraih 13 kursi DPR RI. Sementara pada Pemilu 2004 memenangkan suara sebesar 2.970.487 pemilih (2,62%) dan mendapatkan 11 kursi di DPR.

Partai ini sebelumnya diketuai oleh Yusril Ihza Mahendra, tokoh yang pernah menjabat Menteri Sekretaris Negara di massa PresidenSBY. Tokoh ini mempunyai ciri tahi lalat di wajahnya dan dikenal sebagai tokoh yang memelopori amandemen Konstitusi Pasca Reformasi, di tengah tuntutan Federalisme dari beberapa tokoh. Berikutnya MS Kaban dipilih sebagai ketua umum pada 1 Mei 2005. MS Kaban ketika itu menjabat Menteri Kehutanan di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I.

Dalam Pemilihan Umum Anggota Legislatif 2009, partai ini memeroleh suara sekitar 1,8 juta yang serata dengan 1,7% yang berarti tidak mampu meraih perolehan suara melebihi parliamentary threshold 2,5% sehingga berakibat pada tidak memiliki wakil seorang pun di DPR RI , meski di beberapa daerah pemilihan beberapa calon anggota DPR RI yang diajukan memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai Anggota DPR RI. Pada pemilu legislatif 2014, partai ini diloloskan KPU sebagai peserta pemilu 2014 dan mendapat nomor urut 14. PBB meraih suara sebesar 1 sampai 2 persen yang dianggap tidak lolos bersama PKPI. Namun, partai yang memperjuangkan syari’at Islam masuk dalam sistem hukum di Indonesia sebagai icon perjuangannya ini, masih memiliki sekitar 400 Anggota DPRD baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

Sejak Muktamar ke-3 pada April 2010 di Medan, partai ini telah menetapkan kembali MS Kaban sebagai Ketua Umum, sedangkan BM Wibowo Hadiwardoyo mantan Sekjen Organisasi massa Islam Hidayatullah diangkat sebagai Sekretaris Jenderal. Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc. menjabat sebagai Ketua Majelis Syura sedangkan DR. Fuad Amsyari sebagai Ketua Dewan Kehormatan Partai. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa lahirnya gerakan reformasi bertujuan untuk memperbaiki tatanan perikehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Gerakann reformasi di Indonesia disebabkan oleh penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada masa sebelumnya. Penyimpangan-penyimpangan tersebut telah mengakibatkan terjadinya krisis di bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan kepercayaan. Pada masa reformasi, kehidupan politik Indonesia berjalan mengarah kepada hal yang lebih baik jika dibandingkan dengan masa Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dari adanya sistem kepartaian yang baru. Dampak dari adanya sistem kepartaian yang baru dapat terlihat secara menyeluruh dalam kehidupan perpolitikan Indonesia.

Partai politik yang memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilihan umum tahun 1999 hanya 48 partai saja. Hasilnya tidak ada partai yang secara tunggal mendominasi dan memegang posisi mayoritas mutlak yang dapat mengendalikan pemerintahan. Partai politik yang lolos seleksi untuk menjaadi peserta pemilu 2004 hanya 24 partai. Pada pemilihan umum ini, terdapat 7 partai yang memenuhi electoral threshold. Partai-partai tersebut adalah Golkar, PAN, PDIP, PPP, PBB

A. Pasca Tumbangnya Orde Baru
Indonesia, setelah 32 tahun berkuasa regim non-demokratis Orde Baru, akhirnya ‘merelakan’ meletakkan tahtanya melalui sebuah sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan tergulingnya Orde Baru, Indonesia menapaki tahapan transisi menuju demokrasi, transisi ungkap Gunther: “begins with the breakdown of the former authoritarian regime and ends with establishment of a relatively stable of political institution within a democratic regime”.[1]
Pasca tumbangnya Orde Baru, terdapat dua metoda yang bisa ditempuh untuk menata ulang kembali tata politik, yakni; suatu reformasi radikal terhadap institusi politik warisan Orde Baru termasuk penggusuran besar-besaran para penjaga lembaga tersebut dalam bentuk pemecatan, penggantian dan sebagainya, dikarenakan persoalan yang dihadapi ialah korupsi, kolusi, nepotisme, sehingga konsekuensi paling logis ialah pembersihan institusi politik, dengan kata lain metoda ini membawa gerakan reformasi lebih dekat kepada republikanisme. Hal kedua yang dapat dilakukan ialah: lebih merupakan konsep demokratik klasik, dengan tekanan utama diberikan pada persamaan, partisipasi rakyat dalam proses politik, dan memberikan focus pada ide kebebasan dan kebersamaan. Tentunya pilihan pertama tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh, karena seluruh perhatian diarahkan pada pilihan kedua.[2]
Capain penting pasca tumbangnya regim authoritarian Orde Baru. Pertama, penyelenggaraan Pemilihan umum sebagai wujud partisipasi rakyat, jika pada pemilu-pemilu Orde Baru dilakukan hanya untuk melegitimasi kekuasanya dengan mekanisme memobilisasi massa rakyat. Kedua, reformasi struktur dan fungsi-fungsi politik yang melekat pada struktur tersebut. Ketiga, reformasi system kepartaian, yang mana pada masa Orde Baru partai politik tidak memberikan ruang untuk berkembang dan melaksanakan fungsi-fungsinya secara maksimal dalam system politik demokrasi penyerderhanaan partai politik hingga menjadi dua partai saja Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Perjuangan, dan proses de-ideologisasi di perparah dengan kebijakan floating mass. Dan Keempat, reformasi penyelenggaraan pemerintah daerah.[3]
Demokratisasi ditandai oleh adanya tiga prasyarat: (1) kompetisi dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, (2) partisipasi masyarakat, (3) adanya jaminan hak-hak sipil dan politik. berkaitan dengan hal tersebut Dahl (1971) yakni adanya kebebasan didalam membentuk organisasi, termasuk partai politik. Pada dasarnya, partai politik hadir untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan yang berbeda dari setiap zaman yang terus mengalami perubahan, keberadaan partai politik dalam era demokrasi modern menjadi penanda penting, dapat dipastikan bahwa partai-partai politik teleh menajdi bagian tak terpisahkan dari system politik, baik yang otoriter atau yang demokratis sekalipun, sehingga dikatakan oleh Call Ladd, partai politik merupakan “children of egalitarianism”. Partai politik menurut Edmund Burke(dalam Basri, 2012:121) adalah “party is a body of men united, for promothing by their joint their endeavors the national interest, upon some particular principle upon which they are all agreed”.[4]
Menurut Huntington: Stabilitas, kekokohan partai dan system kepartaian akan sangat tergantung atas derajat pelembagaan dan partisipasinya. Partisipasi yang luas dibarengi dengan drajat rendah pelembagaan partai politik akan menghasilkan politik anomik dan kekerasan. Karakteristik dari sebuah Negara demokratis, ialah adanya kebebasan dalam menbentuk organisasi Partai Politik, seturut dangan hal tersebut, Indonesia tengah mengalami euphoria kebebasan politk pasca lengsernya Orde Baru, terdapat 141 partai politik yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan setelah diverifikasi, hanya 48 partai politik yang dinyatakan layak untuk mengikuti pemilu 1999. (Budi Winarno (2008), Op.cit, hal 97-98)
Partai politik peserta pemilu 1999, dikelompokkan Daniel Dhakidae kedalam 3 kategoris: (1) partai-partai yang memiliki garis muasal yang bias ditelusuri sampai ke partai angkatan pertama sebelum perang dan tahuan 1980-an
(15 partai), (2) partai-partai yang memiliki hubungan emosional dengan partai-partai terdahulu yang tidak dengan sendirinya memegang mandate untuk melanjutkan partai itu (8 partai), dan (3) partai-partai baru dari angkatan baru dengan pemikiran politik baru.[5]
Pemilu 1999 memberikan hasil yang mengejutkan, dari 48 partai politik peserta Pemilu, hanya 5 partai politik saja yang memperoleh dukungan suara rakyat cukup signifikan PDIP, Golkar, PPP, PKB, PAN, dan 10 partai hanya mampu memperoleh satu kursi diparlemen PBI, PP, PDR, PSII, PNI Front Marhaenis, PNI Massa Marhaen, IPKI, PKU, Masyumi, PKD, dan 27 partai yang perolehan suaranya tidak mampu memperoleh kursi di DPR.
Pada Pemilu 1999 walaupun PDIP memenagkan Pemilu, namun gagal merebut kursi kepresidenan dikarenakan gagal membangun koalisi, berdasar pada perolehan kursi yang didapat oleh PDIP tidak cukup kuat untuk berdiri sendiri tanpa dukungan dari partai lain. Sebaliknya Abdurrahman Wahid, yang hanya berbasis pada partai tengahan PKB bisa terpilih sebagai presiden dikarenakan didukung oleh koalisi yang lebih besar.[6]
Pun demikian pada Pemilu, kontestan Peserta Pemilu tidak ada yang menjadi partai dominan dalam perolehan suara, berkaitan dengan hal tersebut Ljiphart dalam Marijan, (2012:69), mengatakan: didalam masyarakat yang majemuk dan tidak ada partai yang dominan itu pada akhirnya lebih cenderung menggunakan demokrasi model consensus. Koalisi untuk membangun pemerintahan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari.
B. Sebelum Pemilu 1999 Masa Reformasi
1. Golkar memperbaharui diri
Jatuhnya Soeharto meninggalkan beban berat di pundak Golkar, Sebagai pembina, secara de facto sebenarnya Soeharto adalah ketua umum Golkar, Berbagai kebijakan dan kepemimpinan Golkar sepenuhnya ada dalam kontrol Soeharto, Besarnya kemarahan publik atas Soeharto, suka atau tidak, membawa imbas pula ke Golkar, Dalam sentimen publik, Golkar dianggap penopang kekuasaan Soeharto dan harus ikut memikul tanggung jawab pula.
Untuk bertahan sebagai partai politik, tidak heran jika kemudian Golkar berbenah diri, Partai ini ingin memutuskan hubungan dengan masa silam, terutama Soeharto, Untuk pertama kalinya ketua umum dipilih secara demokratis tanpa arahan ketua dewan pembina lagi, Akbar Tandjung terpilih sebagai ketua umum dan struktur pembina dihapuskan dalam bagan organisasi, Target Golkar baru bukan saja harus survive dalam era transisi yang berat, namun ingin kembali memenenangkan pemilu 1999 yang demokratis.[7]
Indonesia tahun 1999 juga melaksanakan pemilu multi partai, ini adalah pemilu demokratis pertama di Indonesia sejak tahun 1955, Dalam pemilu tahun 1999 itu dipilih para anggota parlemen, Setelah itu dipilih presiden dan wakil presiden baru. Dapatkah Golkar memenangkan pemilu untuk parlemen? dan kemudian memenangkan pemilihan presiden, dan kembali berkuasa dalam era Indonesia baru yang demokratis.
Sebagai partai modern, sasaran utama Golkar-seperti juga sasaran semua partai di dunia adalah bagaimana memenangkan pemilu demokratis, Memenangkan pemilu adalah satu-satunya cara agar pemimpin baru Golkar dapat mengendalikan pemerintahan sepenuhnya, Dan juga satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa mereka mampu membuat Golkar dipercaya oleh masyarakat luas.
Masa transisi di Indonesia didahului oleh krisis ekonomi dan membusuknya sistem politik Order Baru, Kondisi ini menyebabkan kebencian masyarakat atas sistem lama meluas, Golkar tidak beruntung karena dianggap penopang utama pemerintahan lama, Transisi itu pun tidak dipimpin oleh Golkar sejak awal, tetapi oleh kelompok oposisi yang dimotori oleh gerakan mahasiswa. Citra moral Golkar di mata publik jauh lebih buruk, Untungnya, ketua umum Golkar yang baru datang dari kubu reformasi, Ini cukup menolong walau sama sekali tidak dapat menghapuskan sepenuhnya kemarahan massa atas sepak terjang Golkar di era sebelum reformasi.
Indonesia punya pengalaman dengan demokrasi ditahun 1950-an, Di era ini begitu banyak partai kuat yang berdiri, Walau berbagai partai itu sudah hilang ataupun dilarang berdiri sebagai partai, loyalitas komunitas terhadap aliran politik partai lama masih kuat, Akibatnya, di era baru, partai itu dapat bangkit kembali dan mengambil kembali para pemilih yang selama ini memberi suara ke Golkar.
NU, Muhmmadiyah dan Soekarnoisme punya massa sangat besar, yang punya partainya sendiri bersaing dengan Golkar, Ketua umum Golkar, Akbar Tandjung, harus bersaing pula dengan tokoh-tokoh yang punya daya tarik massa, seperti Megawati(Soekarnois), Gus Dur(NU) dan Amien Rais(Muhammadiyah). Inilah alasan mengapa sulit bagi Golkar untuk memenangkan Pemilu 1999, Namun, sulit itu tidak berarti mustahil, Bagaimanapun juga kemampuan pemimpin dalam berpolitik dapat mempengaruhi hasil akhir.
Salah satu kemungkinan yang dapat membawa Golkar menang jika komunitas di atas (Soekarnois, NU, dan Muhammadiyah), masing-masing pecah ke berbagai partai sehingga suara mereka tidak terkonsentrasi ke satu partai besar, Atau, Golkar sendiri mampu menampilkan dan merekrut calon yang punya daya tarik kuat bagi komunitas di atas, Suka atau tidak, tiga komunitas itulah yang kini punya massa yang besar dan mengakar.
2. Langkah awal PDI-Perjuangan
Konsolidasi awal PDI-Perjuangan adalah di Bali, awal Oktober
1998, saat itu nama PDI-Perjuangan belum dilegalisasi oleh pendukung Megawati, Pertikaian internal dua PDI masih terus berlanjut dan saling mengklaim untuk memakai bendera PDI, Selama berkuasanya Soeharto, PDI-Perjuangan dimarginalkan dan terus hidup bergerak secara underground, Jatuhnya Soeharto dan akan diadakannya kembali pemilu menjadi kesempatan PDI-Perjuangan untuk konsolidasi.[8]
Di Bali, Megawati Soekarnoputri tidak sekedar dikukuhkan kembali sebagai ketua umum, Lebih dari itu, ia semakin berevolusi menuju pemimpin yang kharismatik, Dukungan atas dirinya bulat, Emosi pendukung atas dirinya sangat dalam, Kini koalisi politik yang ia bangun semakin lebar dan kuat, meliputi warga NU dari sayap Gus Dur dan para purnawirawan militer.
Dari sisi ekonomi, PDIP membawa visi reformasi yang diperjuangkan para mahasiswa dalam gerakan sosial menjatuhkan Soeharto tahun 1998, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah akibat tidak diberlakukannya ekonomi liberal yang menjunjung kompetisi terbuka dan peran pemerintah yang minimal dalam ekonomi.
3. Partai islam mencari format
Jatuhnya Soeharto membuka pula kemungkinan berdirinya berbagai partai dengan asas Islam, Di era Soharto, asas islam itu ditabukan karena bertentangan dengan ideologi negara Pancasila yang sudah ditunggalkan untuk menjadi asas seluruh partai politik serta organisasi kemasyarakatan, Mereka yang merasa memiliki basis umat Islam yang merupakan 90% penduduk Indonesia kini dihadapkan pada dua pilihan: Memilih Islam sebagai asas dan arah politik atau memilih asas terbuka yang plural.
Bagaimanakah sebaiknya politik Islam mengambil tempat dalam era reformasi di tanah air sekarang ini? Hal ini sangat penting diperdebatkan secara serius setidaknya karena dua alasan, Pertama, tidak bisa dipungkiri, bahwa islam adalah agama mayoritas penduduk Indonesia yang menggores secara dalam ke batin pemeluknya, Sentimen keislaman sangat mudah memberi motivasi dan menggugah massa, Kedua, belum ditemukannya format yang pas antara politik islam dan prinsip demokrasi modern, yang memuaskan baik bagi pendukung demokrasi, ataupun politik islam.
Dikalangan umat islam sendiri di Indonesia saat itu ada dua kubu yang berbeda jalan, Kubu pertama sacara sangat baik direpresentasikan oleh Nurcholis Madjid, Kubu kedua diwakili oleh Deliar Noer. Di mesjid Al-Azhar, Jakarta Selatan, akhir Juni 1998, Prof, Dr, Deliar Noer, bersama sejumlah rekan, mendeklarasikan berdirinya sebuah partai isalm yang diberi nama Partai Umat Islam(PUI), Partai ini diikutkan dalam pemilu 1999.
Sebelum itu, sejak lama Cak Nur(Nurcholish Madjid) mengajukan sebaiknya jangan memunculkan komunalisme dalam pendirian partai baru, Anjuran Cak Nur ini adalah kelanjutan sikap politiknya sejak lama, islam yes partai islam No! Cak Nur mengakui bahwa pendirian partai yang berlandaskan agama adalah hak asasi warga negara dan dijamin dalam prinsip demokrasi, Namun dari sisi kemanfaatan dan kesiapan masyarakat, partai yang ada sebaiknya berdasarkan pada platform isu soal ekonomi, seperti keadilan atau kebhinekaan, Sedangkan agama harus tetap sebagai sumber moral publik yang tidak dipolitisasi dalam kancah pertarungan politik.
Indonesia mungkin dapat menerapkan sistem yang lebih luwes. Partai islam dibolehkan berdiri sesuai dengan prinsip demokrasi modern, Namun partai itu harus menyatakan kesetiaannya secara tertulis terhadap konstitusi negara, Konstitusi kita sekarang, UUD 1945, dilengkapi dengan amandemen yang memasukan secara eksplisit prinsip demokrasi modern dan hak asasi manusia, Mahkamah Agung ditugaskan mengawal konstitusi yang sudah diperbaharui itu.
4. Komunike bersama antar partai
Era multi partai setelah jatuhnya Soeharto diwarnai oleh aneka manuver, Sejak tahun 1955, sekitar lebih dari 40 tahun sebelumnya, momentum kebebasan seperti saat itu belum pernah dirasakan para elit, Berbagai trial and error dilakukan dan dicoba untuk mencari format yang pas, Satu diantaranya, yang memang merupakan fenomena baru adalah membuat komunike bersama antar partai politik.[9]
Tiga partai dengan jumlah massa yang besar, PDI-Perjuangan, PAN, dan PKB membuat komunike bersama, Respon publik atas komunike ini sangat antusias, Bahkan banyak yang berharap ketiga partai ini berkoalisi dalam satu front, untuk mengalahkan Golkar, partai politik wakil dari dunia lama.
Ujar sebuah pepatah, “What important is not the singers but the song, “yang penting bukanlah penyanyinya, tetapi lagu apa yang akan dinyanyikan, Untuk kasus ini, yang penting bukan koalisi partainya, tetapi platform atau isu apa yang ingin diperjuangkan partai ini bersama-sama.
Sayangnya ketiga partai ini baru mengikatkan diri pada label politik, belum pada isu, Mereka melabelkan atau dilabelkan publik sebagai kelompok reformis, Sedangkan lawan mereka, partai Golkar dan Habibie, dilabel sebagai kekuatan status quo, Politik label ini mungkin populer untuk kosumsi massa, Namun untuk membangun program yang serius, label politik dapat menipu, Di era baru, yang harus dikedepankan bukan lagi label tetapi isu.
Label dan isu dapat berbeda sekali, Jika isu yang dinilai, sangat mungkin partai yang dilabelkan status quo ternyata punya banyak isu yang reformis, Sebaliknya, partai yang dilabelkan reformis memiliki banyak isu yang status quo.
Ambilah contoh Golkar dan Habibie yang dilabel sebagai sebagai status quo, Untuk isu kebebasan politik, pemerintahan Habibie sangat reformis, kebebasan pers, kebebasan partai politik, pembebasan tahanan politik, penghapusan istilah bersih lingkungan, adalah isu yang sangat penting yang menjadi sokoguru demokrasi. Untuk beberapa isu, pemerintahan Habibie yang dilabel status quo bahkan lebih maju dari partai yang diberi label reformis itu, Untuk isu Timor Timur, misalnya, dua pilihan yang ditawarkan Habibie, Merdeka atau otonomi luas, sangatlah liberal, Dalam hal Timor Timur, pemerintahan habibie bahkan lebih maju dari PDI-Perjuangan.
Juga untuk isu ekonomi, Pemisahan Bank Indonesia dari struktur eksekutif adalah kebijakan ekonomi yang sangat mencerahkan, Isu ini jelas sangat reformis dan mendahului partai lainnya yang berlabel reformis. Sebaliknya, partai yang selama ini dilabel reformis, banyak mengeluarkan isu yang sangat berbau status quo, Ketidaktegasan PDI- Perjuangan dan PKB atas posisi militer di DPR tidak mencerahkan, PKB pun belum terdengar mempunyai team ekonomi yang tangguh dengan isu ekonomi yang liberal.
Kondisi partai politik baru, Dalam evolusi awal kematangan sebuah partai, isu dan platform belum memainkan peranan penting, Yang lebih utama adalah masalah kepemimpinan partai, PDI-Perjuangan menjadi besar, misalnya, terutama bukan karena program politik partai itu, tetapi akibat kehadiran Megawati Soekarnoputri, Jika Megawati pindah ke PNI, mungkin PNI akan lebih besar daripada PDI-Perjuangan.
Hal yang sama terjadi dengan Gus Dur dan Amien Rais, Jika yang didukung Gus Dur adalah partai Sunni atau PNU, PKB tidak sebesar sekarang, Atau jika Amien Rais tidak memimpin PAN, mungkin PAN tidak banyak dikutip koran. Karena dalam tahap awal ini, pemimpin lebih menentukan dari platform dan isu, koalisi ketiga partai itu harus dimulai dari koalisi pemimpinnya, ketimbang koalisi isu, Seandainya tiga pemimpin partai itu sepakat untuk berkongkalikong, isu dan platform bersama dapat dimodifikasi dengan mudah, Toh belum banyak pemilih yang benar- benar awas dengan paltform dan isu.
Target utama koalisi ini adalah massa, bukan elit, Massa tidak secerewet elit dalam hal isu dan platform partai. Bagi massa, yang paling menyentuh mereka, adalah sentimen emosional dan isu besar, Dengan membungkus sentimen agama atau kharisma Bung Karno, ditambah dengan isu sembako yang umum, itu sudah cukup, Sedangkan umumnya elit, butuh eksplanasi yang lebih detail dan teknis.
Dengan kata lain, sasaran koalisi tiga partai ini, jika jadi, lebih ke soal jumlah suara yang akan di raih, konsentrasi mereka lebih ke kuantitas pemilih, bukan pada kualitas isu, Prioritas utama mereka lebih untuk mengalahkan Golkar, bukan membuat blue print sebuah perubahan.
Jika yang dituju adalah membuat blue print sebuah perubahan, aliansi antar partai harus dimulai dulu dengan membuat sebuah paket isu strategis, lalu baru mencari partai mana yang bersedia menjadi operator isu tersebut.
5. Pengelompokan partai politik
Dalam pemilu 1999 diramalkan tidak ada partai yang menang secara dominan(diatas 50%), Ini berarti, berbagai partai politik yang ada sudah harus mempersiapkan aliansi, setidaknya untuk membentuk pemerintahan baru, Presiden yang akan terpilih dalam sidang istimewa MPR, sebagai misal sudah pasti harus dapat dukungan lebih dari satu partai.
Persoalannya sekarang, apa yang akan menjadi dasar dari koalisi atau pengelompokan partai politik itu? Dua pengamat politik dari “padepokan “Ohio State Univesity, Bahtiar Effendi pada Republika edisi 18 Mei 1999 dan William Liddle diharian yang sama edisi 20 Mei 1999, memberikan analisa dan prediksi yang menarik.
Menurut Bahtiar, politik aliran masih menjadi ikatan yang kuat bagi pengelompokan partai politik, Konsep politik aliran ini berasal dari Geertz, yang mengidentifikasi tiga aliran di tahun 1950-an dalam mainstream politik Indonesia, Yaitu santri versus abangan dan priyayi, Bachtiar meyakini politik aliran masih hidup di era Indonesia paska Soeharto.
Berdasarkan politik aliran itu, menurut Bahtiar, akan terjadi dua pengelompokan politik besar, Pertama, kelompok Islam santri, yang banyak mendominasi berbagai partai Islam, akan berdiri di belakang Habibie, sedangkan kelompok abangan/priyayi akan mengelompok di belakang Megawati Seokarnoputri, Berdasarkan politik aliran ini, pemimpin yang riel akan bertarung hanyalah Habibie versus Megawati, Pemimpin lain akan mendukung dari belakang sesuai dengan politik aliran masing-masing.
Namun William Liddle memberikan perspektif lain, Di era reformasi ini, Liddle melihat munculnya benturan di luar politik aliran, yaitu antara PDI-Perjuangan, PKB dan PAN di kubu reformasi melawan Golkar, yang dibantu oleh PPP dikubu konservatif/status quo. Berdasarkan politik aliran, jelaslah PAN, PKB dan PDI-Perjuangan berbeda satu sama lain, PAN dari islam modernis, PKB dari islam tradisionalis dan PDI-Perjuangan dari abangan dan kaum nasionalis, Kenyataannya mereka dapat bersatu dalam sebuah kelompok reformasi.[10]
Bahkan, menurut Liddle, PAN, PKB dan PDI-Perjuangan, tidak dapat lagi dipandang murni mewakili politik aliran, Tiga partai ini lebih merupakan partai yang plural yang mencoba menjadi the big ten yang bersifat inklusif, Golkar pun juga merupakan partai yang plural, Partai ini tidak dapat diklaim mewakili satu politik aliran tertentu. Empat partai besar ini terbagi dalam dua kubu yang kini tampak saling berhadapan, Dasar pengelompokan itu bukan politik aliran, tetapi semata pertentangan politik antara satu kelompok yang dianggap mewakili semangat reformasi, yang lainnya semangat konservatif, Politik aliran tidak dapat membaca peta baru pengelompokan partai politik di Indonesia.
C. Pasca Pemilu 1999
1. Kemenangan partai terbuka
Dari hasil perhitungan pemilu, ada pola yang menarik, Pemilu kali ini dimenangkan oleh berbagai partai terbuka, Empat dari lima partai teratas adalah partai yang menjadikan Pancasila sebagai azasnya(PDI-Perjuangan, PKB, PAN dan Golkar), Diantara lima partai teratas, hanya PPP yang menjadikan islam sebagai azasnya, Sementara partai lain yang berazaskan islam berada dalam peringkat yang lebih rendah.
Ini menjadi fenomena yang menarik, Mengapa yang menduduki peringkat teratas adalah partai terbuka, bukan partai yang berazaskan islam? Bukankah mayoritas pemilih(sekitar 90%) adalah beragama islam? Mengapa mayoritas muslim ini tidak memilih partai yang berazaskan islam? Padahal ada belasan partai yang berazaskan islam? Mengapa partai yang berazaskan islam itu malah menduduki peringkat yang lebih rendah.
Padahal seminggu sebelum hari pencoblosan, gerakan anti partai yang banyak calon legislatif non muslimnya sudah gencar dilakukan, Tidak kurang dari ulama kondang menjadi juru bicara dan bintang iklan untuk seruan itu, Berbagai partai yang berazaskan islam sudah pula merapatkan barisan, untuk menggabungkan sisa suara, dan melabel kelompok lain sebagai nasionalis sekuler.[11]
Masyarakat luas sudah memilih, Suka atau tidak, hasil pemilu itu adalah gambaran keinginan politik masyarakat Indonesia, Ada empat penyebab, mengapa yang menang pemilu kali ini adalah berbagai partai terbuka, Sementara partai yang berazaskan islam tidak dipilih oleh mayoritas penganut islam itu sendiri.
Pertama, masih berlanjutnya apa yang disebut Geertz dengan dikotomi islam santri dan islam abangan, Dalam pemilu 1955, jumlah islam abangan itu sebesar lebih dari 40%, Jumlah ini diambil dari pemilih islam yang tidak menyalurkan suaranya ke partai islam, Islam abangan adalah islam statistik, Mereka memang beragama formal islam, Namun mereka tidak mempunyai aspirasi politik islam.
Secara kulutural, islam abangan ini bukanlah mereka yang taat dalam ritual agama, Bahkan tidak jarang, pemahaman agama mereka bersinkretisasi (bercampur) dengan agama dan kepercayaan lain, Aspirasi politik islam, termasuk motif membangun komunitas politik islam, tidak kuat dalam kelompok abangan, Kelompok islam abangan ini lebih tergetar oleh partai yang berazaskan nasionalisme dan kerakyatan. Dalam pemilu kali ini, mereka yang termasuk dalam islam abangan lebih tertarik memberikan suaranya ke partai terbuka seperti PDI-Perjuangan, PKB, Golkar dan PAN dan partai lainnya ketimbang partai yang berazaskan islam.
Kedua, islam santri juga mengalami perubahan, Berbeda dengan islam abangan, islam santri dilabelkan kepada penganut islam yang taat secara ritual dan digerakkan oleh sentimen keislaman, Namun sejak orde baru, telah terjadi mobilisasi kesejateraan ekonomi serta pendidikan, Sebagian dari mereka terekspos ke dunia global, simbol modernisasi dan ideologi dunia seperti demokrasi, Mereka sendiri mungkin menjadi motor reformasi dan pluralisme. Akibatnya, sebagian dari islam santri ini tidak pula tergerak memberikan suara mereka ke partai yang berazaskan islam, Apalagi jika mereka merupakan bagian dari kelas menengah kota, Mereka akan cenderung memberikan suaranya kepada partai terbuka, seperti PAN, Golkar atau PKB.
Ketiga, pengaruh para tokoh islam, Tiga tokoh islam yang paling berpengaruh saaat ini adalah Gus Dur, Amien Rais dan Nurcholish Madjid, Gus Dur adalah pemimpin organisasi islam terbesar NU, Amien Rais pernah memimpin organisasi islam besar lainnya, Muhammadiyah, Sedang Nurcholish Madjid kini menjadi suhu dalam komunitas islam yang pandangannya banyak didengar.
Massa islam yang dipengaruhi ketiga tokoh ini tidak memberikan suaranya ke partai yang berazaskan islam, Jika Takzim ke Gus Dur, suara akan mereka berikan kepada PKB, partai terbuka, Jika kagum pada Amien Rais, partai terbuka lainnya, PAN, akan mereka pilih, Jika mereka terpesona oleh Nurcholish, bukan partai islam pula yang mereka dukung, Nurcholish sejak dulu mempunyai “fatwa “bahwa “Islam yes, partai Islam no. “
Keempat, variabel terakhir adalah derasnya angin reformasi, Umumnya kelas menengah kota dan kelas bawah mendukung partai terbuka, dengan alasan yang berbeda, Kelas menengah kota sejak lama diromantisasi oleh isu demokrasi, hak asasi dan reformasi, Mereka menyadari bahwa isu itu melampaui batas dan sekat agama, Partai terbuka, bagi mereka, lebih sesuai dengan reformasi yang berlandaskan pluralisme, ketimbang partai islam.
Sedangkan bagi kelas bawah, keterhimpitan eknomi dan ketidakpuasan atas kesejahteraan, membuat mereka menjadi golongan pemarah yang anti sistem, Kemarahan mereka lebih dapat ditampung oleh berbagai tokoh yang sudah terlanjur dilabeli reformis, seperti Megawati, Gus Dur dan Amien Rais, Secara kebetulan, 3 tokoh ini menjadi pemimpin partai terbuka, Akibatnya, partai terbukalah, bukan partai islam, yang mendapat suara mereka.[12]
Empat variabel di atas mampu menjelaskan mengapa partai yang berazaskan islam justru tidak populer di mata pemilih yang 90% beragama islam, Justru partai terbuka yang menikmati panen besar dalam pemilu kali ini, padahal partai itu(terutama PDI-Perjuangan) mendapat serangan para ulama secara tajam. Sebaiknya memang partai yang terbuka yang mendominasi pemerintahan baru kelak, Alasannya sederhana saja, Partai terbuka itu adalah Indonesia dalam bentuknya yang mini, Sebagaimana Indonesia, dalam partai terbuka, seseorang tidak akan dibedakan hanya karena perbedaan warna kulitnya, jenis kelaminnya, rasnya atau agama yang dipeluknya.
2. Bertahannya Golkar
Satu fenomena yang penting dalam pemilu 1999 adalah bertahannya partai Golkar sebagai partai besar, Meski tidak lagi menempati posisi pertama, namun Golkar berhasil merebut posisi kedua, di tengah iklim politik yang masih kuat dengan anti Soeharto dan anti Orde Barunya.
Setidaknya ada empat faktor yang membuat Golkar seharusnya terpuruk untuk menjadi partai gurem saja, Pertama, opini publik dan kemarahan massa atas Golkar sudah sedemikian hebatnya, Golkar dianggap bertanggung jawab atas krisis di era Orde Baru, Partai ini bukan saja dilabel status quo, label yang membangkitkan sentimen kebencian publik, Lebih dari itu, banyak pula segmen masyarakat yang bahkan meminta Golkar di bubarkan, atau tidak diikutkan
dalam pemilu.
Kedua, pendukung utama Golkar, yaitu militer, sudah pula menarik dukungannya atas Golkar dan berupaya untuk netral, Selama ini aparat militer banyak bekerja membesarkan Golkar, Melalui berbagai jaringan yang tidak sepenuhnya transparan, militer menjadi segmen utama keberhasilan Golkar dalam pemilu di era Orde Baru, Namun kini pendukung utama Golkar itu turut terpuruk dan turut direformasi, Tanpa dukungan militer lagi, seharusnya Golkar Gembos.
Ketiga, birokrasi melalui pegawai negeri sipil(KORPRI) sudah menjauh pula dari Golkar, Selama pemilu Orde Baru, birokrasi mempunyai jaringan jauh sampai ke daerah terpencil untuk memenangkan Golkar, Jaringan birokrasi ini beserta keluarga dan segmen yang mampu mereka pengaruhi adalah jumlah suara yang besar, Kini birokrasi sudah dilarang untuk berpihak kepada partai politik, termasuk ke Golkar, Seharusnya Golkar semakin terpuruk lagi.[13]
Keempat, dalam tubuh Golkar terjadi pula perpecahan internal, Setelah ditinggal oleh jalur A(ABRI) dan jalur B(BIROKRASI), jalur G(Golkar yang Non ABRI dan Non Birokrasi), tidak pula solid, Banyak aktivis penting Golkar yang keluar menonaktifkan diri, Lebih jauh lagi, banyak pula tokoh penting Golkar yang mendirikan partai tandingan, seperti Partai Keadilan dan Persatuan(PKP) serta partai MKGR, Golkar seharusnya makin terkucil.
Namun dalam pemilu demokratis ini, partai Golkar ternyata tetap perkasa, Hanya PDI-Perjuangan yang lebih perkasa dari Golkar, Sementara PKB-nya Gus Dur hanya kuat di Jawa, Apa yang menjadi penyebab daya tahan Golkar?
Ada empat segmen masyarakat yang memilih Golkar dengan alasan yang berbeda-beda, Empat segmen ini sangat menolong perolehan suara Golkar dalam pemilu 1999, Segmen pertama adalah lapisan masyarakat yang kedap isu reformasi, Setiap partai politik, apalagi yang sudah berkuasa lebih dari 30 tahun seperti Golkar, memiliki pemilih yang loyal, Kaitan pemilih jenis ini dengan partainya sudah bersifat emosional, Berbagai isu yang rasional dan temporer tidak mampu menggoyahkannya.
Jumlah pemilih yang loyal ini di Golkar agaknya cukup signifikan, Pemilu terakhir di era Order Baru, tahun 1997, Golkar dapatkan lebih dari 70% suara, Jika seperempat saja dari mereka itu loyal, berarti sekitar 15% – 20% pemilih yang sejak awal sudah terikat ke Golkar, Isu reformasi dan berbagai hujatan publik tidak mempengaruhi mereka.
Segmen kedua adalah mereka yang digerakkan oleh sentimen the politics of survival, Begitu banyak pengusaha dan birokrat yang selama ini diuntungkan oleh kemenangan Golkar, Di Era reformasi, mereka memang punya pilihan bebas untuk memilih, Namun segmen masyarakat ini, berikut keluarganya, tetap memilih Golkar dengan alasan lain.
Jika yang menang bukan Golkar, mereka merasa kepentingan mereka dapat terjungkir secara drastis, Pejabat pegawai negeri misalnya, dapat berfikir, jika penguasa baru yang datang, ia akan disingkirkan dan diganti oleh orang partai pemenang, Kekhawatiran ini membuat mereka tetap memilih Golkar karena kepentingan mereka terkait disana.
Segmen ketiga adalah sebagian dari islam modernis, Golkar di tahun 90-an adalah Golkar yang mulai banyak tokoh islamnya, Terutama setelah lahirnya ICMI, kuningnya Golkar menjadi sedikit kehijau-hijauan, Apalagi, kini Golkar dikomando oleh Akbar Tanjung, anggota KAHMI(Alumni HMI) yang berpengaruh, Sebagian segmen islam modernis memilih Golkar karena alasan ini, Golkar dianggap dapat mewakili kepentingan islam.
Segmen keempat adalah sebagian kelas menengah kota, termasuk kalangan profesional, Ini adalah pemilih Golkar yang paling rasional, walau jumlah mereka tidak banyak, Secara rasional, mereka teryakinkan bahwa di Golkar lebih banyak elit yang kompeten dan berpengalaman dalam pemerintahan, Mereka pun meyakini, bahwa Golkar baru memang berbeda, Dibanding partai lain yang baru, bagi mereka Golkar lebih kurang beresiko dan lebih mampu untuk mengurus negara kelak. Empat segmen inilah yang telah menyelamatkan Golkar, Namun Golkar tentu saja tidak dapat selamanya bergantung pada segmen ini, Apalagi jika Golkar ingin kembali memenangkan pemilu lima tahun mendatang.[14]
3. Mengapa PDI Perjuangan, bukan PAN?
Hasil pemilu 1999 meninggalkan satu pertanyaan, Mengapa yang meraih kemenangan bukan Amien Rais dan partainya, PAN, tetapi Megawati dengan partainya PDI-Perjuangan? Mengapa kemarahan publik atas orde baru tidak tumpah menjadi dukungan kepada PAN, tetapi menjadi pilihan ke PDI-Perjuangan?[15]
Lima partai besar mendominasi pemilu kali ini, Secara nasional, PDI-Perjuangan menduduki peringkat teratas, Sebaliknya, PAN menempati peringkat terbawah dari lima besar, jumlah kursi yang berhasil diraih PAN hanyalah sekitar seperempat dari jumlah yang berhasil dikumpulkan PDI-Perjuangan.
Ada banyak hal yang menyebabkan hasil ini menjadi pertanyaan, Bukankah lokomotif yang memimpin gerakan reformasi adalah Amien Rais bukan Megawati? Menjelang beberapa bulan sebelum kejatuhan Soeharto, Amien sudah aktif membentuk opini publik dan menggalang jaringan, Bersama gerakan mahasiswa, Amien melakukan the political entrepreneurship, yaitu mengambil resiko untuk memulai sebuah perubahan, Jika gagal, tidak mustahil Amien akan masuk penjara, sebagaimana gerakan oposisi lainnya di era Orde Baru, Saat itu, Megawati justru berdiam diri dan tidak mengambil inisiatif terlibat dalam gerakan.
Mengapa hasil pemilu seperti itu? Ada tiga variabel yang menyebabkan PDI-Perjuangan menang, Sebagian dari kemenangan itu disebabkan oleh kehebatan strategi, sebagian lagi karena keberuntungan. Variabel pertama adalah masalah segmentasi pemilih, PDI- Perjuangan dan PAN memiliki segmen pemilihnya sendiri yang terpisah, Masyarakat pemilih di Indonesia terbagi dalam tiga segmen besar yang hampir sama jumlahnya, Ada segmen islam abangan, Ini segmen penganut islam nominal atau islam statistik yang tidak digerakkan oleh sentimen ke islaman, Segmen ini di tahun 1955 banyak memberikan suara ke PNI, Ada pula segmen islam tradisionalis, Yaitu penganut islam yang banyak tinggal di wilayah pedesaan, Ini basis NU, Ketiga, segmen islam modernis, islam perkotaan, yang kebanyakan menjadi anggota muhammadiyah.
Di segmen abangan, segmennya PDI-Perjuangan, PDI-Perjuangan praktis merajalela, Partai ini tidak punya saingan berarti, Berbagai partai nasionalis lainnya adalah partai gurem yang baru, Sementara partai yang mengunakan atribut PNI lama tidak memiliki tokoh massa.
Namun di Segmen islam modernis, segmnenya PAN, begitu banyak partai saingan merajelela dan berebut suara, Disamping PAN, disitu ada pula PPP, Golkar, PBB dan Partai Keadilan, Katakanlah, PDI-Perjuangan meraih 90% dari segmen abangan, sementara PAN mungkin hanya meraih 25% saja dari segmen islam modernis, Kompetitor PDI-Perjuangan di segmen islam abangan jauh lebih lemah ketimbang kompetitor PAN di segmen islam modernis.
Variabel kedua adalah masalah sosialisasi partai, Baik PDI- Perjuangan dan PAN memiliki nomor urut dan logo partai yang baru, Namun sosialisasi PDI-Perjuangan jauh lebih cepat dan mengakar, terutama ke kalangan akar rumput masyarakat bawah.
Hal yang sangat menguntungkan PDI-Perjuangan adalah berdirinya ribuan posko hampir diseluruh pelosok nusantara, Posko ini hadir mulai dari daerah elit Jakarta sampai kedaerah kumuh pedesaan, Dalam posko ini berbagai atribut partai seperti kaos, bendera, nomor urut partai, logo dan gambar megawati terpampang, dibuat dan dijual.
Kegiatan di posko ini sangat efektif untuk mensosialisasikan partai berikut menumbuhkan ikatan emosional dan dukungan bagi partai, Posko ini adalah strategi kampanye yang sangat cemerlang, Yang turut menentukan kemenangan PDI-Perjuangan atas PAN dan atas partai lainya, Sementara PAN hanya menggunakan medium konvensional untuk sosialisasi partai seperti yang juga dilakukan partai lain.
Variabel ketiga adalah masalah simpati kepada pihak tertindas, Ada yang misterius dalam sentimen publik, Semakin sebuah kelompok didzalimi dan diperlakukan tidak adil, semakin tinggi simpati dan dukungan masyarakat atas kelompok itu, Megawati dan PDI-Perjuangan beruntung karena misteri sentimen publik ini, Dibadingkan PAN, Megawati dan PDI-Perjuangan jauh lebih didzalimi, akibatnya ia jauh lebih didukung.[16]
Sejak era Order Baru, Megawati sudah didzalimi, Berbagai rekayasa politik dilakukan untuk mendongkelnya dari kursi ketua umum, Menjelang pemilu era reformasi, perlakuan atas Megawati dan PDI- Perjuangan juga dirasakan tidak adil, Berbagai isu agama dan gender digunakan untuk mendiskreditkannya, Sikap diam Megawati dan sikap pasifnya untuk tidak membalas dendam justru menambah kecintaan publik atasnya, Berbagai selebaran gelap menghujat partainya, malah berbalik menokohkanya. Tiga variabel di atas dapat menjelaskannya, mengapa Megawati dan PDI-Perjuangan yang memetik panen pemilu 1999, bukan Amien Rais sang lokomotif dan PAN sebagai partai reformis.[17]

[1] Kacung Marijan, “Sistem Politik Indoensia : Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru”, Penerbit Kencana, Cet Ke-3 2012, hal 334-335
[2] Daniel Dhakidae, “Partai-partai Politik, Demokrasi, dan Oligarki”, dalam Tim Litbang Kompas, “Partai-Partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program”, Kompas, 2004, hal 5
[3] Budi Winarno, “ Sistem Politik Indonesia Era Reformasi”, Penerbit MedPress, cet ke-2 2008,
hal55-61
[4] Opcit. Kacung Marijan, 2012, hal 57-59
[5] Sigit Pamungkas, “ Partai Politik : Teori dan Praktik di Indonesia”, Institute for Democracy and
Welfarism, Yogyakarta, 2011, hal 182
[6] Op.Cit .Kacung Marijan (2012), hal 69
[7] Denny J.A Jatuhnya, Soeharto dan Transisi Demokrasi Indonesia, LKIS Yogyakarta 2006 hal 46-49
[8] Opcit. Denny J.A 2006 hal 50-55
[9] Opcit. Denny J.A 2006 hal 60-63
[10] Opcit. Denny J.A 2006 hal 60-63
[11] Opcit. Denny J.A 2006 hal 90-93
[12] Opcit. Denny J.A 2006 hal 90-93
[13] Opcit. Denny J.A 2006 hal 94-97
[14] Opcit. Denny J.A 2006 hal 93
[15] Opcit. Denny J.A 2006 hal 98-101
[16] Opcit. Denny J.A 2006 hal 98-101
[17] Opcit. Denny J.A 2006 hal 50-55

Bagikan:

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang, Calon Guru Penggerak angkatan 11 Kota Semarang dan kontributor Modul Pembelajaran MGMP Sejarah Kota Semarang.

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah