Perjanjian Linggarjati, Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya

Rahmad Ardiansyah

Proses Terjadinya Perundingan Linggarjati

Dengan mulaitibanya pihak sekutu guna menerima penyerahan Jepang, maka mulailah ketegangan-ketegangan serius yang pertama terhadap revolusi. Pada awal tahun 1945 pihak sekutu telah memutuskan bahwa pasukan-pasukan Amerika akan memusatkan perhatian pada pulau-pulau di Jepang. Dengan demikian, maka pada saat terakhir tanggung jawab atas Indonesia dipindahkan dari komando Pasifik Barat Daya Amerika kepada Komando Asia Tenggara Inggris di bawah pimpinan Lord Louis Mount batten. Tentu saja Belanda ingin sekali menduduki kembali Indonesia dan menghukum mereka yang telah bekerjasama dengan pihak Jepang, hal itu tidak mungkin dilakukannya secara sendiri oleh pihak Belanda. Dengan kata lain Belanda ingin bertumpu pada Inggris, akan tetapi mountbatten akan menunjukkan bahwa dia tidak berniat menaklukkan Indonesia untuk Belanda (M.C. Ricklefs.1998:323).

Sejak kedatangan sekutu di Indonesia pada akhir September 1945, yang diboncengi oleh NICA dengan KNIL nya, terjadilah pertempuran yang terus menerus antara pihak RI dan Inggris / Belanda. Perundingan-perundingan yang gagal biasanya dimulai lagi dengan persetujuan gencatan senjata cease-fire”, yang pertama ialah pada tanggal 14 Oktober 1946 (Mohammad Roem. 1972 : 127).

Pada 14 November 1945, sistem presidensial diubah menjadi sistem parlementer. Sjahrir diangkat sebagai perdana menteri pertama. Tak berapa lama setelah pengangkatan Sjahrir, Inggris mengajak berunding. Namun sayangnya kabinet Sjahrir menjawab dengan maklumat, bahwa Indonesia tidak sudi berunding selama Belanda berpendirian masih berdaulat di Indonesia. Menanggapi reaksi dari Indonesia, Belanda lalu memblokade Jawa dan Madura. Tapi Sjahrir melakukan diplomasi cerdik. Meskipun dilanda kekurangan pangan, Sjahrir memberikan bantuan beras ke India pada Agustus 1946. Tindakan Sjahrir ini membuka mata dunia. Semula Belanda enggan melakukan kontak dengan pihak Republik karena paksaan Inggris karena serta opini dunia, Belanda dengan berat hati terpaksa menghadapi Indonesia di meja perundingan. Kesempatan pertama datang dalam perundingan di Hoge Veluwe, Belanda, 14-16 April 1946. Ketika itu Indonesia mengajukan tiga usul: (1) Pengakuan atas Republik Indonesia sebagai pengemban kekuasaan di seluruh bekas Hindia Belanda, (2) Pengakuan de facto atas Jawa dan Madura, serta (3) Kerja sama atas dasar persamaan derajat antara Indonesia dan Belanda. Usul itu ditolak Belanda (Lapian & Drooglever, 1992: 9)

Peluang berunding dengan Belanda terbuka lagi ketik a Inggris mengangkat Lord Killearn sebagai utusan istimewa Inggris di Asia Tenggara, sekaligus penengah konflik Indonesia-Belanda. Kemudian pertempuran antara pihak Indonesia dan Inggris berhenti. Tetapi sementara itu tentara Inggris telah berhasil menduduki beberapa tempat yang penting baik di Jawa maupun di Sumatera, yaitu kota-kota Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Palembang, Padang dan Medan, yang selanjutnya diserahkan kepada pihak Belanda. Untuk menunjukan bahwa Inggris datang ke Indonesia tidak untuk mengobarkan api kekacauan, maka diusahakanlah olehnya agar pihak Belanda dan Indonesia bisa dipertemukan dalam suatu perundingan untuk menyelesaikan persoalan mereka dengan cara damai. Untuk itu pemerintah Inggris mengirimkan diplomatnya, Lord Killearn ke Indonesia untuk menjadi perantara. Atas jasanya dapatlah dicapai persetujuan Linggajati pada tanggal 15 November tahun 1946. Adapun Linggajati adalah nama kota peristirahatan di dekat Cirebon yang terletak dilereng gunung Cerme. Dalam perundingan ini dipertemukanlah delegasi RI yang dipimpin oleh PM Syahrir dengan delegasi Belanda yang dipimpin oleh Schermer-horn. (G.Moedjanto. 1988 : 181)

Sebelumnya tanggal 10 Februari 1946, sewaktu Sjahrir menjabat perdana menteri dalam Kabinet Sjahrir I, Van Mook telah menyampaikan kepada Sjahrir rencana Belanda, yang berisi “pembentukan negara persemakmuran Indonesia, yang terdiri atas kesatuan-kesatuan yang mempunyai otonomi dari berbagai tingkat negara persemakanuran mejadi bagian dari Kerajaan Belanda”. Bentuk politik ini hanya berlaku untuk waktu terbatas, setelah itu peserta dalam Kerajaan dapat menentukan apakah hubungannya akan dilanjutkan berdasarkan kerja sama yang bersifat sukarela. Sementara itu pernerintah Inggris mengangkat seorang Diplomat tingkat tinggi. Sir Archibald Clark Kerr (yang kemudian diberi gelar Lord Inverchapel), untuk bertindak sebagai ketua dalam perundingan Indonesia-Belanda. (Lapian & Drooglever, 1992: 11)

Segera setelah terbentuknya Kabinet Sjahrir II, Sjahrir membuat usul-usul tandingan. Yang penting dalam usul itu ialah bahwa (a) Republik Indonesia
diakui sebagai negara berdaulat yang meliputi daerah bekas Hindia- Belanda, dan (b) antara negeri Belanda dan RI dibentuk federasi. Jelaslah bahwa usul ini bertentangan dengan usul Van Mook. Setelah diadakan perundingan antara Van Mook dan Sjahrir dicapai kesepakatan :

  1. Rancangan persetujuan diberikan bentuk sebagai Perjanjian Indonesia Intemasional dengan  “Preambule”
  2. Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan de facto republik atas Pulau Jawa dan Sumatra

Pada rapat pleno tanggal 30 Maret 1946 Van Mook menerangkan bahwa rancangannya merupakan usahanya pribadi tanpa diberi kekuasaan oleh pemerintahanya. Maka diputuskan bahwa Van Mook akan pergi ke negeri Belanda, dan kabinet rnengirim satu delegasi ke Negeri Belanda yang terdiri atas Soewandi, Soedarsono dan Pringgodigdo. Perundingan diadakan tanggal 14-24 April 1946. Pada hari pertama ternyata perundingan sudah mencapai deadlock, Belanda menganggap dirinya sebagai negara pemegang kedautalatan atas Indonesia. Perundingan di Hoge Voluwe merupakan  kegagalan akan tetapi pengalaman yang diperoleh dan perundingan Hoge Voluwe ternyata berguna dalam perianjian Linggarjati. (Lapian & Drooglever, 1992: 12)

Perundingan politik dimulai di Jakarta, tempatnya bergantian antara Istana Rijswijk (sekarang Istana Negara) tempat penginapan anggota Komisi Jenderal dengan tempat kediaman resmi Sjahrir, jalan Pegangsaan Timur (sekarang Jalan Proklamasi) 56. Perundingan di tempat kediaman Sjahrir dipimpin oleh Schermerhom sedangkan perundingan di Istana Rijswijk dipimpin oleh Sjahrir. Perundingan di Jakarta diadakan empat kali dengan yang terakhir tanggal 5 November. Delegasi Republik Indonesia kemudian menuju ke Yogya untuk memberi laporan kepada Presiden, Wakil Presiden dan Kabinet, setelah itu berangkat ke Linggarjati. Lord Killearn datang pada tanggal 10 november dengan menumpang kapal perang inggris HMS “Verayan Bay”. Beliau diangkat dengan perahu motor ALRI ke Cirebon, diantar dengan mobil ke Linggarjati dan ditempatkan di rumah yang terletak dekat dengan rumah penginapan Sjahrir. Sedangkan belanda menggunakan angkatan laut Belanda telah mempersiapkan Kapal Perang H.M. “Banchert” untuk dipakai sebagai tempat penginapan Delegasi Belanda. Pada tanggal 11 Nopember Delegasi Belanda datang dengan kapal terbang “Catalina” dan dibawa ke “Banckert”. Seperti apa yang dilakukan satu hari sebelumnya perahu ALRI datang untuk menjemput Delegasi Belanda Komandan Banckert menolak dan minta Delegasi diangkat dengan perahu patroli “Banckert”. Hal ini ditolak oleh Komandan perahu motor ALRI. Akhirnya persoalan ini dipecahkan dengan diperkenankannya Delegasi Belanda diangkat perahu Patroli “Banckert” tetapi dikawal oleh perahu motor ALRI. (Lapian & Drooglever, 1992: 17)

Insiden di atas menggambarkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pejabat-pejabat Indonesia. Keterbatasan dihampir semua bidang seperti kendaraan, alat komunikasi, perumahan mengakibatkan hampir mustahil bagi Gubernur Jawa Barat, Residen Cirebon, Bupati Kuningan. Bupati Cirebon, dan Komandan Militer Daerah menjalankan tugasnya menjaga keamanan para pejabat tinggi Indonesia dan asing. Kenyataan bahwa selama perundingan tidak terjadi insiden patut dikagumi dan dipuji, tentu saja disiplin rakyat dan pengertian tentang pentingnya perundingan sangat membantu para pejabat dalam menjalarkan tugasnya. (Lapian & Drooglever, 1992: 18)

Karena insiden “Banckert” seperti diuraikan diatas, Delegasi Belanda baru sampai di Linggarjati pukul 11:00 dan karena harus kembali ke “Banckert” jam setengah lima sore, maka perundingan hari itu hanya singkat saja, yakni tiga setengah jam. Schemerhom memutuskan tinggal di Linggarjati karena berpendapat akan menimbulkan kesan kurang baik pada kalangan Indonesia jika la kembali ke “Banckert”, Dan juga ia berpendapat bahwa ia harus memenuhi undangan Presiden untuk makan malam. ia dapat bertukar pikiran dengan Presiden dan menikmati pertunjukan kesenian angklung. (Lapian & Drooglever. 1992: 18) 

Sementara itu, Delegasi Indonesia pagi-pagi berkumpul ditempat kediaman Sjahrir untuk mempersiapkan perundingan hari itu. Pasal-pasal rancangan persetujuan dibahas dan direncanakan alasan-alasan yang akan diusulkan. Perundingan hari itu berjalan sangat alot dan berlangsung hampir 9 jam. Dua soal tidak dapat dicapai kesepakatan, yakni “soal Perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri dan soal kedaulatan Negara Indonesia Serikat”. Dalam soal pertama terutama Sjahrir, mendesak supaya Belanda menerima usul bahwa Republik Indonesia mempunyai wakil-wakilnya sendiri diluar negeri. Ia berusaha meyakinkan pihak Belanda bahwa perwakilan ini terkait pada diakuinya Republik de facto, yang sudah di setujui oleh pihak Belanda. Pihak Belanda sangat keras menolak tuntutan dengan alasan bahwa dengan demikian Republik dan Belanda dalam hubungan Internasional akan sama derajatnya. Mengenai soal kedua juga tidak ada kesepakatan. Delegasi Indonesia menuntut agar Indonesia Serikat menjadi negara berdaulat, bukan negara merdeka, seperti dinyatakan dalam rancangan perjanjian yang di pakai sebagai dasar perundingan.

Malam itu undangan Presiden, Delegasi Belanda berkunjung ke rumah Presiden di Kuningan. Sjahrir tidak hadir karena sangat lelah dan karena mengira kunjungan Belanda hanya merupakan kunjungan kehormatan.  Atas pertanyaan Persiden jalannya perundingan, Van Mook menjelaskan bahwa tercapainya kesepakatan mengenai satu soal saja yakni usul Delegasi Indonesia untuk mengubah kata “Merdeka” dibelakang kata “berdaulat” artinya, yang diusulkan oleh Delegasi Indonesia adalah agar NIS akan menjadi negara berdaulat. Lebih lanjut ia menerangkan bahwa selama perundingan Delegasi Belanda berkeberatan atas perubahan itu, tetapi setelah dibicarakan antara mereka sendiri, mereka akhimya dapat menyetujui usul pihak Indonesia. (Lapian & Drooglever, 1992: 19)

Van Mook tidak mengutarakan bahwa masih ada soal lain yang belum di pecahkan, yakni perwakilan Republik Indonesia diluar negeri. Tetapi la kemudian segera menanyakan kepada Presiden apakah dengan diterimanya oleh pihak Belanda perubahan “mereka” menjadi “Berdaulat” Presiden dapat menyetujui Rancangan Perjanjian seluruhnya. Atas pernyataan itu Presiden menjawab dengan nada antusias bahwa la dapat menyetujuinya. Pertemuan tersebut kemudian berakhir. A.K.Gani dan Amir Sjarifuddin segera melaporkan kepada Sjahrir sangat menyesalkan bahwa Presiden sudah menyetujui Rancangan Perjanjian Linggarjati, padahal soal perwakilan Republik di luar negeri belum diputuskan. Tetapi Sjahrir tunduk pada keputusan Presiden. Maka waktu Schemerhorn datang dan mengusulkan untuk diadakan rapat pleno dan diketuai Killearn, Sjahrir pun menyetujuinya. Rapat pleno diadakan pukul 10.30 malarn dengan Killearn sebagai ketua rapat yang menyatakan kegembiraannya atas tercapainya kesepakatan kedua Delegasi. (Lapian & Drooglever, 1992: 9)

Hari berikutnya tanggal 13 November, diadakan rapat antara kedua Delegasi. Sebelumnya Sjahrir telah bertemu dengan Presiden Soekarno yang tampak santai. Ia hanya mengusulkan agar dimasukan dalam rancangan perjanjian satu pasal yakni pasal mengenai arbitrase yang diterima oleh Schermerhom. Dengan dimasukannya pasal arbitrase terbukti pada dunia luar bahwa Republik Indonesia dan Negara Belanda sederajat. Komisi Jenderal kemudian berangkat ke Jakarta.  Pagi tanggal 15 November diadakan rapat antara kedua delegasi di Istana Rijswijk. Walaupun begitu, Perundingan Linggarjati berlangsung juga pada tanggal 15 November 1946. Dalam perundingan tersebut, Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, sedangkan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn. Sebagai penengah adalah Lord Killearn dari Inggris. (Lapian & Drooglever, 1992: 20)


Isi Pokok Perjanjian Linggarjati

Berikut adalah isi pokok perjanjian Linggarjati :
a.       Belanda mengakui secara de fakto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, Madura.
b.      Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
c.       Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.

Wilayah RIS dalam kesepakatan tersebut mencakup daerah bekas Hindia Belanda yang terdiri atas: Republik Indonesia, Kalimantan, dan Timur Besar. Persetujuan tersebut dilaksanakan pada 15 November 1946 dan baru memperoleh ratifikasi dari Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 25 Februari 1947 yang ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Negara, Jakarta. Hasil Perjanjian Linggarjati memiliki kelemahan dan keuntungan bagi Indonesia. Kelemahannya, bila ditinjau dari segi wilayah kekuasaan, daerah RI menjadi sempit. Tetapi bila ditinjau dari segi
keuntungannya, kedudukan Indonesia di mata internasional semakin kuat karena banyak negara seperti Inggris, Amerika, dan negara-negara Arab mengakui kedaulatan negara RI. Hal ini tidak terlepas dari peran politik diplomasi Indonesia yang dilakukan oleh Sutan Syahrir, H. Agus Salim, Sujatmoko, dan Dr. Sumitro Joyohadikusumo dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). (A.A Gede agung : 1995 : 177)

Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata yang menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati. Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus.

Bagikan:

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang, Calon Guru Penggerak angkatan 11 Kota Semarang dan kontributor Modul Pembelajaran MGMP Sejarah Kota Semarang.

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah