Tragedi Angke, Jakarta

Rahmad Ardiansyah

Batavia yang berumur lebih dari 400 tahun sebagai daerah istimewa memiliki banyak kisah serta tragedi dibalik berdirinya kota Batavia. Salah satu tragedi yang terjadi di Batavia adalah adanya pembantaian etnis Tionghoa yang menewaskan 10.000 orang Tionghoa secara sadis di Kali Angke. Tragedi tersebut bermula adanya perselisihan pemerintahan VOC dengan etnis Tionghoa. Tercatat ada beberapa faktor yang memicu pecahnya pemberontakan Tionghoa terhadap pemerintahan VOC, diantaranya :

  • VOC yang ada di Calcutta, India kalah dalam hegemoni persaingan maskapai dagang Inggris The British East India Company (1602-1799)
  • Adanya tekanan kepada Gubernur VOC di Btavia untuk memaksimalkan jumlah pendapatan untuk mengisi kas VOC.
  • Besarnya pengeluaran VOC untuk menumpas pemberontakan di wilayah – wilayah VOC di Nusantara
  • Keberhasilan para imigran Tionghoa di Batavia yang dianggap berpotensi menjadi ancaman bagi VOC

Untuk memecahkan masalah tersebut, VOC mengelaurkan kebijakan jalan pintas dengan melakukan tanam paksa bagi pribumi. Sedangkan untuk para etnis keturunan dan Tionghoa diberlakukan kebijakan – kebijakan yang ujungnya adalah melakukan pemerasan. Pemerintah VOC memberlakukan “Surat Ijin Tinggal” untuk para orang – orang Tionghoa baik di dalam tembok maupun di luar. Apabila melanggar aturan tersebut akan dilakukan pengusiran di wilayah Hindia Belanda. Pada awalnya alasan memberlakukan kebijakan ini adalah untuk membatasi para imigran gelap yang masuk di Batavia.

Tercatat pada 1719 penduduk etnis Tionghoa sebanyak 7.550 meningkat pada 1739 sebanyak 10.574 jiwa di Batavia. Kemudian pada 25 Juli 1740 mulailah diberlakukan kebijakan surat ijin tinggal dan VOC tak segan menangkap serta memenjarakan bagi yang melanggar. Etnis Tionghoa seakan menjadi korban dari kebijakan ini. Kebijakan ini berpotensi besar menciptakan korupsi bagi pegawai VOC serta pada kalangan dewan kebijakan ini sangat disenangi karena pajak yang masuk ke kas VOC menjadi semakin meningkat. Selain itu kebijakan ini sekaligus digunakan sebagai alat kontrol untuk aktivitas bisnis warga Tionghoa.

Baca Juga : Kekejaman Belanda Pada Peristiwa “Geger Pecinan” di Batavia

Kebijakan ini sangat berimbas pada orang – orang Tionghoa, banyak diantara mereka mengalami kebangkrutan bahkan sebagian beralih profesi menjadi pekerja kasar dikarenakan besarnya pajak yang harus dibayar kepada VOC. Ketidakpuasan ini mengakibatkan pembentukan perlawanan – perlawanan kecil kepada VOC pada tahun 1740. Puncaknya pada 7 Oktober 1740 perlawanan etnis Tionghoa mencapai puncaknya. Lebih dari 500 orang melakukan penyerangan ke Benteng Batavia setelah sebelumnya menghancurkan pos penjagaan VOC di Jatinegara, Tangerang dan Tanah Abang. Pada 8 Oktober 1740 terjadi kerusuhan di semua pintu masuk Benteng Batavia oleh ratusan etnis Tionghoa. Pasukan VOC di bawah pimpinan van Imhoff melakukan penghadangan. Pada 9 Oktober 1740 VOC memukul mundur dengan pasukan kavaleri dan kemudian mengejar hingga ke pemukiman – pemukiman. Pasukan VOC juga melakukan pembakaran ke rumah – rumah serta pusat perdagangan warga Tionghoa. Warga yang tidak ikut pemberontakanpun juga ikut diburu. Banyak diantara mereka dibiarkan melarikan diri kearah sungai atau kali dimana prajurit VOC lain sudah menunggu untuk melakukan pembantaian. Beberapa sumber mengatakan kali yang digunakan dalam pembantaian tersebut adalah kali angke. Kali berarti sungai, dan angke berasal dari kata bangkai. Hingga tragedi ini dinamakan dengan Tragedi Angke. Sebagian orang juga berpendapat pembantaian tersebut bukan terjadi di Kali Angke melainkan di Kali Besar karena letaknya yang lebih dekat dengan Tembok Batavia.

Pembantaian ini melibatkan budak VOC serta pribumi yang dihasut guna membantu melakukan pembantaian kepada orang – orang Tionghoa. Bahkan Gubernur Jendral Valckeneir menjanjikan akan memberi hadiah 2 dukat untuk satu kepala orang Tionghoa. Pada 10 Oktober 1740 Gubernur Jendral Valckeneir memerintahkan prajuritnya untuk mengumpulkan orang – ornag Tionghoa yang selamat dan bahkan yang terbaring di rumah sakit untuk dikumpulkan di depan Stadhuis Gedung Balaikota atau sekarang dikenal dengan Musem Fatahillah untukdi eksekusi hukum gantung. Pasca tragedi ini sebanyak 3.441 terdiri 1.442 pedagang, 935 petani, 728 pekerja perkebunan dan 336 pekerja kasar yang masih tersisa dan selamat dari tragedi ini.

Bagikan:

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah