Kekejaman Belanda pada Peristiwa “Geger Pecinan” di Batavia

Rahmad Ardiansyah

Pada awal abad ke 18, hubungan dagang antara Belanda dan Tiongkok semakin berkembang pesat. Keduanya saling melakukan kegiatan perdagangan dengan komoditi masing – masing di Batavia yang pada saat itu di kuasai Belanda. Tiongkok sebagai penghasil teh, emas, perak, tekstil, sutera, serta barang – barang porselin dan beling, mengangkut barang – barang tersebut dari Tiongkok ke Batavia. Sedangkan dari Batavia, orang – orang Tiongkok mengangkut rempah – rempah, lada, rotan, kayu cendana, cula badak, sarang burung walet serta komoditi lain untuk dibawa ke Tiongkok. Keduanya menjadi saling ketergantungan satu sama lain.Semakin gencarnya orang Tionghoa masuk dan keluar Batavia, serta besarnya keuntungan orang Tionghoa yang kembali ke negeri asalanya menjadikan ketertarikan tersendiri dari orang – orang Tiongkok untuk mengadu nasib di Batavia. Dari hal tersebut menyebabkan laju pertumbuhan orang Tionghoa yang berada di Batavia melonjak drastis hingga meningkat 1.000 orang lebih. Umumnya mereka bekerja sebagi di perkebunan tebu serta pabrik gula. Pada tahun 1740 jumlah rumah Tionghoa mencapai 2.500 di dalam tembok Batavia, sedangkan apabila di kalkulasi seluruh jumlah jumlah Tionghoa baik di dalam maupun di luar tembok diperkirakan berjumlah 15.000 orang. Jumlah tersebut adalah 17% dari total jumlah penduduk Batavia. Jumlah tersebut adalah sensus yang dilakukan pada tahun 1778 yang kemungkinan jumlah orang Tionghoa tersebut lebih dari jumlah yang di sensus.

Ada perbedaan Tionghoa di dalam tembok Batavia dan di luar Tembok Batavia. Tionghoa yang berada di dalam tembok Batavia lebih mudah dikendalikan, karena mereka tunduk pada pemimpinnya. Sedangkan yang berada di luar tembok Batavia lebih sulit di atur karena tidak terikat dengan institusi manapun. Oleh karena itu, sangat jarang terjadi suatu perundingan yang dilakukan pihak pemerintahan Batavia dengan orang Tionghoa di luar tembok. Banyak dari mereka yang sulit mendapatkan pekerjaan.

Suatu saat terjadi sebuah serangan wabah penyakit yang diakibatkan adanya kanal – kanal kotor yang berada pada sekitar bangunan – bangunan Belanda. Wabah penyakit ini mengakibatkan meninggalnya Gubernur Jendral Dirk van Cloon (1732-1735). Akibat meninggalnya Gubernur VOC tersebut terjadilah perpecahan di VOC. Selanjutnya di lakukan pemilihan Gubernur VOC dan terpilihlah Abraham Patras. Abraham Patras merupakan seorang Prancis yang telah berusia lanjut dan sakit – sakitan dan pada tahun 1737 meninggal. Pada periode tahun 1738 terjadi kerugian di pihak VOC. Gula yang dikirim ke Belanda melebihi batas, sedangkan kopi yang di ekspor ke Belanda sangat sedikit. Sehingga gubernur jendral dan direktur jendral, harus menutup kerugian tersebut. Dilain sisi etnis Tionghoa yang membludak di Batavia menimbulkan problem tersendiri bagi pemerintah Batavia. Perkembangan Tionghoa yang semakin pesat mengakibatkan penduduk Batavia lainnya tidak menyukai dan mencurigai mereka.

Sebelumnya pada Desember 1721 di Batavia, VOC mengumumkan adanya komplotan Islam yang didukung Banten, Cirebon, Bali, Balambangan dan Kartasura akan melakukan pemberontakan di Batavia yang menyebabkan ketidak amanan orang Eropa di Batavia. Diduga pemberontakan tersebut di pimpin oleh seorang mestizo (Indo Eropa) Batavia yang bernama Pieter Erberveld. Sebanyak 49 orang termasuk 3 orang perempuan dijatuhi hukuman mati secara kejam. Sedangkan Pieter Erverveld di hukum dengan mengikatkan tubuhnya pada 4 kuda secara berlawanan yang berlari ke penjuru arah.

Baca Juga : Tragedi Angke

Dengan adanya peristiwa tersebut pemerintah VOC melakukan pembatasan terhadap kaum Tionghoa di Batavia. Atas usulan Wvan Imhoff, Gubernur Jendral Adrian Valckenier mengeluarkan peraturan permissiebrieffe atau surat ijin bagi orang Tionghoa. Dan selanjutnya pada tanggal 25 Juli 1740 dikeluarkan resolusi “bunuh atau lenyapkan”. Dari resolusi ini, orang – orang yang di curigai Belanda akan di adili. Apabila mereka menganggur, mereka akan dipulangkan ke negerinya atau dibuang ke Cylon (Sri Langka) dan Ke Tanjung Harapan untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan.

Keyataannya resolusi tersebut tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Banyak diantara Tionghoa di tangkap tanpa bersalah dipaksa masuk ke kapal dan dibawa ke Cylon dan Tanjung Harapan. Perampasan dan penganiayaan dilakukan dengan dalih pemeriksaan rumah Tionghoa. Adanya resolusi ini juga dimanfaatkan oleh pejabat Belanda untuk memeras para orang Tionghoa Kaya. Kabar angin bahwa orang – orang yang akan dipekerjakan di Cylon dan Tanjung Harapan di lempar ke Laut oleh Belanda. Akibat keresahan yang terjadi di kalangan Tionghoa, sebagian diantara mereka mempersenjatai diri untuk melawan Belanda. Dan pada akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1740 orang Tionghoa yang terdiri dari ratusan orang melawan pemerintahan Belanda di Meester Cornelis dan Tanah Abang yang menewaskan 50 serdadu Belanda. Serangan balik dilakukan van Imhoff dengan kekuatan 1.800 serdadu dan 11 batalyon pennist melakukan pembersihan.

Pada tanggal 8 Oktober 1740 Belanda memukul mundur Tionghoa. Pada tanggal 9 Oktober 1740, VOC mengadakan rapat antara jendral Vilckenier dengan para anggota Dewan Hindia. Sebelumnya sudah dilakukan jam malam oleh VOC dengan tujuan agar para Tionghoa tidak bisa berhubungan atau berkomplot dengan Tionghoa lainnya. Jalanan pun sepi, yang ada hanya orang non Tionghoa yang berkerumun di jalan meunggu sebuah “tanda”.

Mereka mendengar isu bahwa orang Tionghoa yang berada di luar tembok akan menyerang mereka dan menjadikan mereka dan anak – anaknya menjadi budak. Hal ini menimbulkan kebencian bagi orang – orang non Tionghoa di Batavia. Persamaan diantara orang – orang non Tionghoa terhadap kecemasan tersebut menjadikan mereka bersatu untuk melawan Tionghoa. Belanda pun berada di belakang mereka dengan menyediakan senjata untuk melakukan perlawanan terhadap orang – orang Tionghoa.

Kerusuhan pertama terjadi di sebuah warung Tionghoa di kompleks orang – orang Tionghoa di daerah Kali Besar Oost. Inilah awal dari kerusuhan di perkampungan Tionghoa. Orang non Tionghoa dibantu Belanda menyerbu serta menjarah rumah – rumah Orang Tionghoa. Setiap orang Tionghoa yang di temui di bunuh tak terkecuali anak – anak dan perempuan serta bayi sekalipun. Rumah – rumahpun banyak yang dibakar, darah mengalir dimana – mana hingga kemudian menimbulkan nama seperti Kali Angke di Batavia atau yang berarti Kali Merah. Rawa Bangke di Meeter Cornelis atau Jatinegara karena banyaknya bangkai orang Tionghoa yang mengambang di rawa – rawa. Dan Tanah Abang yang berarti tanah merah akibat darah – darah orang Tionghoa korban pembantaian.

Hari – hari setelah kejadian tersebut, pembunuhan dan pembakaran masih terjadi. Pada hari senin, telah dikeluarkan keputusan untuk memindahkan para tahanan Tionghoa dan orang – orang yang perlu perawatan dari penjara VOC ke rumah sakit Tionghoa. Utusan VOC yang dikirim ke Tiongkok pada 1 dan 2 Oktober 1742 memberikan kesaksian bahwa mereka diseret dan dibunuh dengan sangat kejam.

Demikian tragedi “Geger Pecinan” yang terjadi di Batavia. Sebagian dari mereka selamat dengan bersembunyi di sudut – sudut yang terlindung serta di celah – celah rumah. Sebagian melarikan diri ke Semarang dan Lasem. Laporan Belanda pad 22 Oktober 1740 menyatakan bahwa orang – orang Tionghoa di dalam tembok telah di sapu bersih. Menurut laporan lain korban orang Tionghoa mencapai 10.000 orang, termasuk 500 orang tahanan dan pasien rumah sakit, 500 orang luka parah, 700 rumah dirusak dan dibakar dan barangnya di jarah.

Sumber : Tionghoa Dalam Pusaran Politik (Benny G. Setiono)

Bagikan:

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang, Calon Guru Penggerak angkatan 11 Kota Semarang dan kontributor Modul Pembelajaran MGMP Sejarah Kota Semarang.

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah