A. Asal Usul Ken Angrok
Asal usul Ken Angrok sebenarnya tidak jelas. Satu-satunya sumber yang memberikan uraian panjang lebar tentang asal usul dan masa muda Ken Angrok ialah kitab Pararaton atau Katuturanira Ken Angrok.[1] Dalam kitab Pararaton, Ken Angrok disebutkan sebagai penjelmaan kembali dari seseorang yang pada waktu masa hidupnya didunia merupakan seseorang yang bertingkah laku tidak baik, tetapi karena ia sanggup dijadikan korban untuk dewa penjaga pintu, maka ia dapat kembali ke Wisnubhawana.
Ken Angrok dilahirkan di desa Pangkur disebelah timur Gunung Kawi. Ibunya bernama Ken Endok, istri dari seorang petani bernama Gajah Para.[2] Dikisahkan bahwa pada waktu itu Ken Endok hendak mengantarkan makanan untuk suaminya yang sedang bekerja di sawah, di tengah perjalanan ia di temui oleh Dewa Brahma di Tegal Lalateng, hingga akhirnya Ken Endok mengandung.
Dewa Brahma berpesan kepada Ken Endok: “janganlah engkau bersetubuh dengan suamimu lagi, jika engkau bersetubuh dengan suamimu, suamimu akan meninggal, karena kecampuran dengan anakku itu, nama dari anakku itu Ken Angrok, dialah yang kelak membawa perubahan besar di Pulau Jawa”.[3] Belum lima hari sejak peristiwa tersebut, suaminya meninggal. Setelah tiba pada harinya, lahirlah bayi tersebut. Namun, Ken Angrok yang masih bayi tersebut dibuang oleh ibunya di sebuah kuburan.
Secara kebetulan seorang pencuri yang bernama Lembong melihat sebuah sinar cahaya, kemudian Lembong mendekatinya. Kemudian tampaklah olehnya, seorang bayi laki-laki yang sedang menangis. Bayi laki-laki itu kemudian dibawa pulang dan diangkat anak olehnya. Ken Endong mendengar kabar, seorang anak yang didapatnya dari kuburan, tampak bersinar dimalam hari. Berkatalah Ken Endok: “saudara Lembong, jika engkau tidak mengetahui tentang anak yang kau temukan itu, anak sayalah itu, mungkin engkau ingin mengetahui asalnya, berasal dari Dewa Brahma yang bersetubuh dengan saya. Jangan tidak dipelihara anak itu, dapat disamakan dengan beribu dua dan berayah satu anak itu”[4]
Agak berbeda dengan pemberitaan pada kitab Pararaton, kakawin Negara Kertagama memberikan keterangan sebagai berikut. Pada tahun 1104 saka (1182 M), ada seorang raja besar yang perwira, putra Sri Girinatha. Diceritakan bahwa ia lahir tanpa melalui kandungan. Ia adalah Sri Ranggah Rajasa, penggempur musuh, pahlawan bijak. Semua orang tunduk sujud menyembahnya. Ibukota kerajaannya bernama Kutaraja. Pada tahun 1144 saka (1222 M) ia melawan raja Kertajaya dari Kadiri, setelah raja Kertajaya kalah, Kadiri direbut. Bersatulah Kadiri dibawah kekuasaan Jenggala. Kakawin Nagarakertagama mengemukakan pula bahwa Bhatara Girinathapura disembah bagaikan dewa, beliaulah moyang sang raja (Hayam Wuruk).
Dari kedua sumber tersebut (pararaton dan Nagarakertagama) diketahui bahwa Ken Angrok adalah pendiri dan raja pertama Tumapel (Singhasari). Dialah yang menjadi Wangsakara, pendiri dari dinasti Rajasa (rajasawangsa) atau dinasti Girindra (Girindrawangsa) dan menjadi cikal bakan raja-raja Singhasari dan Majapahit.
Selain dari kedua sumber tersebut, riwayat Ken Arok masih kita dapati pula dalam beberapa kitab Kidung. Akan tetapi keteranga dari kitab-kitab kidung tersebut tidak memberikan kejelasan mengenai kesejarahan Ken Arok. Hingga kini terdapat empat buah prasasti yang dinaggap memberikan petunjuk mengenai kesejarahan tokoh Ken Arok. Prasasti tersebut adalah.[5]
- Prasasti Balawi dari tahun saka 1227 (1305 M). Dikeluarkan oleh Sri Maharaja Nararyya Sang Gramawijaya, yang dijuluki “yang menjadi pelindung permata dinasti Rajasa” (rajasawangsamaniwrndakostena)
- Prasasti Maribong (Trawulan II) dari tahun 1186 saka (1264 M) dikeluarkan oleh Sri Jayawisnuwarddhana yang disebutkan swapitamahastawanabhinnasrantalokapalaka (“kakeknya yang telah menentramkan dan mempersatukan dunia”
- Prasasti Kusmala (Kandangan) dari tahun 1272 saka (1350 M) dari tahun 1272 saka (1350 M) yang memperingati penyelesaian sebuah bendungan batu oleh Rakryan Dmung Sang Martabun Rangga Sapu, menyebutkan makamangala rakaking Amurwwabhumi.
- Prasasti Mula- Malurung dari tahun 1177 saka (1255 M) yang dikeluarkan oleh Wisnuwardhana, yang di dalam prasasti ini disebutkan dengan nama Narayya Smining Rat, menyebut pula “kakek (kaki) sang raja yang menyandang nama Siwa, yang meninggal dibangku emas, yang menjad pendiri kerajaan, yang menjadi satu-satunya payung bagi seluruh pulau Jawa, dan yang telah menaklukan pulau-pulau yang lain”. Keterangan dalam prasasti Mula- Malurung sesuai dengan keterangan dalam kitab Pararaton dan Nagarakertaama. Kedua kitab tersebut menyebutkan bahwa kakek Wisnuwarddhana ialah Ken Angrok alias Rajasa yang telah mendirikan kerajaan Tumapel (Singhasari).
B. Pendirian Dinasti Rajasa
Kitab Pararaton juga menjelaskan tentang kenakalan-kenakalan Ken Angrok semasa mudanya. Setelah beranjak dewasa, Ken Angrok mengembara ke daerah timur Gunung Kawi sebagai pencuri, perampok, pembunuh dan pemerkosa wanita. Kejahatan Ken Angrok semakin menjadi-jadi sehingga ia menjadi buronan dan dikejar-kejar oleh rakyat Tumapel, bahkan atas perintah raja Daha akuwu Tumapel pun berusaha untuk melenyapkan Ken Angrok dari wilayah Daha. Dalam pengejaran, Ken angrok selalu berhasil meloloskan diri.
Kemudian Ken Angrok diangkat anak oleh seorang Brahmana bernama Dahyang Lohgawe, yang sengaja datang dari Jambudwipa ke Jawa untuk mencari Ken Angrok. Melalui perantara Lohgawe, Ken Angrok dapat diterima mengabdi pada akuwu Tunggul Ametung. Dalam pengabdinya kepada Tunggul Ametung, Ken Arok tertarik oleh istri Tunggul ametung yaitu Ken Dedes. Hal itu terjadi ketika kebetulan karena takdir, tersingkap betis Ken Dedes, terbuka sampai rahasianya, kelihatan bersinar oleh Ken Angrok, terpesona ia melihat kecantikan yang murni, tidak ada yang menyampai kecantikannya itu.[6]
Baca Juga : Ken Dedes, Kisah Dibalik Berdirinya Singhasari
Ken Angrok yang sangat menginginkan Ken Dedes, berusaha untuk membunuh Tunggul Ametung. Selanjutnya Ken Angrok memesan keris untuk membunuh Tunggul Ametung kepada Pu Gandring. Ken Angrok pergi dari Karuman menuju Lulumbnag untuk memesan keris tersebut. Ken Angrok memberikan batasan waktu untuk penyelesaian keris hanya lima bulan, namun sebenarnya Pu Gandring tidak menyanggupinya. Lima bulan berikutnya, Ken Angrok menemui Pu Gandring untuk mengambil keris pesanannya, namun ternyata keris tersebut masih dalam proses pengasahan. Ken Angrok yang merasa marah karena batas waktu penyelesaiannya melebihi waktu yang telah ditentukan, Ken Angrok menusukan keris tersebut ke Pu Gandring. Lalu diletakkan pada lumpang batu tempat air asahan, lumpang terbelah menjadi dua.
Saat itu Gandring berkata “ananda Angrok, kelak kamu akan mati oleh keris itu. Anak cucumu akan mati oleh keris itu juga. Tujuh orang raja akan mati karena keris itu.” setelah ucapan itu selesai Gndring mati. Ken Angrok tampak menyesal dengan matinya Gandring. Kata Ken Angrok: “kalau saya menjadi orang, semoga kemuliaanku melimpah juga kepada anak cucu pandai keris di Lulumbang.”[7]
Seorang kesayangan Tunggul Ametung, bernama Kebo Hijo yang merupakan sahabat dari Ken Angrok. Ketika Kebo Hijo melihat keris yang dibawa Ken Angrok, ia merasa tertarik dan meminjamnya. Ken Angrok pun meminjamkannya. Keris Ken Angrok dipakai oleh Kebo Hijo, namu tak ada orang Tumapel yang mengetahuinya. Tak lama kemudian, keris tersebut dicuri kembali oleh Ken Angrok, dan digunakan untuk membunuh Tunggul Ametung dengan cara menusukannya. Keris itu ditinggalkannya, dan setelah melihat Tunggul Ametung terbunuh dan mengamati keris itu, dikenalilah bahwa keris tersebut adalah milik Kebo Hijo. Akhirnya Kebo Hijo juga dihukum dan ditusuk oleh keris itu pula. Setelah Tunggul Ametung meninggal, Ken Angrok kemudian memperistri Ken Dedes dan menggantikan kedudukannya sebagai akuwu Tumapel. Semua tindakan Ken Angrok itu dibiarkan saja oleh keluarga Tungul Ametung dan rakyat Tumapel.[8] Setelah lama menjadi akuwu, ia didatangi oleh brahmana dari Daha. Mereka meminta perlindungan dari Ken Angrok. Para brahmana memilkimasalah dengan raja Dangdang Gendis yaitu raja dari kerajaan Daha. Raja Dandang Gendis meminta kepada brahmana untuk menyembahnya karena ia merasa sebagai perwujudan Batara Guru. Itulah sebabnya mengapa Tumapel tidak mau tunduk kepada Daha.[9]
Tidak lama kemudian Ken Angrok direstui menjadi raja di Tumapel. Negaranya bernama Singaasari. Nama nobatannya Sri Rajasa Sang Amurwabumi, disaksikan oleh para bujangga pemeluk agama Siwa dan Buddha yang berasal dari Daha, terutama Dang Hyang Lohgawe. Dengan izin dan restu para brahmana ia memakai nama Bhatara Guru dan mengadakan penyerangan ke Daha melawan raja Dandang Gendhis dan balatentaranya. Dalam peperangan didekat Ganter, Ken Angrok dapat mengalahkan raja Dandang Gendhis dan balatentaranya. Seluruh kerajaan Daha akhirnya dapat dikuasai Ken Angrok, kemudian ia menjadi maha raja di Tumapel. Penaklukan Daha terjadi pada tahun 1144 saka (1222 Masehi).[10]
C. Terbunuhnya Ken Angrok
Karena Anusapati merasa ia mendapat perlakuan berbeda dari Ken Angrok, maka ia memberanikan diri menanyakannya pada ibunya, Ken Dedes. “ibu, saya bertanya kepada tuan, bagaimanakah jelasnya ini? Kalau ayah melihat saya, berbeda pandangannya kalu ia melhat saudara-saudara saya semua. Jangan dikatakan lagi kalau ia melihat anak-anak ibu muda, semakin berbeda pandangan ayah itu”.[11]
Kemudian Ken Dedes mengungkapkan bahwa Anusapati adalah anak dari Tunggul Ametung. Tunggul Ametung meninggal karena dibunuh oleh Ken Angrok oleh keris buatan pu Gandring ketika ibunya sedang mengandung Anusapati. Kemudian Anusapati memanggil hambanya berpangkat pengalasan di Batil. Dialah orang yang akan disuruh untuk membunuh Ken Angrok. Ia diberikan keris buatan Pu Gandring untuk dipakai dalam membunuh Ken Angrok. Pada tahun 1169 saka (1274 Masehi) Ken Angrok dbunuh. Ken Angrok kemudian di candikan di Kagenengan.
Hanya lima tahun saja Ken Arok menjadi penguasa atas Singasari. Ken Arok harus terbunuh oleh orang suruhan dari Anusapati, anak tirinya. Anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Anusapati balas dendam atas kematian ayahnya, sekaligus menuntut kuasa atas tanah ayah kandungnya Tunggul Ametung. Konon, Ken Arok dibunuh dengan keris yang sama untuk membunuh Tunggul Ametung dulu, keris buatan tangan Mpu Gandring. Setelah Ken Arok terbunuh, Anusapati menjadi raja Singasari kedua menggantikan Ken Arok.[12]
[1] Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia II, Balai Pustak, Semarang 1993, Hal 397
[2]Ibid, hal 398
[3]Suwardono, Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok, Ombak,Yogyakarta, 2013, hal 22
[4] Suwardono, Ibid, hal 23
[5] Djoened, Ibid, hal 400-401
[6] Suwardono, Ibid, hal 34
[7] Suwardono, Ibid, hal 36-37
[8] Djoened, hal 399
[9] Suwardono, hal 39
[10] Djoened, hal 399
[11] Suwardono, Ibid, hal 41
[12] Petrik Matanasi, Para Jagoan; Dari Ken Arok sampai Kusni Kasdut, Terompet Book, Yogyakarta, 2011, hal 17-18