Alasan lain yang mengadakan adanya tanam paksa adalah ingin mengenalkan beberapa jenis tanaman eksport yang mempunyai nilai jual tinggi. Banyak rakyat yang menyetujui ataupun menolak dengan adanya tanam paksa itu. Rakyat yang menyetujui adalah bupati-bupati pasa saat itu yang bertugas untuk mengawasi kegiatan tanam paksa, karena bupati yang ditugasi untuk mengawasi tanam paksa juga akan memperoleh hasil atau bagian dari apa yang telah dikerjakan oleh rakyatnya. Dengan melaui bupati makan akan dengan mudah Belanda melakukan kontrol kegiatan para rakyat pribumi itu. Dan selain itu, maka secara tidak langsung Belanda dengan mudah menguasi atau memegang kekuasaan penuh pemerintahan Indonesia pada saat itu.
Aturan-aturan yang dibuat oleh Belanda pada saat itu sangat ditaati oleh rakyat pribumi, walaupun aturan itu banyak yang merugikan rakyat, namun rakyat harus menaatinya. Dengan aturan tanam paksa yang dibuat oleh Belanda tidak sedikit rakyat yang kelaparan akibat peraturan itu. Mengapa karena tanaman pokok wajib prosentase penanamannya hanya dibatasi dan itu tidak boleh lebih banyak dari tanaman jenis eksport. Maka dari itu bagi masyarakat Rembang tanam paksa banyak merugikan karena banyak mengakibatkan dampak negative bagi masyarakat Rembang
Pada masa Kultur Stelsel atau Tanam Paksa (1830-1970), Karesidenan Rembang termasuk bagian dari wilayah Jawa Timur. Dengan demikian disamping sebagai ibukota kabupaten, Rembang juga merupakan ibukota karesidenan, bahkan juga merupakan ibukota kedistrikan yaitu Distrik Rembang.
Baca Juga : Asal Usul Nama Rembang
Di Rembang menjadi tempat kedudukan Residen, Bupati dan kepala Distrik Rembang. Dengan demikian disamping sebagai kota perdagangan Rembang juga merupakan kota pusat pemerintahan sampai tingkat karesidenan. Oleh karena itu bisa diperkirakan bahwa Rembang pada waktu itu merupakan satu kota yang ramai di Jawa Tengah. Sebagai Karesidenan, Rembang disebelah timur berbatasan dengan Karesidenan Surabaya, di sebelah barat dengan Karesidenan Jepara dan Kabupaten Grobogan, Di sebelah selatan dengan Karesidenan Madiun dan Kediri, sedangakan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa.
Mengenai pembagian wilayah pada waktu itu karesidenan Rembang terdiridari 4 kabupaten yaitu: Kabupaten Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro. Sedangkan untuk Kabupaten Rembang sendiri terdiri dari tujuh wilayah kedistrikan yaitu : Rembang, Waru, Binangun, Kragan, Sulang, Pamotan, dan Sedan.
Pada Tahun 1905, yaitu tahun diberlakukannya Decentralisatie Besluit, karesidenan atau Gewest Rembang seperti halnya daerah-daerah lainnya yang setingkat memperoleh hak-hak otonom, yang berarti wilayah Rembang terdiri dari 4 kabupaten yaitu Rembang, Blora, Tuban dan Bojonegoro menjadi daerah otonom penuh. Untuk itu maka dibentuklah Dewan Daerah (Gewestelijke Raad) untuk wilayah Rembang.
Perubahan terjadi lagi dengan diberlakukannya Provincie Ordonantie (Undang-Undang Propinsi) pada tanggal 1 April 1925. Berdasarkan Provincie Ordonantie tersebut, maka khusus untuk Jawa Tengah berdasarkan Ordonantie 1929, secara resmi menjadi salah satu provinsi di Indonesia (Hindia Belanda pada waktu itu).
Sebagai wilayah propinsi, Jawa Tengah merupakan daerah otonom dengan hak-hak otonomi tertentu disamping juga memiliki Dewan Propinsi (Provinciale Raad). Berdasarkan Ordonansi itu pula Propinsi Jawa Tengah dibagi menjadi karesidenan yang salah satu diantaranya adalah Karesidenan Rembang-Jepara, yang terdiri dari Kabupaten Jepara, Rembang, Pati, Blora dan Kudus. Kabupaten Bojonegoro dan Tuban yang sebelumnya merupakan 2 kabupaten di Karesidenan Rembang sejak saat itu menjadi bagian dari wilayah Propinsi Jawa Timur.