Goa Gajah merupakan salah satu destinasi wisata sejarah yang terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu, Kabupaten Gianyar. Jarak dari Denpasar menuju Goa Gajah adalah 27 Km. Pengambilan kata Goa Gajah diambil dari kata Lwa Gajah yang berarti sungai gajah yang dapat diartikan bahwa tempat tersebut adalah tempat pertapaan yang berada di sungai. Nama Goa Gajah sendiri diambil dari kitab negarakertagama karangan Empu Prapanca pada tahun 1365 M. Goa Gajah dibangun sekitar abad ke 11 M ketika masa pemerintahan raja Sri Bedulu yang pada saat itu pula bersamaan dengan masa kejayaan Majapahit yang dipimpin oleh Hayam Wuruk.
Goa Gajah ditemukan oleh L.C. Heyting pada 1923, pada saat awal penemuan Heyting menemukan Arca Ganesha, Patung Tri Langga, dan juga Patung Hariti. Selanjutnya dilakukan tindak lanjut penelitian oleh Dr.W.F. Stutterhiem pada 1925 dan juga pada 1950 dilakukan penelitian lanjut oleh pihak Indonesia yaitu dari situs arkeologi Indonesia pada 1954 sampai 1979 yang menghasilkan ditemukannya sebuah kolam kecil yang sekarang berada di depan mulut Goa dengan enam patung perempuan beserta pancurannya. Air yang mengalir dari pancuran tersebut dipercaya pengunjung yang datang ke situ bisa mempermuda usia.
Di dalam Goa Gajah sendiri terdapat lorong dengan lampu redup menyinari lorong. Lorong di goa ini sendiri berbentuk T jadi terdapat cabang ke kiri dan ke kanan. Di dalam lorong sebelah kiri sendiri terdapat 3 buah lingga dan di sebelah kanan terdapat patung Ganesha.
Di muka Goa Gajah sendiri di pintu terdapat kalamakara yang sangat besar yang umumnya ditemukan di pintu- pintu candi. Di depan kala makara di kiri dan kanan juga terdapat dwarapala yang menjaga Goa Gajah.
Goa Gajah sebagai sebuah Living Monument secara administratif termasuk dalam wilayah Banjar atau Dusun Goa, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Secara astronomis berada pada 8° 31’ 39” LS dan 115° 17’ 19” BT, terletak di tebing kiri sungai Petanu dengan ketinggian 185 meter di atas permukaan air laut. Suhu udara di situs ini berkisar antara 25° C samapai 30° C dengan curah hujan tiap tahun mencapai 3500 mm. (Papan Informasi Goa Gajah).
Pintu masuk Goa Gajah berada di sisi selatan goa. Yang pertama kali dilewati adalah sebuah anak tangga yang menurun. Setelah melewati anak tangga, tepat di samping kanan ada reruntuhan stupa dan di sebelah kiri ada kolam petirtaan dengan 6 buah arca pancuran. Di samping kolam petirtaan atau lebih tepatnya di sebelah utara petirtaan adalah bagian komplek Goa Gajah, yang dipahatkan dalam bagian tebing yang menjorok keluar. Goa Gajah masuk ke dalam sejauh 9 meter menuju arah utara tepat dibawah jalan antara Desa Teges dan Desa Bedulu yang membentang dari barat ke timur.
Selain petirtaan dan goa, di situs Goa Gajah ada juga peninggalan purbakala pada reruntuhan tebing di sebelah tenggara yang diidentifikasikan sebagai komplek Tukad Pangkung. Untuk memudahkan pengunjung di kompleks ini telah dibuat pula tangga dari beton dan jembatan yang melintasi tukad pangkung. Dari jembatan itu dibuat tangga untuk mencapai sebuah fragmen Arca Buddha yang terletak pada bagian tebing yang lebih tinggi. Sebelum melintasi jembatan terdapat tangga untuk melihat fragmen-fragmen berukir lainnya dan sebuah ceruk pertapaan.
Secara keseluruhan struktur pura Goa Gajah berbeda dengan pura lainnya di Bali, yang pada umumnya terdiri atas Jaba atau halaman luar, Jaba Tengah atau halaman tengah dan Jeroan atau halaman belakang yang menjadi tempat paling suci dalam suatu pura. (Papan Informasi Goa Gajah).
Berdasarkan pada studi ikonografi yang dilakukan pada arca Trilingga; Ganesha; Arca Pancuran; Arca Ganesha; serta petirtaan, dapat diperkirakan bahwa Goa Gajah telah berdiri pada abad ke-11 Masehi, yaitu pada masa pemerintahan Anak Wungsu. Namun jika menilik pada peninggalan yang bersifat Buddhisme yang terdapat di Goa Gajah, yaitu Arca Dyani Buddha Amitaba yang menurut langgamnya banyak menunjukan persamaan dengan Arca Dyani Buddha pada candi Borobudur yaitu dari pertengahan abad ke-9 masehi, maka dapat disimpulkan bahwa kemungkinan Goa Gajah telah berdiri jauh sebelum masa pemerintahan Anak Wungsu dengan embrio awalnya sebagai tempat ibadah agama Buddha dan baru pada abad ke-11 Masehi agama Hindu turut membangun kompleks peribadatan di tempat ini.
Bali sebagai salah satu destinasi wisata utama Indonesia, memiliki banyak daya tarik dalam segala aspek, mulai dari sosial; ekonomi; budaya; sejarah; agama; dan lain sebagainya. Maka Goa Gajah memiliki nilai ekonomi dan budaya yang tinggi. Dalam bidang ekonomi Goa Gajah selain merupakan salah satu unggulan pariwisata di Desa Bedulu disamping tari dan pertunjukan seni lukis, juga merupakan sebuah situs yang memiliki nilai keagamaan yang tinggi. Jika Bali hanya dikenal sebagai pulau tempat warisan agama Hindu dan Islam, maka dari Goa Gajah akan menunjukan bahwa Bali juga memiliki warisan dari agama Buddha. Selain itu dari prespektif sejarah, Goa Gajah merupakan situs yang dapat menerangkan proses Hinduisasi awal di Bali dan juga dapat dijadikan sebagai bukti nyata akan keberadaan sebuah kerajaan tertua di Bali, yaitu Kerajaan Bali atau yang lebih terkenal dengan nama Kerjaan Bedahulu.
Dalam bidang budaya Goa Gajah merupakan sebuah warisan kebudayaan dari dua agama sekaligus yang selain bisa membuat kita belajar tentang fungsi sebuah tempat peribadatan untuk agama Hindu dan Buddha sekaligus belajar nilai-nilai toleransi di antara keduanya, tetapi kita juga bisa belajar tentang arca-arca kuno baik sebagai sebuah seni maupun sebagai sebuah bukti dari hubungan mesra antara Jawa dan Bali di masa lalu.
Fungsi Goa Gajah bagi Agama Hindu
Goa Gajah merupakan tempat suci sebagai pusat kegiatan agama Hindu dan Buddha pada masa pemerintahan dinasti Warmadewa dari abad X-XIV masehi (400 tahun). Status situs Goa Gajah sekarang merupakan living monument berfungsi sebagai tempat kegiatan keagamaan / pura. Sebagai tempat peribadahan Goa Gajah dilengkapi dengan pura-pura yang ada disebelah Barat Goa dan dilengkapi dengan patung Ganesha dan Trilingga.
Selain itu juga Goa Gajah ini digunakan para pendeta Agama Hindhu sebagai tempat pertapaan atau bersemedi. Tempat pertapaan Goa Gajah diyakini merupakan bentuk tiruan dari pertapaan Kunjarakunja yang ada di India Selatan, maka relief yang dipahatkan pada pertapaan Goa Gajah adalah pahatan-pahatan alam pegunungan.
Sebagai tempat pertapaan, Goa Gajah dilengkapi dengan 15 ceruk yang berfungsi sebagai tempat bertapa oleh para pendeta agama Hindhu. Ceruk ini memilki ukuran yang berbeda, ceruk yang berukuran besar berjumlah empat dan ceruk yang berukuran kecil berjumlah 11 buah.
Agama Hindu di Goa Gajah
Agama Hindhu ( Sanskerta : Sanata Dharma “Kebenaran Abadi” ) dan Vaida Dharma ( Pengetahuan Kebenaran ) adalah sebuah agama atau kepercayaan yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama Hindhu berpangkal dan berkembang dari alam pikiran yang bersumber dari kitab Weda dan Brahmana menimbulkan zaman Upanishad, terdapat perubahan arah dan tujuan sehngga menjurus kearah filsafat ( Asmito, 1988 hal : 73 ). Weda merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala ajaran Agama Hindhu. Weda berarti “pengetahuan”, berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata vid yang berarti “tahu”.
Dalam Hinduisme diajarakan bahwa hidup di dunia ini merupakan kesengsaraan atau samsara akibat dari perbuatan yang kurang baik dari masa sebelumnya. Manusia akan dilahirkan kembali atau reinkarnasi dan memperoleh kedudukan atau kasta, namun semua itu tergantung kepada bagaimana mereka menjalani kehidupan di dunia. kitab suci agama Hindu adalah Veda yang terdiri dari empat kitab, yaitu Rig Weda, berisi 1028/sukta atau mantera-mantera dalam bentuk nyanyian digunakan untuk mengundang para dewa agar hadir pada upacara-upacara korban yang dipersembahkan kepada mereka (dewa-dewa); Sama Weda, hampir sama dengan Rig Weda, hanya diberi “sama” atau lagu; Yayur Weda, berisi yayur atau rapal. Rapal tersebut dipakai untuk mengubah korban menjadi makanan para dewa. Singkatnya, berisi tentang du’a-du’a untuk pengantar saji-saji yang dipersembahkan kepada dewa-dewa dengan diiringi pengajian Rigweda dan nyanyian samaweda; dan Atharawa weda, berisi mantera-mantera khusus untuk menyembuhkan orang sakit, mengusir roh jahat, pengikat cinta, menghancurkan musuh dan sebagiannya (Agus Hakim, 2006: 132).
Hubungan antara Nusantara dengan India sebernarnya sudah jauh berkembang sebelum proses Hindunisasi itu sendiri terjadi. Dalam kitab Periplopus terdapat uraian yang menerangkan bahwa ada kapal-kapal Colandia yang bertolak ke Chryse, Negara emas yang mungkin mengacu kepada Sumatera. Beberapa orang peneliti berpendapat bahwa Colandia adalah K’un-lun, sebutan dalam tambo Cina untuk bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Bukti lain yang menerangkan tetang hubungan awal Nusantara dengan India sering disebut-sebut para ahli lewat kitab Jataka. Dalam kitab Jataka disebutkan tentang kisah hidup sang Buddha dan Suvarnabhumi yang menurut S. Levi adalah sebuah negeri di sebelah timur teluk Benggala. Kitab lainnya sering dijadikan sumber adalah kitab Ramayana yang menyebutkan nama Yawadwipa yang identik dengan Jawa pada saat ini. Bahkan dalam kitab Ramayana disebutkan pula tentang Suwarnadwipa yang pada masa-masa selanjutnya sering digunakan untuk menyebut Sumatera.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia diperkirakan terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi dengan diketemukannya tujuh buah prasasti yang berbentuk Yupa, yang merupakan peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari ketuju Yupa tersebut tiga diantaranya dapat terbaca sementar itu empat lainya tidak bisa dibaca, dari keterangan Yupa tersebut dapat diketahui bahwa raja Mulawarwan memuja Dewa Siwa disuatu tempat yang disebut “Vaprakeswara”.
Selain di Kutai (Kalimantan Timur), Agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 Masehi dengan ditemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa. Dari prasasti-prasati itu didapatkan keteranan bahwa raja Tarumanegara yang bernama Punawarman memeluk Agama Hindhu, beliau adlah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki dewa Wisnu. Bukti lain yang ditemukan di Jawa barat adalah ditemukanya perunggu di Cebuya yang menggunkan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa kerajaan Tarumanegara, berdasarkan data tersebut maka jelaslah bahwa Raja Punawarman adalah penganut Agama Hindhu dengan memuja Trimurti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa.
Selanjutnya Agama Hindhu berkembang di Jawa Tengah, yang dibuktikan dengan adanya prasasti Tukmas dilereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa Sanskerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasati Punawarman. Prasasti ini menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.
Dalam tahap berikutnya Agama Hindhu juga berkembang di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya dekat kota Malang dengan menggunakan bahasa Sanskerta dan huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Pengaruh Hindhu terbesar di pulau Jawa adlah dengan munculnya kerajaan Majapahit. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang dan perkembangan Agama Hindhu. Hal ini dapat dibutikan dengan berdinya candi Penataran.
Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Sejarah dan perkembangan Agama Hindhu di Bali tidak terlepas dengan perkembangn Agama Hindhu di Indonesia utamnya di Jawa. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8 Masehi. Ardika (Nengah Bawa Atmaja, 2010) menunjukan, bahwa pada awal abad masehi Bali telah berhubungan dagang dengan India, yang mengakibatkan secara perlahan-lahan pengaruh Hindu masuk ke Bali. Bersamaan dengan itu mengenal budaya tulisan. Gejala ini dapat dicermati dari adanya kenyataan, bahwa pada abad ke-8 Masehi, ditemukan stupika-stupika dan materai-materai tanah liat yang bertuliskan mantra-mantra agama Buddha di Pejeng yang dikenal dengan “Ye Te Mantra”, dan diperkirakan beasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu meyebutkan kata “Sivas….ddh…”, yang oleh para ahli, trutama Dr. R Goris menduka kata yang hampir pudar itu kemungkinan berbunyai : “Siva Siddhanta”. Dengan demikian pada abad 8 Masehi, paksa ( Sampradaya atau sekte ) Siwa Siddhanta sudah berkembang di Bali. Penemuan ini sangat penting, karena memberi petunjuk, bahwa agama Buddha lebih awal masuk ke Bali, lalu di susul oleh agama Hindu. Temuan ini memiliki pula arti penting, yakni Tradisi lisan menunjukan, Bali sebagai sebuah pulau yang dekat dengan Jawa, memiliki hubungan yang cukup panjang, baik dalam ekonomi perdagangan maupun dalam politik. Hubungan antara Bali dan Jawa terus terjalin dengan baik selama berabad-abad. Hal ini ditandai dengan kedatangan Rsi Markandeya beserta anak buahnya dari Gunung Raung ke Bali, sekitar abad ke-8 Masehi.
Bukti-bukti lain yang menyatakan bahwa Hindhu masuk di Bali sekitar abad ke-8 Masehi adalah ditemukanya arca Siwa di pura Bhatara desa Bedahulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8 Masehi, yang menurut Stutterheim tergolong berasal pada periode seni arca Hindhu Bali.
Goris menilai hubungan antara Bali dan Jawa semakin erat pada saat pemerintahan Erlangga di Jawa Timur pada abad ke-11. Pada masa itu, Bali berada dibawah pemerintahan raja Udayana. Raja ini kawin dengan Mahendradata, keturunan dari Mpu Sindok di Jawa Timur. Pasangan suami istri ini menaruh perhatian besar terhadap agama Hindu. Gejala ini ditandai oleh kebijakan raja Udayana mendatangkan cultur hero ke Bali, Yakni Mpu Kuturan. Mpu Kuturan merupakan cultur hero kedua, setelah Rsi Markandeya. Mpu Kuturan sangat berjasa dalam menyatukan sembilan sekte di Bali (Siwa Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Wesnawa, Sogata, Brahmana, Rsi, Sora, dan Ganapatya) menjadi pemuja Tri Murti. Penyatuan ini amat dibutuhkan, karena perbedaan sekte bisa menimbulkan konflik.
Bersamaan dengan itu Mpu Kuturan menata pula desa Pakraman di Bali, yakni dilengkapi dengan Tri Kahyangan Desa, berwujud tiga pura untuk memuja Tri Murti-Brahma, Wisnu, dan Siwa (Surasmi, 2007). Hal ini amat penting tidak saja untuk memuja Tri Murti sebagai bentuk pengakomodasian sembilan sekte, tetapi terkait pula dengan penguatan solidaritas warga desa Pakraman, dalam konteks ini Tri Kahayangan Desa yang terdiri dari Pura Puseh, Desa (Bale Agung), dan Dalem, selain berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Tri Murti, berfungsi pula sebagai arena bagi pemupukan, perawatan, dan penumbuhkembangan solidaritas sosial antara lain lewat ritual. Berkenan dengan itu wajar jika Mpu Kuturan dianggap sebagai cultur hero dalam mengembangkan agama Hindu dengan menggunakan desa Pakraman sebagai basisnya.
Di Bali agama Hindhu mulai menyebar diberbagai daerah, termasuk di desa Bedahulu yang merupakan tempat dibangunnya Goa Gajah. Hindhu masuk di wilyah ini diperkirakan abad 8 Masehi. Hal itu dapat didasarkan pada bukti ditemukannya arca Siwa di Pura Putra Bhatara Desa di Bedahulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siwa di Candi Dieng. Pertumbuhan Hindhu dan Buddha semakin berkembang pesat disekitar Goa Gajah terjadi pada abad ke 9-10 Masehi, ketika pemerintahan raja Dharma Udayana Warmadewa yang beragama Hindhu Siwa istrinya yang bernama Gunapriyadharmapatni yang beragama Buddha.
Sementara itu Drs R. Soekmono dalam ( Soekmono , 1956 : 45 ) menyatakan bahwa Goa Gajah dibangun sekitar abad ke-11 Masehi. Hal itu didasarkan pada tulisan pada dinding sebelah timur pintu masuk yang berbunyi “kumon” dan “sahy (w) angca”, diperkirakan tulisan ini berkembang sekitar abad 11 Masehi.
Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah.
Wujud dan Ajaran Agama Hindu di Goa Gajah
Sebenarnya apabila kita mengkaji mengenai perwujudan serta ajaran Agama Hindhu di Goa Gajah sebenarnya sama dengan ajaran Hindhu yang ada di Hindia. Namun, setidaknya ada sedikit perbedaan¬-perbedaan, ajaran Hindhu di Goa Gajah lebih banyak mengedepankan wujud praktek keagamaan seperti: melakukan sembahyang, memberikan sesaji, melakukan upacara-upacara tertentu dibandingkan harus mempelajari Weda secara mendalam, karena mereka mempercayai hanya para pendeta yang berkewajiban untuk mempelajarinya.
Sama layaknya dengan umat Hindhu yang lain, umat Hindhu di Goa Gajah juga mempercayai dengan adanya lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan istilah Pancasradha. Pancasradha adalah keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:
- Widhi Tattwa, adalah percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya.
- Atma Tattwa, adalah percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk.
- Karmaphala Tattwa, adalah percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan.
- Punarbhava Tattwa adalah, percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi).
- Moksa Tattwa adalah, mempercayai kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia.
Berkaitan dengan sistem kasta masyarakat Hindhu di Goa Gajah mempercayai dengan sistem catur warna. Dalam ajaran Catur Warna, masyarakat dibagi menjadi empat golongan, yaitu :
- Brāhmana : golongan para pendeta, orang suci, pemuka agama dan rohaniwan.
- Ksatria : golongan para raja, adipati, menteri, serta pejabat negara.
- Waisya : golongan para pekerja di bidang ekonomi.
- Sudra : golongan para pembantu.
Menurut ajaran catur Warna, status seseorang dalam agama hindu didapat sesuai dengan pekerjaannya. Jadi, kasta seseorang didapatkan ketika ia menekuni suatu pekerjaan atau ahli dalam suatu bidang tertentu bukan tidak didapat semenjak dia lahir. Catur Warna memfokuskan seseorang agar melaksanakan hal hal yang dianggap wajib bagi orang tersebut dengan sebaik-baiknya. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling bersinergi satu sama lain agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam Catur Warna terjadi siklus “memberi dan diberi” apabila keempat golongan saling memenuhi hak – hak kewajiban tiap kasta.
Namun dalam masyarakat Hindhu yang ada di Goa Gajah Sistem catur warna ini kurang tersebut diterapkan dalam kehidupan umatnya di sekitar Goa Gajah. Catur warna ini hanya dipakai untuk pemakaian nama saja, namun kedudukan seseorang dalam kehidupan sosial dan derajatnya tidak ditentukan dari sistem ini.
Dr. R. Gors menyatakan bahwa dalam pembagian sekte, agama Hindhu mengenal adanya 9 sekte yaitu : Siva Siddhanta, Siva Pasupata, Vaisnava, Bhairava, Bodha ( Soghata ), Brahmana, Rsi, Sora ( Surya ) dan Ganapatya. namun di daerah Goa Gajah sekte yang paling dominan ada dua yaitu Hindhu sekte Siwa Sidhanta dan Hindhu sekte Siwa Pasupata. Ajaran Hindu sekte Siwa Pasupata menekankan pada arah ajaran agama ke dalam diri sendiri atau hati nurani ( Niwrti Marga ). Sedangkan Ajaran Hindhu sekte Siwa Sidhanta menekankan pada arah ajaran agama ke luar ( Prawrti Marga ).
Di Pura Goa Gajah, kedua sekte agama Hindhu itu dapat hidup berkelanjutan dan umat tidak dipaksa harus ikut ini atau itu. Umat diberi hak sepenuhnya untuk memilihnya atau memadukan semua cara tersebut. Penganut Siwa Siddhanta tidak menyebut penganut Siwa Pasupata sebagai penganut sesat. Pada dasarnya umat kedua sekte tersebut substansi ajaran agama Hindu kedua sekte tersebut yaitu berdasarkan dari kitab Weda. Demikian juga sebaliknya yang menganut Siwa Pasupata tidak menganggap penganut Siwa Siddanta sebagai orang lain. Ini dapat diartikan bahwa umat Hindu pada zaman dahulu itu sangat menghormati privasi beragama anatar individu sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi.
Peninggalan Hindu Goa Gajah beserta Fungsinya
Setiap Agama dan kebudayaan yang masuk kesuatu wilayah tentunya meninggalkan beberapa peninggalan, baik yang berupa bangunan fisik, budaya, tradisi dan lain sebagainya. Sejalan dengan hal tersebut Penyebaran Agama Hindhu di Goa Gajah meninggalkan beberapa peningglan yang bercorak Agama Hindu dan dapat kita lihat sampai saat ini, seperti :
a. Bhoma
Bhoma di Goa Gajah terletak didepan pintu Goa Gajah. Bhoma ini merupakan gambaran relif yang terdapat pada depan pintu Goa gajah. Dalam ajran Hindhu, Bhoma merupakan putra dari dewa Wisnu dan Dewi Basundari atau Ibu pertiwi. Karenanya Bhoma ini seperti perpaduan antara air dan bumi yang diwakili oleh orang tuanya. Hasilnya adalah pertumbuhan tanaman dalam bahasa sanskerta, Bhoma berarti kelahiran bumi dan merujuk pada pepohonan dan kehidupan. Kepala Bhoma ini dikililingi oleh relif batu-batu, tumbuhan dan makhuk hidup yang menggambarkan hutan. Bhoma muncul kembali di pintu gerbang pura kori agung, pintu gerbang kori agung adalah simbol dari gunung suci, gunung Mahameru yang puncaknya merupakan tempat dewa-dewa. ( Gambar 3.3 ).
b. Trilingga
Untuk melihat peninggalan Hindhu berikutnya, kita dapat melihat kedalam Goa tepatnya berada disebelah Timur (kanan) Goa, terdapat Trilingga atau tiga patung. Trilingga ini mewakili dewa-dewa Hindhu yaitu Brahma, Hindu dan Siwa yang diwakili dari balutan kain yang membalut lingga tersebut. Seperti, lingga yang dilambangkan dengan dewa Brahma dibalut dengan kain berwarna merah yang mengandung arti sebagai dewa pencipta. Sementara itu, lingga yang dilambangkan dengan dewa Wisnu dibalut dengan kain berwarna Hitam yang mengandung arti sebagai dewa pemelihara. Dan, lingga yang dilambangkan dengan dewa Siwa dibalut dengan kain berwarna putih yang mengandung arti sebagai dewa pelebur segala dosa-dosa.
Selain itu juga konsep Trilingga ini juga mengandung makna Siwa, Prasma Siwa dan Sada Siwa yang mengandung arti kehidupan sebelum, sekarang dan sesudah. Dalam ajaran Hindhu mereka mempercayai adanya renkarnasi ( kelahiran kembali ), yang mengandung arti bahwa perbuatan yang telah dilakukan pada waktu sebelumnya akan berpengaruh di kehidupan yang akan datang. ( Gambar : 4).
c. Pura dan Pelinggih
Pura ini terletak di sebelah Timur dari Goa Gajah, dimana pura ini di bangun setelah tempat ini dibuka untuk umum. Pura ini merupakan tempat yang paling suci yang sering dikunjungi oleh masyarakat Bali, pura ini juga digunakan sebagai tempat beribadah bagi agama Hindu.
Di sini juga terdapat beberapa pelinggih, yaitu ada pelinggih Limas Catu da Limas Mujung, sebagai pelinggih Persimpangan Batara di Gunung Agung dan Gunung Batur. Kemudian ada Pelinggih Gedong sebagai pelinggih leluhur para gusti di Bedaulu, dan ada pelinggih Ratu Taman sebagai pemujaan Batara Wisnu sebagai dewanya air. Pelinggih sendiri merupakan pura yang lebih kecil-kecil atau sebagai tempat yang digunakan untuk duduk.
d. Patung Ganesha
Patung Ganesha ini terletak dalam Goa Gajah sebelah barat (Kiri). Ganesha ini digambarkan sebagai dewa berkepala gajah dengan memegang kampak ditangan kirinya, sebuah kendi kecil untuk minum berada di kiri bawahnya. Gelang manik dibagian kanan atas dan gading patah di bagian kanan. Dalam ajaran Hindhu Kalung manik dan belalai yang sedang minum dari kendi mengandung arti bahwa Ganesha sebagai dewa pengetahuan yang abadi dan ilmu pengetahuan tidak akan pernah habis serta perlu pengkajian secar terus menerus, selain itu juga Ganesha mengandung arti lain bahwa segala kekurangan dapat diatasi dengan kebijaksanaan.
Selain itu juga, ada makna filosofi dari patung Ganesha ini yang memiliki kepala gajah dipercaya bahwa pada suatu hari dewi Uma yang sedang hamil menemui pertemuan di Surga dan melihat Dewa Indra yang sedang menaikki seekor Gajah hingga hal tersebut mempengaruhi janin dalam kandunganya. Dari makna ini masyarakat Bali mempercayai bahwa Ibu hamil tidak boleh pergi terlalu jauh dari rumah. Ganesha juga dianggap sebagai dewa penyelamat untuk itu tidak heran bahwa banyak patung dari Ganesha yang dipajang didepan rumah guna melindungi dan menyelamatkan seisi rumah dari bahaya yang mengancam. Ganesha termasuk dewa penting dalam Agama Hindhu cerita ini termuat dalam buku Smaradhana yang ditulis oleh empu Dharmaja pada jaman raja Kamecwara Kediri permulaan abad ke 12 Mesehi ( Asmito, 1988 : 138 ).
e. Petitraan atau tempat pemandian
Tempat petitraan atau pemandian ini terletak di depan dari Goa Gajah tepatnya ditengah halaman. Tempat ini dibangun untuk tempat pemandian raja dan putra-putra raja serta dayang-dayang putra raja. Selain itu juga tempat ini digunakan sebagai tepat mensucikan diri sebelum memasuki Goa Gajah untuk bersemedi.
Di petitraan terdapat tujuh buah patung yang disebut dengan patung bidadhara dan bidadhari. Patung ini terbagi kedalam tiga bagian, yaitu disebelah selatan terdapat tiga buah patung yang merupakan wujud dari agama Buddha, dibagian tengah terdapat satu buah patung yang patungnya sudah di pindahkan oleh orang Belanda yang bernama Prof. Kriygsman pada tahun 1954, kemudian dibagian utara dari petitraan ini terdapat tiga buah patung yang merupakan wujud dari peninggalan agama Hindu. Ketia Patung ini yang berada pada setiap bagian-bagian menggambarkan bahwa raja selalu didampingi oleh permaisurinya.
Patung yang terdapat pada petitraan dibagian bawah dari para patung terdapat bunga teratai atau padma, bunga ini digunakan sebagai simbol kehidupan karena bunga teratai ini bisa hidup di tiga tempat yaitu bunganya di udara, batangnya di air, dan akarnya bisa hidup di lumpur. Enam patung ini merupakan simbol dari tujuh sungai suci di India, yang merupakan tempat kelahiran agama Hindu dan Buddha.
f. Ceruk
Ceruk merupakan tempat yang berfungi sebagai pertapaan atau bersemedi. Ceruk terletak didinding-dinding dalam Goa. Jumlahnya ada 15 buah, dengan ukuran besar berjumlah 4 buah dan kecil 11 buah. Empat buah ceruk yang berdekatan dengan pintu masuk dibuat dengan ukuran yang besar, hal itu mengandung arti bahwa ceruk ini digunakan bagi orang yang baru bersemedi. Namun, 11 ceruk yang berada agak masuk kedalam memilki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan empat buah ceruk tadi, hal ini mengandung makna bahwa semakin dalam ilmu seseorang semakin banyak godaan yang meyertainya dan biasanya digunakan oleh orang yang telah lama bersemedi.
g. Rumah kecil penyimpan tiga patung kuno.
Di bagian barat atau samping kanan dari Goa Gajah, terdapat rumah-rumahan kecil yang di dalamnya terdapat tiga buah patung, patung itu yaitu patung makhluk tingkat rendah, patung ganesha, dan patung dewi Hariti. Patung dewi Hariti merupakan dewi dalam agama Buddha, dia dilambangkan sebagai dewi kesuburan, karena dia ditunjukkan dengan banyak anak di sebelahnya ( Soekmono, 1956: 45 ). Sementara itu, patung ganesha sendiri merupakan simbol dari agama Hindu.
Harmonisasi Hindu dan Buddha di Goa Gajah
Masuknya pengaruh Buddha jauh lebih dulu ada di Bali,yaitu`pada abad VIII M, terutama di daerah sekitar pejeng dan Bedaulu. Dengan dibuktikan adanya temuan stupa tanah liat yang berisi mantra-mantra suci agama Budha di dalam ceruk selatan Goa Gajah. Kemudian pada masa pemerintahan Raja Udayana dan Gunapriya terdapat dua aliran agama besar yang dipeluk oleh penduduk yaitu agama Siwa dan Budha. Keterangan ini diperoleh dari prasasti-prasastinya yang menyebut golongan Mpungku Sewasogatha sebagai penasehat dan yang membantu raja dalam mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan agama Siwa dan Budha, disamping memimpin upacara-upacara agama, para pendeta tersebut dianggap memiliki kekuatan gaib yang dapat membantu kelancaran tugas raja. Hingga sampai saat ini masih dikenal pendeta istana di Bali yang disebut dengan Bagawanta
Seperti yang telah di uraikan pada bagian sebelumnya mengenai bagaimana kehidupa masyarakat Hindu-Budha di Goa Gajah, dapat kita ketahui betapa tingginya rasa toleransi dan pemahaman mereka tentang sebuah perbedaan, kerukunan, saling menghargai dan saling melindungi. Dari kekuatan ini lah sebuah keharmonisan hidup diantara keduanya dapat berlangsung sampai saat ini. Di kompleks Goa Gajah masih terus digunakan sebagai tempat peribadahan oleh kedua Agama baik Hindu maupun Budha di masing-masing pura disana. Bahkan tiap tahunnya setiap bulan Oktober selalu diperingati upacara besar yang dalam upacara tersebut selalu melibatkan kedua pendeta dari agama Hindu maupun Budha.
Selain itu dari masing-masing agama juga melakukan upacara sendiri-sendiri yang masih berlangsug sampai sekarang. Didalam kompleks Goa Gajah juga ditemukan Arca Hariti yaitu merupakan perwujudan dewi yang mencintai anak-anak, dimana bisa terliat dari bentuk arcanya yang terdapat beberapa anak mengelilingi Dewi Hariti. Arca tersebut lebih bercorak ke agama Buddha. Akan tetapi, dalam agama Hindu juga mengenal Dewi Hariti tersebut dengan sebutan Men Brayut atau ratu Brayut. Masih pada tempat yang sama, disamping kiri arca dewi Hariti terdapat arca Ganesha yang melambangkan kebijaksanaan dalam agama Hindu. Arca Hariti yang bercorak Buddha dan Ganesha yang bercorak Hindu yang diletakkan berdampingan. Agama Hindu dan Buddha memang hidup berdampingan dengan toleransi yang kuat dalam suatu wilayah itu di Goa Gajah.
Berdasarkan hasil wawancara kami mengenai latar belakang dibangunnya kompleks Goa Gajah tersebut diketehui bahwa pembangunan Kompleks Goa Gajah dilatar belakangi adanya perbedaan kepercayaan masyarakat Bali yang kemudian ingin disatukan oleh Sang Raja Dharma Udayana Warmadewa didirikan tempat peribadahan agama Siwa dan Buddha yang saling berdampingan. Selain itu, untuk menyatukan perbedaan dan sebagai penasehat raja utamanya dalam hal keagamaan, maka Raja Udayana membentuk dewan Penasehat yang dinamakan Pakirakiran-I jro makabehan yang terdiri atas pendeta-pendeta dari seluruh kepercayaan yang ada disana, utamanya para pendeta Siwa dan Budha akan tetapi dikarenakan mayarakat Hindu menjadi Mayoritas di Bali, maka mpungku sewasogatha yang mewakili kepercayaan masing-masing tersebut terdiri dari mayoritas pendeta agama Siwa. Namun hal ini sama sekali tidak menimbulkan konflik.
. Dalam segi bangunan di Goa Gajah memang tidak ada bangunan yang memperlihatkan akulturasi atau adanya percampuran diantara agama Hindu dan Buddha. Kebanyakan bangunan memperlihatkan bentuk yang melambangkan dari masing-masing agama Hindu dan Buddha. Namun letaknya saling berdampingan. Dalam upacara keagamaan masyarakat di Goa Gajah yang berbeda keyakinan, tetap menedepankan tolong menolong. Misalnya, pada upacara Odalan yang diperingati oleh masyarakat Budhatau ulang tahun Pura yang diperingati oleh masyarakat setiap 360 hari, masyarakat tetap saling membantu dalam mempersiapkan upacara tersebut.
Selain itu, kolam petirtaan yang terdapat pada komples Goa Gajah juga difungsikan secara bersama-sama oleh kedua agama, yaitu Hindu dan Buddha. Salah satu bentuk pemanfaatan atau kegunaan kolam tersebut adalah sebagai pemandian bagi para pertapa yang akan melakukan pertapaan atau semadi di dalam Goa Gajah. Termasuk juga Goa Gajah sediri yang di dalamnya berbentuk “T” dengan beberapa patung dan ceruk-ceruk yang digunakan untuk semadi atau bertapa juga digunakan untuk kedua agama. Bahkan dewasa ini, berdasarkan wawancara dengan sumber di Goa Gajah bahwa sampai sekarang masih ada yang melakukan ritual semadi atau bertapa bukan hanya dari kalangan masyarakat Hindu-Buddha, akan tetapi semua kepercayaan yang ada di Indonesia ini dan yang datang dari berbagai Daerah. Inilah salah satu bentuk keharmonisamn masyarakat Goa Gajah.
Sumber :
Asmito. 1988. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dikti Proyek Pengembangan Lembaga Tenaga Kependidikan.
Soekmono. 1956. Bali Purbakala. Jakarta: Balai Pustaka.
Soekmono, R. 2009. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.