RERA (Rekonstruksi dan Rasionalisasi) merupakan program pemerintahan Moh. Hatta sebagai upaya mengefisienkan jumlah angkatan bersenjata. Program ini digagas oleh Zainul Baharudin yang mengajukan kepada KNIP agar sepenuhnya pasukan bersenjata ditempatkan dibawah menteri pertahanan. Ia juga mengusulkan pengurangan tentara serta memberi pekerjaan yang produktif dalam pemerintahan kepada veteran. Usul tersebut kemudian dikenal dengan Mosi Baharudin yang selanjutnya disahkan oleh KNIP. Mosi Baharudin tersebut diterima ketika KNIP sayap kiri berkuasa.
Dari gambaran tersebut dapat disimpulkan bahwa program RERA ditujukan agar sayap kiri dapat dengan mudah diawasi dan menguasai tentara. Mosi ini menjadi langkah politik untuk memusatkan kekuasaan pada menteri pertahanan Amir Syarifuddin. Sehingga program rasionalisasi sebenarnya hanyalah lanjutan dari program Amir Syarifuddin bahkan Sutan Syahrir.
RERA digagas setelah RI menyetujui Perjanjian Renville dengan Belanda yang menyebabkan perubahan di RI salah satunya wilayah de facto RI. Dalam pelaksanaannya RERA banyak menuai tentangan dan mengakibatkan pemberontakan – pemberontakan di berbagai wilayah.
Dalam sidang BP KNIP pada tanggal 16 Februari 1948, Perdana Menteri Hatta menjelaskan bahwa RERA dilaksanakan karena terjadi penggunaan tenaga manusia yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, sehingga apabila tidak dilaksanakan rasionalisasi maka negara akan mengalami inflasi. Untuk setiap orang yang terkena kebijakan rasionalisasi maka harus mendapatkan pekerjaan dan kehidupan yang layak.
Realisasi dari program RERA adalah dikeluarkannya Penetapan Presiden No.14 tanggal 4 Mei 1948 dimana pemerintah menegaskan mengenai pelaksanaan teknis rasionalisasi. Penpres tersebut berisi dalam wilayah RI dibentuk dua Komando wilayah, yaitu Markas Besar Komando Jawa dan Markas Besar Komando Sumatera (MBKS) yang berlaku sejak 15 Mei 1948.
Hingga bulan Juni 1948, sebanyak 60 ribu tentara telah dirasionalisasikan dan 40 ribu orang lain menyusul. Perdana Menteri Hatta menyatakan bahwa masalah utama rasionalisasi adalah masalah prikologis karena kembali ke desa dan menjadi petani dianggap pekerjaan hina / romusha.
Program RERA mendapat tentangan keras dari sejumlah elemen di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada tanggal 20 Mei 1948, digelar pertunjukan militer besar – besaran di Solo oleh sejumlah batalion dari Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) dan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI). Pertunjukan tersebut bertujuan melakukan demonstrasi kepada pemerintah untuk membatalkan reorganisasi mengingat pada waktu tersebut Indonesia sedang menghadapi ancaman dari dalam dan dari luar.
Latar Belakang RERA
- Banyaknya laskar bersenjata yang terafiliasi dengan partai politik.
- Kelangkaan senjata yang berujung pada perebutan persenjataan antara tentara RI resmi dan laskar bersenjata.
- Perjanjian Renville berakibat menyempitnya wilayah RI dan menurunnya pemasukan negara. Hal tersebut berimbas adanya inflasi negara.
- Hatta menghendaki adanya tentara profesional sedangkan masalah politik diserahkan kepada negara
- Hatta menginginkan tenaga produktif yang terdampak rasionalisasi untuk dialihkan ke sektor pertanian.
- Pengalaman Agresi Militer Belanda I menunjukkan tentara yang tidak terlatih dan tidak berdisiplin akan menimbulkan kerugian secara militer.
- Setelah tahun 1948, keadaan Indonesia lebih stabil sehingga perlu mengefisienkan penataan struktur kemiliteran.
- Pemerintah Hatta menganggap bahwa kemiliteran lokal sukar dikendalikan dan suka menentang pemerintah.
Tujuan RERA
RERA bertujuan mengurangi beban negara dalam bidang ekonomi, terutama terhadap gaji militer pada saat itu. Selain itu RERA dimaksudkan untuk merekrut tentara profesional yang tidak hanya memiliki fisik tertentu, namun juga pengetahuan militer yang memadai. Dengan adanya RERA diharapkan tentara yang tidak terseleksi bisa dialihkan menuju sektor produktif, mencegah politisasi militer, serta mengembalikan kendali pemerintah terhadap angkatan senjata.
Ketentuan RERA
Tahap awal penyeleksian RERA dilakukan pengurangan tentara dari 160.000 tentara menjadi 57.000. Tenaga yang terimbas kebijakan RERA dijanjikan disalurkan ke Kementrian Pembangunan dan Pemuda dan sebagian dikembalikan ke profesi semula seperti guru, petani dan pamongpraja. Selain itu sebanyak 100.000 orang dikembalikan ke desa untuk menggarap sektor pertanian.
Dampak Pelaksanaan RERA
Dengan adanya RERA, di Jawa yang sebelumnya terdapat tujuh divisi berubah menjadi empat divisi. Setelah adanya RERA kontrol pemerintah pusat menjadi menguat dan melemahkan satuan bersenjata di daerah. Akibatnya terjadi penolakan dan oposisi di daerah seperti di Solo dan Kediri. Satuan militer yang dibubarkan kemudian bergabung dan berafiliasi ke sayap kiri seperti TLRI (Tentara Laut Republik Indonesia) dan TNI Masyarakat yang berafiliasi dengan sayap kanan seperti Hizbullah dan Sabilillah.
Pelaksanaan RERA menggeser pemimpin populis menjadi pemimpin profesional. Imbasnya pemimpin seperti Kolonel Sutarto yang sangat popular dikalangan Pasukan Panembahan Senopati digantikan keududukannya. Pada bulan Mei 1948 terjadi demonstrasi militer untuk menentang rasionalisasi oleh laskar dan pasukan Senopati di Solo.
Kebijakan RERA ditentang sayap kiri karena kebijakan tersebut melemahkan FDR yang sebelumnya bersusah payah membangun kekuatan militernya. RERA telah menjadikan Divisi Siliwangi sebagai tulang punggung TNI sekaligus pasukan elit TNI. Hal ini dikarenakan keprofesionalan dari Divisi Siliwangi serta menjalankan politik netral.
Kebijakan RERA pada hakekatnya bertentangan dengan revolusi Indonesia yang melibatkan elemen rakyat dalam revolusi. Dengan adanya RERA maka fungsi pertahanan diserahkan secara khusus kepada angkatan bersenjata sebagai pemilik otoritas pemegang senjata.
Akibat kebijakan RERA, terjadi penolakan di daerah seperti Kahar Muzakar dari Brigade Hasanuddin, Ibnu Hajar dari kesatuan Kesatuan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT) dan beberapa perlawanan di luar jawa dari gerilyawan.
Sumber : http://sgt010916.blogspot.com/2018/11/rera-rekonstruksi-dan-rasionalisasi.html