Ken Dedes, Kisah Di Balik Berdirinya Singhasari

Rahmad Ardiansyah

Singhasari secara harfiah terbagi menjadi dua kosa kata yaitu, singha dan sari. Singha memiliki arti hewan harimau Jawa atau loreng yang memiliki badan besar, berumur tua yang ditandai adanya rambut cambang yang lebat di kepalanya, perkasa dan kuat, disegani di lingkungannya, dan biasanya bergerak sendiri. Sari bisa dikatakan sebagai kultur Jawa. Sari dalam kehidupan adalah darah yang merupakan unsur yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan.

Oleh karena itu apabila kedua kosa kata tersebut disatukan menjadi Singhasari dapat diartikan berdarah singa atau keturunan sang singha. Disini dapat diartikan adalah seorang pemimpin yang berkarakter seperti singha.

Siapa sesungguhnya singha itu sendiri di tubuh kerajaan Singhasari? Jawabannya adalah Ken Dedes. Kenapa bukan Ken arok atau Tunggul Ametung? Singha betina akan menjadi ganas, mengambil resiko apapun termasuk mengorbankan dirinya sendiri atau membunuh Singha pasangannya sendiri apabila dianggap membahayakan anaknya.

Ken Dedes merupakan puteri dari Mpu Purwa, seorang pemimpin sekaligus pertapa brahmana yang mengajarkan tentang ilmu kesempurnaan hidup. Ken Dedes berhasil merayu ayahnya untuk mengajari ilmu Pradjaparamitha aji, ilmu yang akan merubah karakternya menjadi sangat sulit diperbandingkan dengan manusia kebanyakan (keteguhan hati, kearifan, pelaksanaan dharma kehidupan dan banyak hal lainnya).

Ketika Ken Dedes di culik oleh Tunggul Ametung dari dekapan ayahnya, Ken Dedes memahami ini adalah bagian dari takdir yang harus dijalani olehnya, berpisah dengan orang yang ia sayangi. Ken Dedes kemudian di peristri oleh Tunggul Ametung dan lahirlah putra – putri keturunan Tunggul Ametung, takdir yang dirasa manis namun sesungguhnya tidak. Karena Tunggul Ametung merupakan bangsawan trah Kerajaan Dhaha yang menyimpan beberapa wanita Dhaha dan diperlakukan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan terhadap Ken Dedes di Tumapel. Saat adipati Tunggul Ametung ingin membuka jalan suksesi kepemimpinan dengan cara mengkader anak dari istrinya di Dhaha, semua berubah menjadi petaka. Ken Dedes merasa dirinya berkorban untuk wilayah Tumapel serta bertekad suatu saat anak dari rahimnya lah yang menjadi raja di bhumi Tumapel, terkhianati dan harus memilih pilihan sulit “melenyapkan suaminya” demi anak – anaknya dan bhumi Tumapel yang berdaulat (ketika itu Tumapael masih dibawah Dhaha Panjalu).

Yang bisa melakukan pelenyapan atas suami yang dianggap menghianati dirinya, keluarga serta bhumi Tumapel jelas bukanlah orang sembarangan. Karena Tunggul Ametung dianggap seorang adipati yang terkenal digdaya serta mempunyai hubungan darah dengan bangsawan Dhaha. Oleh karena itu dipilihlah Ken Arok sebagai rekan seperjuangan dalam mewujudkan tekad dari Ken Dedes. Ken Arok bukanlah orang sembarangan, ia lahir dari bibit penguasa Dhaha. Yang lebih penting, Ken Arok memiliki kebencian kepada Dhaha. Konon, dahulu ibunya yang cantik diperkosa oleh penguasa Dhaha yang berburu dikawasan Gunung Kawi. Ibunya kemudian dikucilkan oleh lingkungan sekitar hingga lahirnya Ken Arok. Ken Arok dibuang ke area pemakaman umum, dan ibunya kemudian kembali ke komunitasnya. Sebagai tanda bahwa Ken Arok merupakan Lembu Peteng (putera penguasa dari hubungan gelap), pada lengannya digambarkan cakra dan vajra. Hingga suatu saat tanda tersebut terbaca oleh Adipati Tumapel Tunggul Ametung dan mengambilnya menjadi prajurit Kadipaten Tumapel.

Strategi darah Dhaha harus dihadapkan dengan darah Dhaha lain oleh Ken Dedes. Singkat cerita, Ken Arok berhasil membunuh Tunggul Ametung serta mampu menjadikan Tumapel sebagai kerajaan yang merdeka bebas dari kerajaan Dhaha. Namun, seperti berulang kembali, ketika berada di tengah jalan Ken Arok tidak bisa berbuat adil sesuai dengan kesepakatan terhadap anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung dibanding anaknya dengan wanita lan yaitu Ken Umang. Singha betina kembali meradang, menganggap pengorbanan panjangnya atas tanah Tumapel harus diselamatkan tidak peduli dari rahimnya juga melahirkan putra putri dengan sang Ken Arok.

Kemudian dimulailah “perang darah di dalam rahim yang sama” antara keturunan Tunggul Ametung dan Ken Arok yang terlahir dari rahim seorang Ken Dedes. Bagi orang biasa semua ini terlihat biasa, namun tidak bagi Ken Dedes pewaris ilmu Pradnjaparamitha yang berhati singha, ia merasa pedih melihat kenyataan yang ada.

Anak dari Ken Arok kemudian memilih istana Dhaha untuk menjadi basis (sebelumnya Dhaha berhasil di tundukkan oleh Ken Arok), sedangkan keturunan Tunggul Ametung memilih basis di istana Tumapel. Hingga suatu hari keduanya membuat kesepakatan atas kesia – siaan pertikaian mereka. Kedua keturunan Ken Arok dan Tunggul Ametung memilih bersatu dan membagi kekuasan. Dimana Istana Tumapel menjadi basis pemerintahan, bergelar Mahasinghanada dan berpangkat Bhatara Murdhaja. Sedangkan istana Dhaha menjadi basis militer dan memiliki gelar Narasinghamurti dan berpangkat Bhatara Angghabaya atau Narapati.

Gabungan dari kedua istana tersebut dan perangkatnya inilah yang dikemudian hari dikenal dengan kerajaan Singhasari. Anak keturunan dari sang Singha betina dari bhumi Tumapel yang menggetarkan itu.

Bagikan:

Tags

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang, Calon Guru Penggerak angkatan 11 Kota Semarang dan kontributor Modul Pembelajaran MGMP Sejarah Kota Semarang.

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah