Kemungkinan besar beberapa moko tersebut dibawah para pedagang asal China pada masa lampau untuk ditukar dengan kebutuhan pangan dari wilayah tersebut, yakni daerah penghasil rempah-rempah seperti Maluku serta Kepulauan Banda. Bahkan, mereka terdampar di pulau Alor dan tidak memiliki komoditi pangan mumpuni sehingga moko-moko tersebut ditukar dengan kebutuhan pangan yang dihasilkan masyarakat di pulau Alor seperti jagung dan biji kenari yang terjadi sekitar 1000 tahun silam sistem perdagangan kedua komoditi tersebut bisa ditukar dengan moko.
Secara umum, moko memiliki bentuk menyerupai drum tangan yang tingginya sekitar 80 cm sampai 100 cm dan diameternya mencapai 60 cm dengan desain yang beragam, sedangkan ornamennya sangat khas akan budaya Indo-China. Moko dikenal sebagai benda sejarah berbentuk lonkong bak gendang kecil, tetapi juga berukuran lebih besar. Hiasannya sangat beragam dan menyesuaikan dengan pembuatannya dan persis seperti beberapa benda perunggu yang sudah ada sejak zaman Majapahit di pulau Jawa dan sekitarnya.
Bahkan, masyarakat Alor biasanya menggunakan moko sebagai mas kawin dan tradisi ini tetap di lestarikan sejak beberapa tahun silam. Semua keluarga di wilayah tersebut selalu menyimpan satu buah moko di rumahnya masing-masing karena disebut sebagai benda yang harganya akan bertambah apabila disimpan untuk jangka panjang. Tidak sedikit dari masyarakat setempat selalu menilai bahwa satu buah moko bisa ditaksir mencapai puluhan juta rupiah dan berfungsi sebagai simbol atas status sosial, mas kawin, alat musik dan alat tukar ekonomi.