Perang Diponegoro (1825-1830)

Rahmad Ardiansyah

Perang Diponegoro atau dikenal dengan nama Perang Jawa terjadi pada periode tahun 1825 – 1830. Perang Diponegoro telah memakan korban sebanyak 15.000 dari tentara Belanda (8.000 tentara Eropa dan 7.000 pribumi) sedangkan dari pihak Diponegoro sedikitnya sebanyak 200.000 orang tewas. Selain melawan Belanda, pada Perang Diponegoro juga terjadi perang saudara antara pihak keraton yang berpihak pada Diponegoro dan pihak keraton yang bekerjasama dengan Belanda. 

Sebab Perang Diponegoro

Perang Diponegoro awalnya berasal dari persoalan internal keraton. Pada bulan Juli 1825 Patih Danureja IV yang merupakan orang yang bekerjasama dengan Belanda memerintahkan pihak Kesultanan Yogyakarta untuk membuat jalan. Perencanaan pembangunan jalan tersebut ternyata menembus tanah milik Diponegoro yang masih memiliki darah Kesultanan Yogyakarta dan neneknya di Tegalrejo. Terlebih tanpa sepengetahunnya, Belanda membuat jalan yang menggusur pemakaman dari keluarga Diponegoro. Hal tersebut membuat Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Untuk itu, Pangeran Diponegoro memerintahkan pegawai – pegawai pembuat jalan untuk mencabut tonggak yang akan dipancangkan sebagai tanda pembuat jalan oleh Patih Danureja IV. Tidak hanya itu, Pangeran Diponegoro juga memprotes agar Patih Danureja IV dipecat dari jabatannya. Namun, A.H, Smisaerr menekan sultan untuk tidak menghiraukan dan tetap mempertahankan Patih Danureja IV. Suasana tegang inilah yang kemudian memunculkan meletusnya Perang Diponegoro. Sebenarnya permasalahan ini merupakan penyulut dari sekian banyak permasalahan yang melatarbelakanginya.
Menurut Abdul Qadir Djaelani (1999), masalah utama dari Perang Diponegoro adalah karena adanya campur tangan penjajah (Belanda dan Inggris) dalam pemerintahan kesultanan Yogyakarta, yang kemudian tersirat dalam kebijakan dan peraturan kesultanan yang menguntungkan penjajah. Bahkan pengangkatan seorang sultan harus melalui persetujuan dari Belanda. Kondisi tersebut diperparah dengan disingkirkannya orang – orang yang tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Akibatnya beberapa pangeran disingkirkan dari Keraton salah satunya adalah Diponegoro yang kemudian memberontak dan melakukan perlawanan terhadap kebijakan kesultanan dan Belanda.

Jalannya Perang Diponegoro

Pangeran Diponegoro menyusun kekuatan dengan nama Perlawanan Rakyat terhadap penjajah. Dalam barisan tersebut Diponegoro memfokuskan kepada penyerangan yang bersifat meluas dan lama. Bentuk perlawanan ini dimaksudkan agar Diponegoro menghindari tuduhan bahwa ia hanya ingin merebut kekuasaan, meskipun pada akhirnya tuduhan tersebut tetap dilayangkan kepadanya.
Dalam perjuangannya, Diponegoro melakukan langkah yang jitu yaitu dengan mengeluarkan seruan ke rakyat Mataram untuk bersama menentang Belanda dan para tiran yang senantiasa menindas rakyat. Seruan tersebut kemudian disebarluaskan ke daerah kekuasaan Mataram khususnya di Jawa Tengah. Seruan tersebut mendapatkan sambutan dari masyarakat. Akhirnya, daerah Selarong dipenuhi oleh masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam perlawanan. Perang terhadap Belanda meledak dan membakar hampir seluruh tanah Mataram bahkan merembet ke Jawa Timur dan Jawa Barat.

Akhirnya perang secara langsung tidak dapat dihindarkan. Belanda kewalahan menghadapi perlawanan pasukan Diponegoro selama bertahun – tahun. Dalam beberapa pertempuran, pasukan Belanda mengalami kekalahan. Hal tersebut membuat pasukan Belanda yang ada di Madura dan daerah lain berdatangan ke Yogyakarta untuk membantu pasukan Belanda dalam perang Diponegoro. Akhirnya pasukan Diponegoro banyak yang menderita kekalahan dan gugur di medan perang.

Strategi Belanda dalam Menghadapi Perang Diponegoro

Seperti pada perang lain, dalam menghadapi Perang Diponegoro Belanda pun melakukan siasat yang licik. Diponegoro diiming – imingi untuk melakukan perundingan. Dengan posisi yang tidak siap tempur, pasukan Diponegoro disergap dan dilucuti serta dimasukkan ke kendaraan residen yang sebelumnya telah dipersiapkan dengan pengawalan ketat oleh Mayor Ajudan de Stuers dan Kapten Roeps menuju Ungaran.

Lukisan Penangkaan Diponegoro

Akhir Perang Diponegoro

Setelah tertangkap, Diponegoro diboyong ke Semarang kemudian ke Batavia. Pada tanggal 3 Mei 1830, Pangeran Diponegoro bersama stafnya dibuang ke Manado. Setidaknya ada 19 orang yang terdiri dari keluarga dan stafnya yang diasingkan. Pada tahun 1834 Diponegoro dipindahkan ke Kota Makassar. Dan pada tahun 1855, Diponegoro wafat pada usia sekitar 70 tahun setelah menjalani masa hukuman pengasingan selama 25 tahun.

Bagikan:

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang, Calon Guru Penggerak angkatan 11 Kota Semarang dan kontributor Modul Pembelajaran MGMP Sejarah Kota Semarang.

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah