Buku ini menjelaskan ancaman yang paling serius terhadap sifat pluralisme dari masyarakat Indonesia yang disebabkan oleh upaya Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk mengambil alih kekuasaan pada 1 Oktober 1965. Meskipun tentara di bawah Mayjen Suharto telah mengagalkan upaya itu, namun seandainya kudeta itu berhasil maka tidak dapat diragukan lagi bahwa suatu perang kelas yang intensif sudah pasti akan menghancurkan partai-partai politik, organisasi-organisasi agama dan seluruh kelas sosial yang bertekad untuk menjaga pluralisme yang multifaset di negara itu.
Buku ini juga membicarakan didirikannya Biro Chusus oleh Ketua Partai Komunis (DN. Aidit) tahun 1964, dan cara-cara yang digunakan direkturnya Sjam dan stafnya untuk melakukan penetrasi ke dalam tubuh angakatan bersenjata dan merekrut Marsekal Oemar Dhani, Mayjen Pranoto, Brigjen Supardjo, Letkol Untung, Kolonel Latief dan sejumlah perwira lainnya demi mencapai tujuan-tujuan PKI.
Buku ini kemudian membicarakan jatuh pingsannya Presiden Soekarno tanggal 4 Agustus 1965 karena gangguan ginjal, dan perintahnya kepada Untung untuk menyingkirkan komando puncak Angkatan Darat (AD) untuk mencegah naiknya AD secara politik seandainya serangan penyakit ginjal itu menjadikan Presiden tidak berdaya lagi. Tiga rapat yang diadakan CC PKI, yang digelar pada pertengahan Agustus 1965, didokumentasikan untuk memperlihatkan bagaimana komite itu telah diperintahkan Aidit dan Politbiro untuk menggunakan Untung dan rekan-rekannya agar melaksanakan pembersihan itu, dan penculikan para jenderal komando puncak AD yang akan diikuti oleh pengambilalihan kekuasaan PKI.
Buku ini selanjutnya meninjau sepuluh rapat oleh Sjam dan tokoh-tokoh PKI lainnya, dengan kelompok Untung yang digelar dalam bulan September 1965 untuk merinci masalah- masalah teknis, logistik, dan rincian-rincian lain dari operasi pembersihan itu. Aidit sendiri menghadiri pertemuan terkahir kelompok itu tanggal 30 September 1965, di mana ia menunjuk Mayjen Pranoto sebagai Men/Pangad yang baru untuk menggantikan Jendral A.Yani, yang akan dibunuh oleh orang-orang Untung pada keesokan harinya. Sebuah surat yang berisikan instruksi-instruksi tetap yang ditulis Aidit tanggal 10 November 1965 telah melibatkan Presiden Sukarno dalam rencana ini. Instruksi-instruksi itu berbicara tentang saling-pengertian Presiden dengan Mao, yang telah dirundingkan oleh Aidit dengan Mao di Peking tanggal 5 Agustus, dan dengan Presiden tanggal 8 Agustus 1965 di Istana Bogor. Saling pengertian itu memerlukan bantuan Cina terhadap rencana-rencana Sukarno untuk membangun sebuah “tentara rakyat” di Indonesia, pasokan senjata kepada kelompok Untung untuk melakukan pembersihan, dan pengunduran diri Sukarno ke Cina karena alasan kesehatan setelah diangkatnya Aidit menjadi perdana menteri dalam sebuah kabinet yang didominasi oleh PKI dan sekutu-sekutunya. Marsekal Chen Yi Menteri Pertahanan Cina merundingkan dengan Dr. Subandrio rincian dari pengunduran diri Sukarno ke Danau Angsa di Cina dalam kunjungannya ke Jakarta pada pertengahan Agustus 1965, yang bahkan merencanakan disingkirkannya Sukarno dengan kekerasan sekiranya langkah seperti itu diperlukan.
Pada bagian terakhir, buku ini mengupas tindakan cepat MAyjen Suharto untuk menggagalkan upaya kudeta PKI itu, yang dimulai oleh kelompok Untung dengan membunuh enam jenderal AD pada 1 Okteober 1965. Tekad militer untuk menghapus PKI dari peta kehidupan politik Indonesia karena telah bersekongkol dengan sebuah kekuatan asing dan membunuh enam jenderal AD, berikut mereka-mereka yang telah bekerja sama dengan partai itu dalam konspirasi itu, berakhir dengan diturunkannya Presiden dan dihancurkannya PKI pada tahun 1966. Indonesia harus membayar harga luar biasa besar untuk petulangan PKI dan Presidennya, karena tidak hanya orang-orang yang bersalah karena telah bersekongkol itu, akan tetapi banyak orang yang tidak bersalah telah terkena imbas dari kekacauan itu. Mereka harus menghabiskan waktu puluha tahun dalam penjara-penjara di Pulau Buru dan tempat-tempat lain, sedangkan anggota keluarga mereka yang tidak bersalah menderita diskrimasi di pasar kerja dan di tempat-tempat lain selama sekian puluhan tahun pula.