Awal Periode Demokrasi Parlementer (1950-1959)
Secara de facto dan de jure, system politik Indonesia pada pada periode ini menganut system demokrasi liberal atau demokrasi parlementer , dengan ciri utama kebebasan politik, social dan ekonomi yang luas; keterbukaan dalam proses politik; kebebasan pers dan media massa, serta penghargaan yang besar terhadap HAM. Hingga 1955, parlemen meskipun merupakan badan yang diangkat namun merupakan lembaga yang cukup kuat. Mana kala kabinet tidak lagi menguasai mayoritas di parlemen maka cabinet pun jatuh. Jadi, yang kuat pada saat itu adalah partai dan angkatan bersenjata. Presiden Soekarno pun pada saat itu kekuataannya masih sangat lemah. Hak dan kebebasan warga negara sangat jarang dilanggar. Pemilu 1955 misalnya, meskipun diselenggarakan dalam suasana penduduk yang sebagian besar penduduknya belum berpendidikan (buta huruf) sampai kini masih dipandang sebagai pemilu yang paling demokratis yang pernah diadakan di Indonesia.
Masa tahun 1950 sampai 1959 ini sering disebut sebagai masa kejayaan partai politik, karena partai politik memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara melalui sistem parlementer. Pada saat Indonesia menganut Demokrasi Parlementer dengan sistem multi partai, banyak sekali bermunculan partai politik. Namun dari sekian banyaknya partai politik terdapat beberapa partai dominan pada saat itu yaitu: Masyumi, PNI, NU dan PKI. Terdapat empat partai menjadi partai dominan karena :
- PNI merupakan partai politik tertua yang terbentuk sebelum Indonesia merdeka, dan ikut berperan dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah. Oleh karena itu partai ini telah mempunyai basis masa yang kuat.
- Masyumi dan Nahdatul ulama adalah partai politik yang berlandaskan agama islam. Karena Indonesia mempunyai jumlah penduduk muslim yang besar maka basis masa dari kedua partai politik ini juga kuat.
- PKI dekat dengan orang-orang pemerintahan diantaranya Ir. Soekarno. Dan PKI juga membentuk beberapa perkumpulan dibawah naungannya diantaranya serikat buruh, Gerakan Wanita Indonesia.
Segi positif dari adanya sistem multipartai di Indonesia :
- Menghidupkan suasana demokrasi di Indonesia karena setiap warga negara berhak berpartisipasi dalam politik (seperti mengkritik, menyampaikan pendapat dan mendirikan partai politik).
- Mencegah kekuasaan presiden yang terlalu besar karena wewenang pemerintah dipegang oleh partai yang berkuasa.
- Menempatkan kalangan sipil sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dan pemerintah.
Sedangkan segi negatif dari sistem multipartai di Indonesia sebagai berikut :
- Sejumlah partai cenderung menyuarakan kepentingan kelompoknya sendiri, bukan rakyat banyak.
- Ada kecenderungan terjadi persaingan tidak sehat di parlemen maupun kabinet dengan tindakan yang saling menjatuhkan.
Partai politik pada masa parlementer
Pada masa ini sebenarnya banyak partai yang ikut serta dalam perpolitikan nasional, diantaranya PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama, PKI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, PSI, IPKI, PERTI, PRN, Partai Buruh, GPPS, PRI, PPPRI, Partai Murba, Baperki, tetapi hanya ada 4 partai yang mendominasi system perpartaian tersebut, yakni:
a. Partai Nasional Indonesia (PNI)
Partai nasional indonesia (PNI) adalah partai poltik tertua di indonesia. Partai ini didirikan pada tanggal 4 juli 1927 di Bandung dengan nama perserikatan Indonesia. Baru setelah itu pada tanggal 1928 berganti nama menjadi Partai Nasional Indonesia. Lahirnya PNI dilatarbelakangi oleh situasi sosio-politik yang kompleks, yang mau tidak mau organisasi baru itu harus menyesuaikan dengan situasi baru. Pemberontakan PKI pada tahun 1926 itu membangkitkan semangat baru untuk untuk menyusun kekuatan baru lagi untuk menghadapi pemerintah.
Pada tanggal 21 Agustus 1945 Presiden Soekarno merencanakan pembentukan partai tunggal di bawah nama yang sama sebagai penampung utama tenaga rakyat, dengan sendirinya, partai itu mendapat dukungan dari pemerintah, dan diasosiasikan dengan PNI sebelum perang. Pembentukan partai tunggal itu dibatalkan pada tanggal 31 Agustus. Partai PNI yang muncul bulan November 1945 tetap dihubungkan dengan tokoh Soekarno meskipun sebagai presiden, Soekarno tidak berpartai, lagi pula tokoh-tokoh PNI lama seperti Mr. Sartono, Mr. Ali Sastroamidjojo, Mr.Susanto Tirtoprodjo, Mr. Sunario, Suwirjo , dan Ki Sarmidi Mangunsarkoro menggabungkan diri dengan PNI. Haluan sosio ekonomis yang dianut dengan sendirinya menarik perhatian rakyat yang sudah lama haus akan perbaikan nasib. Oleh karena itu PNI yakin bahwa pelaksanaan gagasan pembentukan masyarakat sosialis yang dicita-citakan akan dapat direalisasikan di alam merdeka.
Pada masa parlementer, PNI bisa dikatakan sebagai partai politik yang besar, partai tersebut memegang peranan penting pada perpolitikan nasional. Bahkan pada pemilu pertama yaitu tahun 1955, PNI memenangkan pemilu dengan cara demokratis. Dengan memperoleh suara sah sejumlah 8.434.653 suara.
b. Masyumi
Partai Masyumi didirikan pada tanggal 7-8 November 1945 dan sekaligus berpusat di Jogjakarta sampai tanggal 1 Februari 1950. Kongres ini dihadiri oleh sekitar lima ratus utusan organisasi sosial keagamaan yang mewakili hampir semua organisasi Islam yang ada, dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Kongres memutuskan untuk medirikan majelis syuro pusat bagi umat Islam Indonesia yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam, yang secara resmi bernama Partai Politik Islam Indonesia “MASYUMI”. Dengan Kongres Umat Islam Indonesia ini, pembentukan Masyumi bukan merupakan keputusan beberapa tokoh saja, tapi merupakan keputusan “seluruh umat Islam Indonesia”.
Segera setelah berdiri, Masyumi tersebar merata di segenap penjuru tanah air Indonesia bahkan hampir setiap kecamatan terdapat kepengurusan anak cabang. Sampai dengan tanggal 31 Desember 1950, secara resmi tercatat ada 237 Cabang (Tingkat Kabupaten), 1.080 Anak Cabang (tingkat Kecamatan) dan 4.982 Ranting (tingkat Desa) dengan jumlah anggota sekitar 10 juta orang. Hal itu dapat terjadi karena dukungan yang diberikan oleh organisasi-organisasi yang menjadi pendukung Masyumi. Ada 8 unsur organisasi pendukung Masyumi yakni NU, Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad, Mai’iyatul Wasliyah, Al-Ittihadiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Dengan demikian Masyumi berhasil menyatukan organisasi dan umat Islam Indonesia dalam satu wadah perjuangan. Meski pada tahun 1952 NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai sendiri.
Sejarah bangsa Indonesia mencatat nama besar Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai partai Islam terbesar yang pernah ada. Masyumi pada masanya sejajar dengan Partai Jama’atul Islam di Pakistan dan Gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Banyak yang lupa akan hal ini, dan memang dalam pendidikan politik nasional kebesaran Masyumi seolah tertutupi oleh arus besar lain, Nasionalisme dan Developmentalisme. Padahal dalam masa keberadaannya, Masyumi sangat identik dengan gerakan politik Islam yang memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam konteks kenegaraan.
Selain mempersatukan umat Islam Indonesia, alasan lain yang menjadi pertimbangan didirikannya Masyumi adalah agar Islam memiliki peranan yang signifikan ditengah arus perubahan dan persaingan di Indonesia saat itu. Tujuan didirikannya Masyumi, sebagaimana yang terdapat dalam anggaran Dasar Masyumi tahun 1945, memiliki dua tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.
Partai yang berdirinya diprakarsai oleh M. Natsir ini menyebutkan didalam Anggaran Dasarnya bahwa tujuan partai ialah terlaksananya ajaran dan hukum Islam didalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara Republik Indonesia menuju keridhaan Illahi.
c. Nahdlatul Ulama
Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai Masyumi benar-benar di luar keinginan Nahdlatul Ulama. Sebab Nahdlatul Ulama’ selalu menyadari betapa pentingnya arti persatuan ummat Islam untuk mencapai cita-citanya. Itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama yang dimotori oleh KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan MIAI, MASYUMI, dan akhirnya mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan Nahdlatul Ulama adalah modal pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama pada konggresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai menjadi anggauta Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor Nahdlatul Ulama juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam GPII (Gabungan Pemuda Islam Indonesia).
Akan tetapi apa yang hendak dikata, beberapa oknum dalam Partai Masyumi berusaha dengan sekuat tenaga untuk menendang NU keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat menyulitkan gerak langkah mereka dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat politis. Apalagi segala sesuatu persoalan harus diketahui / disetujui oleh Majlis Syura, mereka rasakan sangat menghambat kecepatan untuk bertindak. Dan mereka tidak mempunyai kebebasan untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Akhirnya ketegangan hubungan antara ulama/kyai dengan golongan intelek yang dianggap sebagai para petualang yang berkedok agama semakin parah. Karena keadaan semacam itu, maka para pemimpin PSII sudah tidak dapat menahan diri lagi. Mereka mengundurkan diri dari Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya, sampai kemudian PSII menjadi partai.
Pengunduran diri PSII tersebut oleh pemimpin-pemimpin Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar Partai Masyumi ke-IV di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 – 19 Desember 1949, telah diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Majlis Syura yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi Penasihat yang tidak mempunyai hak veto dan nasihatnya sendiri tidak harus dilaksanakan.
Sikap Masyumi yang telah merendahkan derajat para ulama tersebut dapat ditolelir oleh warga Nahdlatul Ulama. Namun PBNU masih berusaha keras untuk memperhatikan persatuan ummat Islam. Nahdlatul Ulama meminta kepada pimpinan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini dikembalikan menjadi Federasi Organisasi-Organisasi Islam, sehingga tidak menyampuri urusan rumah tangga dari masing-masing organisasi yang bergabung di dalamnya. Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa Nahdlatul Ulama untuk keluar dari Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi Partai. Lewat Muktamar NU ke-19 di Palembang pada 1952, NU menjadi partai politik sendiri, setelah sekian lama bergabung dalam Masyumi kekuatan NU yang sebelumnya tidak diperhitungkan, ternyata muncul kekuatan yang sangat besar. Dalam pemilu pertama 1955, partai NU menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi.
Setelah Nahdlatul Ulama keluar dari Masyumi, Jam’iyyah NU yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung pada persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu Nahdlatul Ulama’ mengadakan kontak dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah badan yang berbentuk federasi dengan tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat tanggapan yang positif dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952 diadakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggotanya terdiri dari Nahdlatul Ulama’, PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal Irsyad.
d. Partai Komunis Indonesia (PKI)
Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah Partai politik yang berorientasi Marxisme, muncul kembali pada tanggal 7 November 1945, dibawah pimpinan Mohhamad Jusuf. Karena terburu-buru untuk cepat merebut kekuasaan,alih-alih mengembangkan organisasi PKI, Jusuf bertindak kurang bijaksana dengan mengadakan kerusuhan di tiga daerah yaitu Tegal,Brebes, dan Pekalongan pada akhir bulan Oktober 1945. Pada pertengahan bulan Februari 1946 ketika menyerbu markas polisi di kota Cirebon Mr. Jusuf tertangkap. PKI mengalami pergantian pimpinan pada pertengahan bulan Mei 1946 dengan pulangnya tokoh lama Sardjono dari Australia dalam rombongan orang-orang komunis. Atas desakan Pemerintah Australia, Sardjono dikembalikan oleh Pemerintah Nederland. 3 bulan kemudian dalam bulan Agustus, Alimin kembali dari pengembaraanya di Cina. Sejak itu Sardjono dan Alimin memegang pimpinan PKI , PKI Sardjono-Alimin memberi dukungan kepada kabinet Sjahrir yang sudah kehilangan kepopulerannya akibat desas – desus tentang adanya rencana pembentukan RIS dalam perundingan antara Sjahrir dan Van Mook.
Dalam kongresnya yang keempat di Surakarta, tercetus suara-suara yang menghendaki ikut sertanya PKI dalam kabinet karena garis perjuangan Sjahrir tidak tepat. Suara-suara itu dapat ditekan karena pernyataan kongres yang dikeluarkan menegaskan bahwa PKI tidak akan masuk kabinet sebab akan memperlemah RI yang akan dicap sebagai sarang komunis. PKI tetap akan memberikan dukungan kepada kabinet. Kongres memilih Sardjono sebagai ketua dan menyusun dewan pengurus seperti berikut ini :
– Anggota Politbiro : Sardjono,Maruto Darusman,Alimin,Suripto, dan Ngadiman Hardjosuprapto.
– Anggota Dewan Harian : Sardjono, Maruto Darusman, Djoko Surjono, Ngadiman Hardjosuprapto, dan Sutrisno.
PKI terus berkembang dan menunjukan eksistensinya, sampai masa parlementerpun PKI masih tetap diatas angin, bahkan pada masa parlementer ini PKI menduduki posisi 4 besar partai di Indonesia, yaitu setelah PNI, Masyumi, dan NU.
Pemilu 1955
Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis.
Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota MPR dan Konstituante. Jumlah kursi MPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 (dua kali lipat kursi MPR) ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Empat besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia mendapatkan 57 kursi MPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi MPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi MPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), dan Partai Komunis Indonesia 39 kursi MPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen).
Sumber :
Budiardjo , Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama
Djoened P , Marwati dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka
Bulkin, Farchan. 1985. Analisa kekuatan politik di Indonesia. Jakarta: LP3ES
Muljana, Slamet. 2008. Kesadaran Nasional Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan jilid 2. Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara.
Suwarno. 2012. Sejarah Politik Indonesia Modern. Yogyakarta: Ombak
Badrut Tamam Gaffas. 2010. Kajian Kepemimpinan Politik Mohammad Natsir (Studi Kasus Dalam Masyumi).
https://bulanbintang.wordpress.com/category/sejarah-masyumi/