A. Pendahuluan
Gagalnya kudeta 1965 didalangi oleh Partai Komunis Indonesia yang didalangi oleh DN. Aidit, melahirkan kekuatan politik baru yang dikomandoi oleh Jenderal Soeharto dengan lahirnya apa yang disebut dalam sejarah sebagai Orde Baru. Rezim baru yang militeristik berjanji akan melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.Buku ini berisikan tentang Bagaimana Soeharto menghadapi berbagai tantangan dan konflik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) selama periode 1975-1982 dan perdebatan yang berkembang menyangkut keterlibatan ABRI dihampir seluruh kehidupan masyarakat.
Jenderal-Jenderal “inti” elit terdiri dari sekitar selusin Jenderal, baik perwira yang masih aktif maupun perwira yang menduduki jabatan penting dalam pemerintahan. Setiap anggota “kelompok inti” mempunyai pengikut dalam elit politik, baik militer atau sipil yang juga diberi kesempatan luas untuk mengumpulkan kekayaan pribadi. Banyak anggota angkatan ’45 menduduki jabatan yang cukup penting dan menikmati kekayaan yang dibagi-bagikan kepada semua pendukung rezim Soeharto.
Namun sudah tentu tidak semua pejuang kemerdekaan dari Angkatan ’45 bisa menjadi anggota elit politik apalagi masuk dalam “ kelompok inti”. Semakin lama semakin banyak perwira ABRI maupun politikus sipil menjadi kekecewaan dalam rezim Soeharto, karena semua jabatan politik penting dimonopoli oleh orang dekat secara pribadi dengan Presiden. Para Jenderal yang kurang puas sering dijuluki “Barisan Sakit Hati”. Diantara mereka mungkin iri hati karena merasa lebih berjasa daripada sebagian “kelompok inti” atau belum mendapat imbalan materi yang diharapkan.
B. Pembahasan
Bab-bab awal pada buku ini membahas tentang penggambaran sosok Soeharto sebagai Jenderal angkatan darat yang mampu menduduki puncak kekuasaan di Indonesia pasca lengsernya Sekarno, sejak tahun 1965-an Soeharto menghabiskan waktu dan tenaganya untuk memperluas dan memperthankan basis kekuasaannya. Dekade 1980-an Soeharto bahkan melebihi seorang primus inter peres (Orang yang paling unggul diantara lainnya).
Pola kepemimpinan Soeharto mengadopsi dari tata pemerintahan Jawa. Yang mana menggambarkan pemikiran Jawa secara implisit mengabdikan pendekatan hierarki, karena hierarki mengandung arti suatu derajat otonom pada berbagai tingkatan, sedang secara ideal yang diperlukan suatu sumber kekuatan dan otoritas tunggal yang mudah tersebar. Inti dari pemerintahan tradisional ialah sang penguasa yang mencerminkan personifikasi kesatuan masyarakat. Merupakan kerucut cahaya yang memancar ke bawah lewat lampu reflektor.
Dengan kekuasaan yang begitu besar, Soeharto harus mencari konsensus dalam banyak hal, melakukan pertemuan panjang dengan para pemimpin dari berbagai kelompok sosial dan politik serta sedapat mungkin mereka menerima kehendaknya. Tentu dengan imbalan dan ganjaran setimpal.
Pada bab pertengahan buku ini memaparkan tentang geliat konflik diantara para perwira militer. Konflik tersebut dipicu banyak hal diantara lingkaran inti dalam itu sendiri, maupun dengan lingkaran luar banyak di sebabkan oleh dua hal besar. Pemerintah Soeharto dinilai sudah banyak menyimpang dari cita-cita awal kemerdekaan, berikutnya adalah Jenderal-Jenderal sakit hati yang disingkirkan atau belum mendapat imbalan baik jabatan atau materi dari Soeharto, tidak lebih baik ketika mereka masih aktif atau menjabat diposisi-posisi kunci ABRI. Bahkan banyak Jenderal atau mantan Jenderal pengkritik Soeharto menjadi diam ketika diberi posisi atau jabatan di pemerintahan.
Jika kritik-kritik mereka dianalisis, baik yang bersifat pribadi maupun publik, apa yang disampaikan oleh perwira “sakit hati” menunjukkan ketidakpuasan terhadap situasi, terutama menyangkut tiga hal; yakni pertama dan yang paling utama adalah para perwira tersebut sama-sama merasakan bahwa dibawah Soeharto, peran ABRI dalam politik, sosial, dan ekonomi telah meluas melampaui batas yang dapat diterima. Peran ABRI dalam politik dibangun dengan pilar diluar konstitusi.
Masalah kedua yang menjadi keprihatinan mereka adalah meningkatnya dan juga ketidakacuhan korupsi dibaeah pemerintahan Soeharto. Masalah ketiga, banyak diantara perwira tersebut merasa para Jenderal Jawa abangan dan Kristen disekeliling Soeharto berpandangan terlalu sempit dan represif terhadap Islam pada umumnya dan Islam politis pada khususnya.
C. Kesimpulan
Masa pemerintahan Soeharto sangat menuai pro dan kontra dari yang lain. Salah satunya dari angkatan ’45 yang menuai pro terhadap masa pemerintahan Soeharto, karena Soeharto dinilai tidak adil terhadap mereka. Mereka banyak yang tidak diberi jabatan dalam politik pada masa pemerintahan Soeharto, dan dari situlah mereka dijuluki dengan barisan sakit hati. Yang mana barisan itu terdiri dari para perwira-perwira pada angkatan ’45 yang tidak diberi imbalan dari Soeharto atau sudah tidak diberi kepercayaan lagi oleh Soeharto untuk menduduki bangku politik oleh Soeharto.