Sejarah Perang Bubat (1357 M)

Rahmad Ardiansyah

Terbentuknya Majapahit

Cerita ini diawali pada serangan Kubhilai Khan yang mendapat laporan dari Mengkhi dan memutuskan mengirim pasukan perangnya untuk menyerang Singasari. Kedatangannya ke Jawa telah mengalami banyak perubahan, Sri Kertanegara sebagai raja dari Kerajaan Singasari telah terbunuh oleh Jayakatwang dan Kerajaan Singasari hancur bergeser ke Kerajaan Kediri. 

Baca : Arya Wiraraja, Ahli Taktik Kerajaan Singasari, Kediri dan Majapahit

Raden Wijaya memanfaatkan hal ini. Pada sekitar tahun 1293, bala tentara Tartar pimpinan Shih Pie, Iheh Mi Shih serta Kau Shing disambut dengan ramah oleh Raden Wijaya serta dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Kerjaan Kediri. Dendam Raden Wijaya terhadap Jayakatwang yang telah membunuh mertuanya terbayar. Jayakatwang kemudian ditawan oleh pasukan Tartar. Kemenangan melawan Kerajaan Kediri kemudian dirayakan oleh pasukan pasukan Tartar dan tanpa mereka sadari bahaya besar sedang mendekat. Raden Wijaya menyediakan minum – minuman yang memabukkan dan diberikan kepada pasukan Tartar untuk merayakan kemenangan. Ketika pasukan Tartar bermabuk – mabukan, keadaan ini kemudian dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang pasukan Tartar dengan mendadak sehingga mereka kocar – kacir. Prajurit Tartar tersebut melarikan diri. sebagian kembali ke negeri asalnya sedangkan yang lain terbunuh. Jenderal Iheh Mi Shih dan Sheh Pi dijatuhi hukuman mati atas kegagalannya dalam melaksanakan tugas menundukkan wilayah Nusantara.

Raden Wijaya yang sebelumnya memiliki tanah tarik di Trowulan kemudian membangunnya bersama rakyat dan para pendukungnya. Suatu ketika ada laporan bahwa di antara anak buahnya yang telah memakan buah maja yang memiliki rasa pahit, hal ini menjadi cikal bakal berdirinya nama Majapahit, atau juga dikenal sebagai Wilwatika. Raden Wijaya menjadi raja Majapahit pertama dengan gelar Kertarajasa Jayawardana yang didampingi oleh empat orang istri yang semuanya adalah anak dari Sri Kertanegara. Pranyatan kamardikan (proklamasi) ini menurut Kidung Harsa Wijaya dikumandangkan Raden Wijaya pada Ri Purneng Kartikamasa Pancadasi atau tanggal 15 bulan karttika tahun 1215 saka yang kemudian bertepatan dengan 12 November 1293.

Lembu Anabrang adalah seorang panglima dari Singasari yang mendapat perintah dari Raja Sri Kertanegara untuk menaklukkan Melayu dan kembali dengan terkejut mendapati Singasari runtuh, Raja Sri Kertanegara dan Permaisurinya terbunuh serta istana dalam keadaan terbakar. Lembu Anabrang beserta prajuritnya kemudian menyesuaikan diri dan bergabung dengan Majapahit. Lembu Anabrang menyerahkan dua gadis yang didapatkan dari Darmasraya, mereka adalah Dara Jingga dan Dara Petak. Raden Wijaya mengawini yang muda dan lahirlah Kalagemet (Jayanegara) dari perkawinan tersebut.

Kerajaan Majapahit dalam perjalanannya tidak semulus yang dikira, banyak terjadi pemberontakan. Orang – orang yang dahulu membantu dalam membesarkan Majapahit satu persatu melakukan makar dengan alasan tidak puas. Ranggalawe marah ketika diangkatnya Nambi sebagai Mahapatih dan bukan dirinya. Pada tahun 1295 Ranggalawe yang berkedudukan di Tuban sebagai Adipati melakukan pemberontakan. Lembu Anabrang turun tangan menghadapi pemberontakan yang dipimpin oleh Ranggalawe, kemudian Ranggalawe berhasil dibunuh di sungai Tambak Beras. Namun, Lembu Sora sebagai sahabat Ranggalawe dan juga bersahabat dengan Lembu Anabrang merasa tidak terima dengan kematian Ranggalawe yang mengenaskan. Dengan kecurangan, Lembu Sora membunuh Lembu Anabrang dari belakang, atas perbuatannya ini Lembu Sora terancam hukuman mati yang berdasarkan pada kitab undang – undang Kutaramanawa (identik dengan KUHP zaman sekarang).
Pada tahun 1309, Raden Wijaya mangkat dan selanjutnya digantikan oleh Kalagemet yang bergelar Sri Sundara Pandya Dhiswara nama Rajabiseka Wikramotunggadewi.

Pemberontakan Ranggalawe yang telah dipadamkan ternyata dilanjutkan oleh sahabatnya yaitu pemberontakan Nambi. Pemberontakan Nambi terjadi karena adanya fitnah yang dilakukan oleh Mahapati (dalam beberapa cerita digambarkan sebagai sengkuni). Ketika itu, Nambi sedang membangun benteng pertahanan di daerah Pajarakan, namun Pajarakan digilas habis dan Nambi terbunuh tahun 1316. Pada tahun 1318 Rakryan Semi di Lasem melakukan pemberontakan namun bisa ditumpas, selanjutnya pemberontakan Dharmaputra Winehsuka yang dipimpin oleh Rakriyan Kuti pada tahun 1319. Para Rakrian memberontak diantaranya Rakrian Kuti, Rakrian Tanca, Rakrian Yuyu, Rakrian Banyak, Rakriyan Wedeng serta Rakrian Pangsa yang paling membahayakan Majapahit. Pada pemberontakan inilah kemudian muncul tokoh Gajah Mada yang sebelumnya tidak ada yang memperhatikannya.

Gajah Mada Sang Mahapatih Majapahit

Gajahmada merupakan prajurit rendahan dan seorang bekel yang memimpin pasukan kecil yang bernama Bhayangkara. Gajah Mada dan pasukan Bhayangkara berhasil menyelamatkan Jayanegara  kemudian melarikannya ke Bedander dan berikutnya melakukan serangan balik menggilas pemberontakan Rakrian Kuti. Satu persatu pemberontakan yang ada di Majapahit kala itu dapat dipadamkan oleh pasukan Majapahit hingga yang terakhir Rakrian Tanca yang merupakan tabib kerajaan. Atas jasanya, Gajah Mada kemudian dinobatkan menjadi Patih di Kahuripan mendampingi Sri Gitarja yang selanjutnya menjadi Patih di Daha yang mendampingi Dyah Wiyat.

Namun pada tahun 1328 atau sekitar 9 tahun setelah adanya pemberontakan Ra Kuti, Ra Tanca tabib kerajaan Majapahit ternyata masih menyimpan dendam lama membunuh Sri Jayanegara. Ra Tanca mendapat kesempatan untuk membalas dendam ketika diminta untuk mengobati sang raja. Kesempatan tersebut digunakan untuk membunuh Jayanegara. Ada yang menyebutkan bahwa ia menggunakan racun, namun versi lain mengatakan Ra Tanca menggunakn keris. Mengetahui hal tersebut, seketika Gajah Mada membunuh Ra Tanca. Keris Gajah Mada menghujam tubuh Ra Tanca. Setahun setelah Jayanegara meninggal, pemerintahan sementara dipegang oleh istri ke empat dari mendiang Raden Wijaya yaitu Gayatri. Setelah dipandang cukup waktu untuk melakukan persiapan atas kedua anaknya, Sri Gitarja dan Dyah Wiyat kemudian diangkat sebagai Prabu Putri besama dengan abiseka Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardani dan Rajadewi Maharajasa, yang didampingi Mahapatih Arya Tadah yang juga disebut dengan nama Empu Krewes.

Mahapatih Arya Tadah yang merasa sudah tua dan sakit – sakitan menawarkan jabatannya kepada Gajah Mada yang merupakan prajurit paling menonjol dan berprestasi. Namun Gajah Mada merasa belum banyak jasa terhadap Majapahit. Gajah Mada kemudian meminta waktu kepada Arya Tadah guna mengatasi pemberontakan di Sedeng dan Ketha lebih dahulu. Apabila dua pemberontakan tersebut mampu dipadamkan, barulah Gajah Mada bersedia menerima jabatan tersebut.

Namun di dalam Istana Majapahit ada juga yang menonjol seperti Gajah Mada dan berusaha keras menyaingi Gajah Mada, yaitu Rakrian Kembar, Rakrian Warak dan Lembu Peteng. Rakrian Kembar yang memimpin sekelompok prajurit menyerang negara bawahan yang memberontak dengan berharap jasanya akan dilihat oleh Prabu Putri. Namun Ra Kembar masih kalah dulu dari Aditywarman (putera mahkota Dharmasraya merupakan saudara sepupu dengan Kalagemet atau Jayanegara karena ia merupakan anak Dara Jingga saudara kandung dari Dara Petak yang dikawini Raden Wijaya. Adityawarman juga dikenal sebagai Aji Mantrolot) yang menyerang dari lain arah dengan cara aneh serta mengejutkan bagi para pemberontak.

Atas serangan yang tak terkoordinasi serta ada pihak yang ingin menggunting kewenangannya membuat Gajah Mada sangat marah, apalagi ketika Ra Kembar mengklaim bahwa serangat tersebut atas jasanya. Melihat hal tersebut Prabu Putri Sri Gitarja Tribuanatunggadewi Jayawisnuwardani menyatakan sebagai jasanya.

Ketika sidang di Tratag Rambat Bale Manguntur (istana Majapahit) diputuskan Majapahit mengangkat Gajah Mada menjadi Mahapatih menggantikan Arya Tadah dan kemudian bergelar Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Mpu Mada. Istana Majapahit diperkirakan adalah sebuah istana dengan bangunan utama berupa pendapa raksasa, yang jauh lebih besar dari pada Kasunanan di Solo maupun Kasultanan di Yogyakarta. Apbila dilihat dari sisa – sisa peninggalan Majapahit di Trowulan, Mojokerto diperkirakan dinding Istana terbuat dari bata merah.

Semangat Gajah Mada sebagai Mahapatih disalurkan melalui Sumpah Palapa yang menggemparkan balairung, membungkan semua mulut hingga ada juga yang menertawakannya. Sumpah ini berbunyi :

“Lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti Palapa, lamun kalah ring gurun, ring Seran, Tanjung Pura. Ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasek, Samana Isun Amukti Palapa.”

Seisi istana berpendapat bahwa hal tersebut sangat berat dan menganggap tidak masuk akal. Ra Kembar, Warak, serta Lembu Peteng tertawa terkekeh-kekeh menertawai Sumpah Palapa Gajah Mada. Latihan keras disiapkan untuk para prajurit Majapahit, kapal – kapal telah disiapkan dan juga tak lupa pangkalan kapal perang dibangun, pemekaran wilayah Majapahit sudah siap untuk dilaksanakan.
Gajah Mada sadar bahwa di luar sana terdapat kerajaan besar yaitu Negara Tartar atau Mongol yang beringas dan serakah sedang menginvasi daerah – daerah. Ia meyakini akan mematahkan kembai serangan Negara Tartar seperti yang dilakukan Raden Wijaya. Kemudiania berfikir dan menghasilkan kesimpulan, bahwa untuk melawan Negara Tartar mengulang kejadian yang sama terulang kembali, maka kekuatan Nusantara harus disatukan.

Gajah Mada kemudain mengundang kerajaan tetangga untuk bersatu dengan Majapahit. Kerajaan yang mau bergabung diterima dengan baik, dan yang tidak mau dipersilahkan untuk kembali, apabila masih saja tidak mau maka akan diserang. Bali dan Bumi Banten pun ditaklukkan. Tumasek yang berada di Selat Malaka diserbu Gajah Mada karena Tumasek dianggap penting sebab di Selat Malaka lah tentara Mongol lalu lalang dengan leluasa.

Tragedi Perang Bubat

Pada tahun 1357, terjadi Tragedi Bubat yang bersamaan dengan diserangnya Dompu oleh bala tentara yang dipimpin Laksamana Nala. Dalam peristiwa Bubat, Gajah Mada yang hebatpun juga bisa tersandung masalah akibat tindakannya yang gegabah. Sanga turangga paksawani merupakan sengkala dari tahun 1357 Masehi menjadi titik balik kehidupan Gajah Mada. Gajah Mada yang menaklukkan berbagai kerajaan sangat kecewa terhadap Sunda Galuh yang belum menyatakan tunduk dan menyatu dengan Majapahit. Sudah beberapa kali Gajah Mada berniat menyerang Sunda Galuh, namun terhalang oleh mantan Prabu Putri yang menganggap adanya hubungan darah antara Sunda Galuh dan Majapahit. Raden Wijaya menurut naskah Wangsakerta, merupakan cucu Raja Sunda Galuh. Ketika menyerang Bali, Sunda Galuh memberikan bala tentaranya.

Pada saat Prabu Hayam Wuruk menggantikan kedudukan ibunya, maka Gajah Mada menggap ini adalah sebuah kesempatan. Prabu Hayam Wuruk berniat mengawini Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Sunda Galuh, Prabu Maharaja Linggabuana. Lamaran yang diajukan Hayam Wuruk diterima dan pernikahan yang lazimnya di lakukan di pihak perempuan berganti dilaksanakan di Istana Majapahit. Pesta ini dihadiri oleh semua negara bawahan Majapahit. Sedangkan di sisi lain, Gajah Mada menilai datangnya Raja Sunda Galuh serta pengiring pengantin merupakan peluang untuk menundukkan Sunda Galuh di bawah Majapahit. Tanpa sepengetahuan Hayam Wuruk, Gajah Mada mengancam Raja Sunda Galuh untuk tunduk di bawah Majapahit dan menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai upeti yang dipersembahkn untuk Majapahit, barulah mereka mengijinkan untuk masuk ke Istana Majapahit. Rombongan dari Sunda Galuh merasa di lecehkan dan dijebak, hingga mereka memutuskan untuk mengangkat senjata melawan pasukan Gajah Mada dan terjadilah perang dari seratus orang dari Sunda Galuh melawan pasukan Gajah Mada yang sangat tidak seimbang.

Akhir Perang Bubat

Melihat kematian Prabu Maharaja Linggabuana membuat permaisurinya Dewi Rara Linsing memutuskan untuk bunuh diri. Begitu juga dengan Dyah Pitaloka yang sangat terpukul melihat keluarganya terbunuh, dengan seketika menghujamkan kujang ke tubuhnya. Tragedi ini membuat Hayam Wuruk sangat terpukul karena ia sangat mencintai Dyah Pitaloka. Hubungan baik antara raja dan mahapatihpun semakin renggang. Hayam Wuruk tidak mau berbicara pada Gajah Mada ataupun bertegur sapa. Gajah Mada kemudian tau diri serta meletakkan jabatannya dan menyepi di Madakaripura.

Disintegrasi terjadi di Majapahit sehingga mengaharuskan Hayam Wuruk untuk memanggil kembali Gajah Mada sebagai Mahapatih. Tragedi perang Bubat tersebut membuat Gajah Mada meredam amarahnya untuk menguasai dunia. Gajah Mada sakit keras dan memutuskan untuk kembali ke istana, pada saat bersamaan Hayam Wuruk berada di Simping. Gajah Mada kemudian meninggal dengan berbagai misteri seperti dari mana asalnya, keturunan dari siapa serta dimana makamnya.

Ada yang berargumen bahwa Gajah Mada bukan sepenuhnya menjadi dalang di balik Perang Bubat. Gajah Mada hanyalah seseorang yang menaati wasiyat yang diberikan Raden Wijaya bahwa orang Jawa tidak diperkenankan menikahi orang sunda. Raden Wijaya yang merupakan keturunan sunda sangat menghormati dan mempertuakan orang – orang sunda terkhusus Kerajaan Padjajaran. Raden Wijaya tidak memperbolehkan keturunannya untuk mengawini saudara tuanya dan merasa bahwa Majapahit secara silsilah lebih muda daripada sunda. Hal ini berjalan turun temurun hingga masa Hayam Wuruk. Gajah Mada sebagai abdi dari Majapahit hanya melaksanakan apa yang dijalankan secara turun temurun.

Bagikan:

Tags

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang, Calon Guru Penggerak angkatan 11 Kota Semarang dan kontributor Modul Pembelajaran MGMP Sejarah Kota Semarang.

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah