Pembentukan VOC
Untuk mengatasi persaingan diantara pedagang belanda dan persaingan pedagang belanda dengan portugis, maka pedagang belanda dengan di dukung oleh pemerintahnya membentuk kongsi dagang yang bernama VOC (vereenigde oost indische compagnie) pada tanggal 20 maret 1620. VOC adalah badan yang bersifat partikelir, dimana para pedagang belanda bergabung didalamnya.
Tujuan VOC di Indonesia, antara lain:
a. Menguasai pelabuhan-pelabuhan penting;
b. Menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia;
c. Melaksanakan monopoli perdagangan.
d. Menghindari persaingan yang tidak sehat sesama pedagang Belanda sehingga keuntungan dapat diperoleh secara maksimal.
e. Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan dengan bangsa Eropa ataupun bangsa Asia lainnya.
f. Membantu pemerintah Belanda yang sedang berjuang menghadapi Spanyol yang ingin menguasai wilayah Belanda.
Agar VOC dapat berkembang dengan baik,pemerintah memberikan hak octroi (istimewa), yaitu hak untuk dapat bertindak sebagai suatu Negara, hak-hak tersebut meliputi :
a. Hak monopoli perdagangan;
b. Hak untuk mencetak uang dan mengedarkan uang sendiri;
c. Hak menguasai dan mengikat perjanjian dengan kerajaan-kerajaan didaerah yang di kuasai;
d. Hak mengadakan pemerintahan sendiri;
e. Hak mengumumkan perjanjian dengan Negara lain;
f. Hak melaksananakan kekuasaan kehakiman;
g. Hak melakukan pemungutan pajak;
h. Hak memiliki angkatan perang sendiri.
Hak istimewa yang diberikan pemerintah Belanda menjadikan VOC sebagai pemerintah penjajah di Indonesia. Pada tahun 1605, VOC berhasil merampas daerah pertamanya di Indonesia, yaitu benteng milik Portugis di Ambon. Untuk memperlancar kegiatan monopolinya, VOC mengangkat seorang pemimpin dengan pangkat gubernur jenderal. Gubernur Jenderal VOC yang pertama adalah Pieter Both (1610–1614). Gubernur Jenderal VOC berada di pangkalan dagangVOC yang paling kuat, yaitu di Ambon . Namun, letak Ambon setelah beberapa waktu dirasakan kurang strategis sehingga VOC berkeinginan menguasai daerah lain untuk dijadikan pangkalan dagangnya paling kuat. Perhatian VOC ditujukan ke Jayakarta yang masuk wilayah Kerajaan Banten.
VOC di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1619 berhasil merebut Jayakarta. Orang-orang Banten yang berada di Jayakarta diusir. Kota Jayakarta dibakar pada tanggal 30 Mei 1619. J.P. Coen mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia sesuai dengan nama nenek moyang bangsa Belanda, bangsa Bataf. Batavia menjadi Markas Besar VOC.
Usaha VOC untuk menguasai perdagangan rempah-rempah makin mudah.VOC terus mengadakan perluasan wilayah kekuasaan. Pusat-pusat perdagangan penting di Nusantara berhasil dikuasai, antara lain Malaka (1641), Padang (1662), dan Makassar (1667). VOC juga menguasai daerah-daerah pedalaman,misalnya Mataram dan Banten yang banyak menghasilkan beras dan lada.
Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC dalam pelaksanaan monopoli
a. VOC menentukan luas areal penanaman rempah-rempah.
b. VOC menentukan jumlah tanaman rempah-rempah.
c. VOC melarang rakyat Maluku menjual rempah-rempahnya selain kepadanya
d. VOC mengadakan pelayaran yang disebut sebagai pelayaran hongi , yaitu penebangan tanaman yang melebihi produksi.
VOC melakukan ekstirpasi karena penduduk berusaha memperluas areal tanaman rempah-rempah. Akibatnya, terjadi hasil yang berlebihan (kelebihan produksi) sehingga harga rempah-rempah merosot. Untuk mencegah terjadinya berbagai pelanggaran terhadap peraturan dalammonopoli, VOC mengadakan patroli yang disebut pelayaran Hongi.
Patroli itu menggunakan perahu tradisional yang disebut kora-kora. Apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan monopoli, dapat segera ditindak oleh petugas patroli Hongi Patroli Hongi juga telah melakukan penebangan tanaman cengkihsecara besar-besaran di Maluku. Penebangan tanaman cengkih secara besar-besaran oleh Belanda melaluipatroli Hongi disebut Ekstirpasi, tujuannya untuk menjaga agar harga tanaman tetap stabil di pasaran dunia. Akibat peraturan dalam monopoli tersebut, rakyat Maluku menjadi tertekandan tertindas. Hal itu tentu saja menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyatMaluku terhadap VOC. Rakyat Maluku menaruh dendam terhadap VOCs ehingga sewaktu-waktu dapat berubah menjadi pemberontakan. Rakyat Maluku tidak takut terhadap ancaman hukuman dari VOC.
Dalam menumpas pemberontakan, VOC tidak segan-segan melakukan pembunuhan massal terhadap rakyat Maluku. Misalnya, padatahun 1621 VOC di bawah pimpinan J.P. Coen melakukan pembunuhan massal terhadap rakyat Maluku. Di Banda hampir 1.000 orang mati dibunuh VOC.Sistem monopoli dan pelaksanaan pelayaran Hongi yang dilakukan VOC meninggalkan penga-laman pahit dalam hati rakyat Maluku sehingga sulit dilupakan.
Puncak Kekuasaan VOC dan Keruntuhannya
Tahun 1755 & 1800 disebut sepi ordonansi voc yang memilah-milah masyarakat yang di kuasainya. Sedikit ordonansi yang di keluarkan pada masa ini justru di warnai dengan pembubaran kelompok-kelompok yang pernah di bentuk. Pembubaran itu sejalan dengan semakin nyatanya bentuk suatu gabungan baru, yaitu bumi putra (in landers), yang merupakan hasil pembauran anggota berbagai kelompok yang pernah di buat. Ke dalam gabungan ini masuk juga kelompok peranakan China, segera setelah di pilah dari golongan China totok. (dalam Christina M. Udiani. 2006: 64).
Pada tahun 1602 usaha mempersatukan para pedagang Belanda mulai terwujud dengan di bentuknya Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang terbentuk atas prakarsa dari Johan van Oldenbarneveld. Kerjasama pedagang-pedagang VOC ini di anggap penting karena alasan-alasan berikut:
1. Secara bersama-sama di perlukan adanya suatu kekuatan untuk menghadapi kekuasaan Spanyol dan Portugis. VOC dapat di pergunakan sebagai alat organisasi pemerintah Belanda dalam rangka menghadapi peperangan melawan ke dua bangsa tersebut, terutama Portugis.
2. Perjalanan yang jauh dan penuh resiko dalam pelayaran dapat di peringan dengan kerjasama di antara mereka. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa pada tahun-tahun pertama ekspedisi di laksanakan, seperenam dari kapal-kapal yang berangkat dari negeri Belanda tidak pernah kembali ke negeri Belanda. Banyak kapal-kapal yang nyasar ke perairan Australia.
3. Untuk dapat mempertahankan diri di Asia, maka mereka harus memegang monopoli perdagangan. Usaha untuk mencapai hal itu hanya akan berhasil apbila mereka memiliki kekuatan bersaing yang tinggi melalui persekutuan dagang.
Bagi para pendiri VOC (kebanyakan pendirinya adalah bekas anggota-anggota Compagnie van Verre), tujuan utamabergabungnya mereka dalam VOC adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu secepat-cepatnya. Di wilayah Indonesia, VOC harus berjuang melawan pedagang-pedagang Portugis dan Spanyol. Beberapa kantor dagang (factory) di gunakan juga sebagai benteng pertahanan, seperti misalnya yang ada di Banten dan Jakarta. Kantor-kantor dagang di lengkapi dengan kapal-kapal dagang yang akanmenuju ke Hindia (Dunia Timur) dan menjual barang-barang yang di terima dari dunia Timur. (dalam Maliha Aziz dan Asril, 2006: 26-29).
Sebagai kekuasaan dagang, VOC tidak bisa lagi menutupi parahnya keadaan keuangannya. Setelah pemegang anticipatie penningen panik pada 6 Februari 1781, pemerintah Belanda segera turun tangan. Pinjaman baru di berikan lewat penerbitan obligasi, sehingga VOC memiliki utang sebesar 55 juta gulden. Sementara itu, perang di Eropa makin meluas. Perancis bersekutu dengan Belanda melawan Inggris. Untuk keperluan dagang dan pertahanan di Nusantara, dari 1781 -1795 VOC terpaksa menambah utang dari 55 juta menjadi 137 juta gulden.
Williem V yang mengungsi ke Inggris memandang tidak masuk akal lagi mempertahankan VOC sebagaimana yang di kehendaki oleh beberapa pihak di Belanda. Maka berdasarkan pasal 249 UUD Republik Bataaf(Belanda) 17 Maret 1799, di bentuklah suatu badan untuk mengambil alih semua tanggug jawab atas milik dan utang VOC. Badan itu bernama Dewan Penyatuan Hak Milik Belanda di Asia (de Raad van Aziatische Bezittingen en Etabilisementen). Pengambil alihan itu resmi di umumkan di Batavia pada 8 Agustus 1799. Pada 31 Desember 1799, VOC resmi di nyatakan bangkrut dan seluruh miliknya berada di bawah kekuasaan Negara Belanda.
Dengan demikian, berakhirlah kejayaan suatu kekuasaan besar yang mirip Negara dari suatu perusahaan dagang. Dengan kekuasaan itu, telah di himpunnya di Batavia dan sekitarnya lebih daripada 40 kelompok masyarakat yang berasal dari Nusantara dan berbagai wilayah di dunia. Jumlahnya sekitar 128.000 jiwa, tetapi dari jumlah tersebut hanya sekitar 600 orang Eropa.
Menjelang akhir kekuasaannya, ke-40 kelompok itu di ciutkan praktis tinggal menjadi 3 kelompok saja (Eropa, China, dan Bumiputera). Dasar penciutan ini sebenarnya adalah prakarsa anggota semua kelompok untuk berbaur, dan yang sebenarnya merupakan reaksi terhadap kekuasaan VOC, baik sebagai perusahaan dagang maupun sebagai Negara. Dalam prakarsa untuk berbaur itulah tertanam akar-akar kebangsaan Indonesia. (dalam Christina M. Udiani. 2006: 64).
Kondisi Sosial Masyarakat Nusantara Pada Masa VOC
A. Penggolongan SosialPenggolongan Sosial merupakan pembedaan anggota masyarakat, golongan secara horizontal atas dasar perbedaan ras, jenis kelamin, agama, profesi, dsb. Pada masa colonial penggolongan masyarakat didasarkan pada perbedaan ras.
1. Golongan Eropa
Terdiri dari orang Belanda, Inggris, Amerika, Belgia, Swiss, dan Perancis.Golongan Eropa merupakan golongan pendatang yang sangat minoritas. Mereka memiliki kekuasaan yang besar di Indonesia. Status sosial mereka lebih tinggi dibandingkan dengan golongan-golongan lain yang ada. Mereka adalah para pemilik modal yang menanamkan modalnya di perusahaan perkebunan Indonesia. Perkawinan antara orang Eropa orang Indonesia disebut golongan Indo-Eropa.
2. Golongan Asia dan Timar Asing
Terdiri dari bangsa Cina, India, dan Arab. Mereka memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi dan istimewa daripada kaum pribumi. Status ekonomi merekapun tinggi sehingga membuat pemerintah Belanda memberikan banyak kemudahan bagi golongan tersebut dalam sektor perdagangan. Sebagai pedagang, mereka menguasai perdagangan eceran, tekstil, dan mesin elektronik. Perkawinan antara kaum Timur Asing dengan orang Indonesia disebut golongan Indo Timur Asing/ Peranakan.
3. Golongan Pibumi
Golongan Pribumi merupakan kelompok mayoritas dan merupakan pemilik negeri ini. Mereka merupakan penduduk asli Indonesia. Tetapi merupakan orang yang tertindas dan terjajah. Kedudukannya adalah yang paling rendah (lapisan terbawah) dan dibebankan banyak kewajiban tetapi hanya kurang diperhatikan.
B. Stratifikasi Sosial / Pelapisan SosialStratifikasi Sosial merupakan struktur sosial atau susunan masyarakat yang dibedakan ke dalam lapisan-lapisan secara bertingkat. Sebelum pemerintahan kolonial di Indonesia telah mengenal 4 lapisan masyarakat, yaitu:
1. Golongan Raja dan keluarganya
Golongan raja memiliki pengaruh yang sangat besar dalam masyarakat pada suatu wilayah. Hal ini disebabkan karena kkedudukannya ssebagai penguasa dalam suatu wilayah. Golongan ini sangat dihormati dan disegani oleh rakyatnya. Raja memerintah secara turun-temurun.
2. Golongan Elite
Golongan elite merupakan sekelompok masyarakat yang mempunyai kedudukan terkemuka di masyarakat maupun di lingkungan kerajaan. Terdiri dari golongan bangsawan, tentara, kaum keagamaan, serta golongan pedagang. Merreka memiliki kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya yang berbeda dengan masyarakat non elite. Mereka hidup seperti keluarga kerajaan yang dilengkapi dengan pegawai dan Hamba Sahaya.
3. Golongan Non Elite
Golongan non Elite merupakan gologan masyarakat kebanyakan dengan jumlahnya paling besar. Mereka memiliki berbagai keahlian seperti dalam bidang pertanian, pertukangan, pedagang kecil/kelontong sebagian besar mereka tinggal di desa. Sedangkan masyarakat non elite yang tinggal di kota adalah para seniman.
4. Golongan Hamba Sahaya
Golongan Hamba Sahaya merupakan masyarakat lapisan paling bawah. Mereka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang paling berat. Mereka dapat menjadi golongan Hamba Sahaya jika mereka tidak dapat membayar hutang, tawanan perang, serta mereka yang diperoleh dengan membeli (Budak Belian). Perlakuan terhadap mereka tergantung kepada orang yang menjadi majikannya mereka dapat membebaskan diri jika majikannya memberikan kebebasan padanya.
Adapun Sistem Pelapisan Sosial masa Pemerintahan Kolonial sebagai berikut:
1. Golongan Penjajah dan Terjajah
Golongan penjajah merupakan golongan bangsa asing yang menguasai Indonesia dan memiliki peran yang penting dalam menentukan arah kekuasaan dan jalannya pemerintahan. Mereka sekedar menjajah untuk mendapatkan keuntungan dan menghalalkan segala cara. Golongan terjajah merupakan golongan yang menjadi tempat penindasan dan pemerasan yang dilakukan oleh penjajah. Mereka yang mengalami penderitaan dan kesengsaraan akibat penindasan dan pemerasan selalu dialaminya.
2. Golongan Majikan dan Buruh
Golongan majikan terdiri dari para pengusaha swasta asing. Pemilik perusahaan. Golongan buruh terdiri dari masyarakat yang bekerja pada perusahaan-perusahaan. Dari perkebunan-perkebunan tersebut hanya kaum pemilik modal yang memperoleh keuntungan sedangkan kaum buruh memperoleh upah yang kecil.
C. Mobilitas Sosial Penduduk dan Perubahan Demografia)
Mobilitas sosial Mobilitas sosial merupakan gerakan masyarakat atau perpindahan penduduk atau masyarakat dari satu daerah ke daerah lain. Mobilitas sosial yang terbesar di Indonesia terjadi karena :
a. Pada masa tanam paksa orang melakukan mobilitas sosial untuk menghindari berbagai kewajiban yang harus mereka jalani seperti kewajiban kerja paksa dan tanam paksa. Mereka berpindah ke daerah-daerah yang tidak ada kewajiban tanam paksanya.
b. Pada masa tanam paksa mereka melakukan mobilitas penduduk juga untuk menghindari diri dari bahaya kelaparan dan kekeringan yang melanda desa mereka. Sehingga mereka pergi ke daerah yang tidak terkena kekeringan.
c. Berkembangnya perkebunan-perkebunan besar di Indonesia menyebabkan munculnya tuntutan akan pemenuhan tenaga kerja.
d. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja tersebut maka pemerintah melakukan mobilitas sosial yaitu dengan mendatangkan para pekerja dari daerah ke pusat-pusat perkebunan. Contohnya sejak tahun 1870 terjadi pengiriman buruh secara besar-besaran dari Jawa ke perkebunan di Sumatra Timur. Sehingga banyak penduduk Pulau Jawa yang bekerja ke luar Jawa.
e. Para pekerja Indonesia dibayar dengan harga murah sehingga para pengusaha perkebunan bersedia mengikat mereka dengan Koeli Ordonatie (kuli kontrak) yang disertai denagn Poenale Sanctie(ancaman hukuman bagi yang tidak mau bekerja dan meninggalkan perkebunan), ini merupakan kebijakan dari pemerintah.
f. Mobilitas sosial terjadi juga karena lahan-lahan pertanian di desa digunakan untuk industri dan perkebunan besar sehingga penduduk yang awalnya bekerja sebagai petani beralih profesi menjadi buruh. Mereka meninggalkan desanya menuju ke tempat-tempat industri.
g. Munculnya kota-kota baru yang mendukung berbagai aktivitas masyarakat memungkinkan berbagai sarana prasarana ada di kota tersebut sehingga masyarakat pergi kekota untuk memenuhi kebutuhan mereka. Seperti kebutuhan akan pendidikan yang hanya ada di kota.
h. Banyaknya orang Indonesia yang mengenyam pendidikan pada akhirnya memunculkan golongan cendekiawan yang bekerja pada kantor-kantor milik pemerintah yang letaknya di kota. Hal ini menyebabkan mereka meninggalkan desa untuk bekerja menjadi pejabat di kota.
Hal-hal yang mempercepat terjadinya mobilitas sosial adalah sebagai berikut :
1. Dibangunnya jaringan infrastruktur seperti jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan, kapal, kereta apai,dsb. Semua itu ditujukan untuk menunjang kegiatan perkebunan, pengangkutan barang, serta tenaga kerja dari satu tempat ke tempat yang lain.
2. Munculnya kota-kota baru yang lahir sebagai dampak munculnya kota-kota perkebunan. Kota-kota dipesisr contohnya: Tuban, Gresik,Batavia, Surabaya, Semarang, Banten, dsb. Kota-kota di Pedalaman, seperti Bandung, Malang, Sukabumi.
3. Munculnya kebangkitan Nasional Indonesia dan lahirnya kesadaran kebangsaan dan bernegara di kalangan penduduk menimbulkan mobilitas sosial penduduk sebagai upaya untuk melakukan perlawanan menentang penjajahan.
b) Perubahan Demografi
Perubahan Demografi merupakan perkembangan perubahan jumlah penduduk. Pola kependudukan di Indonesia mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan ekonomi di Indonesia. Pola kependudukan tersebut mengikuti pola kependudukan modern. Hal ini terliaht dengan:
a. Lahirnya desa-desa dan kota-kota modern menggantikan ibu kota kerajaan sebagai pusat aktivitas masyarakat Indonesia.
b. Kota-kota baru yang muncul merupakan pusat pemerintahan, kantor-kantor dagang, dan pusat-pusat perkebunan.
c. Desa merupakan daerah pertanian yang mendukung aktivitas di daerah perkotaan.
d. Hubungan desa dan kota pada masa Belanda merupakan hubungan yang berdasarkan kepentingan ekonomi. Pejabat pemerintahan merupakan kaki tangan Belanda dalam memperlancar urusan perdagangan.
Masalah kependudukan selalu berkaitan dengan masalah tanah serta perubahan fungsinya. Hal ini terlihat pada: Masa Tanam Paksa, perubahan tampak dengan tanah-tanah yang semula adalah milik rakyat selanjutnya menjadi tanah perkebunan milik pemerintah dengan ditanami tanaman yang laku dipasaran Eropa. Tanah-tanah tersebut harus dikerjakan secara paksa oleh rakyat sehingga tentu saja menimbulkan penderitaan bagi rakyat.
Masa Liberalisme, tanah-tanah milik penduduk dijadikan perkebunan-perkebunan besar yang ditanami tanaman yang menguntungkan, seperti gula, tembakau. Tanah milik petani menjadi objek kapitalisme, seiring munculnya perkebunan-perkebunan swasta asing. Perkebunan tersebut kemudian dijadikan tempat/tujuan untuk bekerja dan mendapatkan upah sehingga muncul mobilitas penduduk yang akhirnya memunculkan lahirnya kota-kota baru sebagai tempat perkembangan perekonomian penduduk.
D. Kedudukan dan Peran Perempuan
Berkembangnya pendidikan di Indonesia mampu merubah keadaan bangsa Indonesia demikian pula dengan kondisi kaum perempuan pada masa itu. Perempuan Indonesia pada zaman dulu memiliki peran:
a. Hanya sebagai ibu rumah tangga, ibu untuk anak-anak mereka dan istri serta pelayan suami.
b. Kaum perempuan Indonesia dibelenggu oleh aturan-aturan tradisi dan adat yang membatasi perannya dalam kehidupan masyarakat.
c. Mereka tidak boleh mengenyam pendidikan, pendidikan yang boleh mereka peroleh terbatas pada usaha untuk persiapan menjadi ibu rumah tangga.
d. Mereka hanya dapat pasrah menunggu serta menerima apa yang ditentukan oleh adat yang
e. didominasi oleh kaum laki-laki.
f. Mereka tidak boleh menentukan jodohnya sebab jodoh telah ditentukan oleh orang tuanya.
Kedudukan perempuan zaman dulu:
a. Perempuan selalu dipandang rendah, dianggap tidak berguna apa-apa.
b. Kedudukannya dipandang dibawah laki-laki sehingga perempuan selalu diperlakukan kurang sopan.
c. Perempuan tidak mempunyai hak tetapi mempunyai banyak sekali kewajiban.
d. Perempuan adalah kaum yang terbelakang, tidak perlu diperhitungkan.
Masuknya budaya barat dengan kemodernisasiannya mampu membukakan pikiran bagi kaum wanita Indonesia yang dipelopori oleh R.A Kartini (21 April1879–13 September1904). Ia sadar bahwa perempuan pribumi terlalu terikat dengan tradisi dan adat istiadat. Perempuan selalu terbelakang dan terlalu berpandangan sempit. Kartini ingin menampilkan sebuah perubahan bagi kaum perempuan Indonesia. Karena pergaulannya ketika sekolah di E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar dan ilmu yang dia peroleh selama sekolah maka Kartini berkeinginan untuk mengangkat kedudukan kaumnya. Ia mulai mendirikan sekolah khusus perempuan di kota Jepara dan di Rembang (tempat tinggal suaminya, Raden Adipati Joyodiningrat). Kartini sendiri yang menjadi guru disekolah tersebut. Apa yang dilakukan Kartini tersebut akhirnya diikuti oleh teman-temannya yang mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Perkembangan pendidikan untuk kaum wanita semakin berkembang dengan diberlakukannya Politik Etis oleh pemerintah Belanda (1900-1922).
Sumber
Aziz, Maliha dan Asril. 2006. Sejarah Indonesia III. Pekanbaru : Cendekia Insani
Udiani, Christina M. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta : Kompas
Prawoto, 2006. Seri IPS Sejarah 1. Yogyakarta: yudhistira
http://mustaqimzone.wordpress.com/2010/02/07/perubahan-ekonomi-sosial-dan-budaya- masyarakat-indonesia-sebagai-dampak-kekuasaan-bangsa-bangsa-eropa-di-indonesia/