Sunan Bonang memiliki nama asli Raden Makdum Ibrahim merupakan anak dari Sunan Ampel dengan Dewi Candrawati atau dengan nama lain Nyi Ageng Manila. Sunan Bonang juga merupakan cucu dari Maulana Malik Ibrahim dan adipati Tuban bernama Arya Teja serta keturunan ke 23 dari Nabi Muhammad. Beliau lahir pada tahun 1465 M. Sunan Bonang belajar agama dari Sunan Ampel di Ampel Denta, Surabaya.
Setelah selesai belajar di Ampel, Sunan Bonang melanjutkan belajar ke Samudra Pasai. Disana, Sunan Bonang berguru kepada Syeh Maulana Ishak (Paman Sunan Ampel) beserta ulama besar ahli tasawuf dari Baghdad dan Iran. Sekembalinya dari Samudra Pasai, Sunan Bonang berdakwah keliling ke berbagai daerah diantaranya Lasem, Tuban, Madura dan Pulau Bawean.
Di Kediri, ia melakukan dakwah dimana mayoritas penduduknya beragama Hindu dan mendirikan sebuah masjid bernama Masjid Sangkal Daha. Sunan Bonang menetap di suatu desa kecil di Lasem bernama Desa Bonang. Di desa ini, Sunan Bonang membangun pasujudan dan sekaligus sebagai tempat pesantren. Sunan Bonang juga dikenal sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi Kerajaan Demak. Meskipun demikian, ia masih sempat berkelanan kemana – mana untuk menyebarkan dakwahnya.
Berbeda dengan Sunan Giri yang sangat lugas dalam ilmu fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Sunan Bonang menguasai ilmu fikih, usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat mengenal Sunan Bonang sebagai orang yang ahli dalam mencari sumber air di tempat – tempat yang gersang.
Ajaran yang dibawa Sunan Bonang lebih mirip dengan ajaran Islam yang disebarkan Jalalludin Rumi yang berintikan filsafat cinta (isyq). Sunan Bonang menggunakan metode dakwah dengan cara akulturasi budaya berupa kesenian. Dalam hal ini, Sunan Bonang bekerjasama dengan muridnya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak menciptakan seni sastra seperti suluk atau tembang tamsil. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Suluk wijil yang dipengaruhi Kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr. Sunan Bonang menggunakan media gamelan untuk berdakwah yang biasanya digunakan oleh umat Hindu dikolaborasikan dengan bonang. Dengan cara ini Sunan Bonang menyisipkan amalan serta dzikir ajaran Islam untuk mendorong masyarakat lebih mengenal ajaran agama Islam. Salah satu karya Sunan Bonang yang masih bisa kita dengar adalah tembang Tombo Ati. Selain itu dalam pewayangan, Sunan Bonang juga menyisipkan beberapa peran lakon khas Islam seperti pada perseturuan Pandawa dan Kurawa.
Tempat – tempat yang pernah disinggahi Sunan Bonang diantaranya Pati, Lasem, Tuban, Madura dan Pulau Bawean. Pada akhirnya Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean pada tahun 1525 M. Terdapat empat versi makam Sunan Bonang diantaranya di Lasem, Madura, Pulau Bawean dan Tuban.
Makam Sunan Bonang
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, ketika Sunan Bonang meninggal ada salah satu murid Sunan Bonang dari Madura yang ingin membawa jenazahnya ke Madura. Namun, ia hanya bisa membawa kain kafannya saja.
Jenazah Sunan Bonang diperebutkan santri – santrinya baik dari Lasem, Tuban dan Pulau Bawean. Santri Sunan Bonang dari Tuban meminta Sunan Bonang untuk dimakamkan di Tuban, namun santri Sunan Bonang dari Pulau Bawean menolaknya. Pada saat malam hari, jenazah Sunan Bonang di bawa ke Tuban oleh santri – santrinya. Namun anehnya jenazah Sunan Bonang masih ada di Pulau Bawean dengan keadaan kain kafan yang hanya tinggal satu.
Dengan demikian ada dua tempat makam Sunan Bonang yaitu di Pulau Bawean tepatnya di kampung Tegal Gubuk, Barat Tambak Bawean dan di barat Masjid Sunan Bonang di Tuban.
Masing – masing tempat mengklaim bahwa Sunan Bonang dimakamkan di tempat tersebut dan hingga dijadikan sebagai tempat yang diziarahi dan menjadi wisata religi.
Ada juga yang bercerita bahwa Sunan Bonang menginginkan dimakamkan di Lasem, Tuban dan Madura karena di tiga tempat itulah santrinya tersebar. Penentuan dimana Sunan Bonang akan dikuburkan yaitu dengan cara melarung mayat Sunan Bonang ke laut dimana Sunan Bonang tersebut ditempatkan didalam peti mayat. Arah dimana mayat tersebut menghadap disitulah Sunan Bonang akan dimakamkan. Dan ketika Sunan Bonang meninggal, kebetulan peti mayatnya menghadap ke Tuban dan jadilah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban. Sedangkan makam di Madura, konon menurut cerita tersebut santri Madura mengambil kain kafan Sunan Bonang yang telah terkubur. Hal ini sangat menyalahi etika santri pada saat itu. Mengenai dimana makam Sunan Bonang yang asli masih menjadi kontroversi hingga sekarang dan masing – masing wilayah yaitu Tuban, Madura dan Lasem masing – masing masih mengklaim bahwa disitu adalah tempat dimana Sunan Bonang dimakamkan.
Di Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang juga terdapat tempat ziarah dan memiliki hari – hari penting untuk memperingati wafatnya Sunan Bonang atau dinamakan “Khol Sunan Bonang”. Peninggalan di Desa Bonang diantaranya Pasujudan, Omah Gede yang kini digunakan sebagai masjid karena sering digunakan untuk shalat, bende becak atau disebut juga bende Bonang yang digunakan Sunan Bonang untuk media dakwah yang masih terjaga kelestariannya.
Pasujudan Sunan Bonang yang terletak di seberang pantura konon digunakan Sunan Bonang untuk bermunajat. Desa Bonang sering disinggahi para peziarah untuk bertafakur di petilasan Sunan Bonang yang ada dekat dengan pasujudan Sunan Bonang. Para peziarah umumnya berdzikir, membaca Al-Quran, dan shalat tahajud disini. Selain itu banyak diantara mereka membersihkan area makam Sunan Bonang dalam beberapa hari entah untuk mencari berkah ataupun tujuan yang lain. Di sebidang tanah yang ditumbuhi bunga melati dianggap sebagai makam Sunan Bonang terlepas misteri tarik ulur makam Sunan Bonang.