
Daftar Isi
Sejarah Pelacuran di Indonesia
Pelacuran merupakan kegiatan menjual diri kepada para lelaki. Pada masa sekarang, praktek pelacuran sudah sering kita dengar. Di Surabaya, terkenal dengan Gang Dolly, Yogyakarta ada Pasar Kembang, dan di Semarang ada Sunan Kuning. Praktek prostitusi umumnya bermotif ekonomi. Banyak dari para wanita yang rela menjajakan tubuhnya demi bertahan hidup.
Praktek prostitusi sebenarnya sudah berkembang sejak lama. Di Indonesia sendiri praktek prostitusi sudah ada sejak zaman kerajaan, masa penjajahan Belanda dan yang paling terkenal ada masa penajajahan Jepang yang dikenal dengan Jugun Ianfu.
Sistem Pelacuran Pada Masa Pemerintahan Belanda
Sistem pelacuran pada masa pemerintahan Belanda memiliki sistem yang terorganisir dan berkembang pesat. Hal ini didasarkan pada kebutuhan seks para orang – orang Belanda yang meninggalkan istrinya jauh di Eropa, di negeri Belanda. Buku “Nyai dan Pergundikan” karangan Reggie Bay menyebutkan pada masa VOC di Hindia Belanda sekitar tahun 1650 sampai 1653, Gubernur Carel Reynierz mendukung kuat dengan adanya perkawinan antara pegawai VOC dengan perempuan Asia atau Eurasia (Baay, 2010:4). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Belanda seakan melegalkan adanya praktek prostitusi diantara para pegawai VOC dengan para pribumi.
Keputusan yang dikeluarkan Reggie Bay membuat para orang – orang Belanda seakan terpaksa melakukan perkawinan dengan para wanita pribumi. Dalam hal ekonomi pihak laki – laki Belanda lebih diuntungkan. Dalam perkembangannya, muncul yang dinamakan gundik yang merupakan para nyai (wanita) yang dianggap kawin dengan lelaki Belanda dan selanjutnya melahirkan keturunan Indo – Belanda yang semakin memperkuat posisi Belanda ketika berada di Indonesia.
Sistem Pelacuran Pada Masa Pemerintahan Jepang
Pada masa pemerintahan Jepang, para wanita penghibur atau disebut Jugun Ianfu, para wanita dikumpulkan dalam satu rumah bordir untuk melayani kebutuhan seks tentara Jepang. Umumnya, mereka tertipu atau dijebak dan dijadikan wanita penghibur untuk para tentara Jepang. Mereka seolah menjadi korban atas kebijakan Jepang. Mereka semata – mata hanya dijadikan budak seks bagi para tentara Jepang yang haus akan kebutuhan seks di tengah berkobarnya perang Asia Timur Raya atau peeang Asia Pasifik.
Praktek pelacuran Jugun Ianfu ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara – negara jajahan Jepang yang lain. Menurt riset dari Dr. Hirofumi Hayashi seorang profesor dari Universitas Kanto Gaukin ketika melihat fenomena Jugun Ianfu di Indonesia ini, ia mengatakan bahwa Jugun Ianfu pada saat itu terdiri dari wanita – wanita Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya, Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, India dan Indo Belanda. Pada saat itu diperkirakan sebanyak 20.000 hingga 30.000 wanita dijadikan Jugun Ianfu oleh pemerintah Jepang.
Baca Juga : Sejarah Romusha Pada Masa Penjajahan Jepang
Keberadaan Jugun Ianfu tidak terlepas dari keberadaan para tentara Jepang yang jenuh ketika berperang. Mereka membutuhkan hiburan berupa berkencan ataupun meniduri para Jugun Ianfu di kamar – kamar bordir yang telah disediakan oleh pemerintah Jepang. Hal ini sangat ironis mengingat para wanita pribumi yang dijadikan Jugun Ianfu adalah para wanita yang dipaksa dan diiming – imingi akan kehidupan yang enak dan pendidikan terjamin. Namun pada kenyataannya, para tentara Jepang tidak segan – segan menculik ataupun memperkosa para wanita didepan keluarganya didepan keluarganya sendiri apabila mereka menolak.
Praktek pergundikan pada masa Jepang benar – benar dilegalkan dimana kepuasan seks para tentara Jepang sangat mempengaruhi kinerja para tentara. Perekrutan Jugun Ianfu juga terkesan tertutup di bawah tanah dengan kepala pejabat seperti lurah, camat dan kepala desa sebagai orang yang merekrut.
Perang Dunia II menjadi faktor utama adanya praktek Jugun Ianfu. Peperangan yang terjadi antara tahun 1943 – 1945 membuat para tentara Jepang membutuhkan wanita untuk melepaskan kerinduan akan seks kepada pasangan – pasangan mereka di Jepang. Wanita – wanita pribumi kemudian dijadikan penggantinya. Hal inilah yang menjadi masa kelam para wanita Indonesia pada masa itu. Para wanita pribumi ditakuti dengan ancaman akan diasingkan, dibuang dan bahkan dibunuh.
Tak sampai disitu, pada tahap pemeriksaan kesehatan, para wanita ini sangat direndahkan dengan digerayangi hingga mereka telanjang bulat oleh petugas medis. Satu persatu vagina mereka di periksa dengan menggunakan alat yang terbuat dari besi panjang. Apabila benda tersebut ditekan, maka ujung alat ini akan membesar dan membuka vagina para Jugun Ianfu menjadi lebih lebar. Alat ini berfungsi untuk mendeteksi adanya penyakit di tubuh para Jugun Ianfu. Betapa mirisnya melihat para wanita pada saat itu. Dan ketika para Jugun Ianfu tidak bisa memuaskan para tentara Jepang, mereka akan diperlakukan tidak manusiawi.
Mardiyem, seorang Jugun Ianfu mengakui perlakuan tersebut. Pada umur 13 tahun ia sudah dijadikan Jugun Ianfu oleh pemerintah Jepang. Pertama kali yang ia layani adalah pria Jepang yang berambut brewok. Siksaan seperti tamparan, pukulan dan tendangan sering ia rasakan dengan umur yang terbilang belia.
Jugun Ianfu, Korban Kebijakan Politik Jepang
Keberadaan Jugun Ianfu juga tidak terlepas dari kebijakan politik Jepang di negara – negara koloni. Ada asumsi yang memperkuat kebijakan Jepang dalam mengeluarkan kebijakan Jugun Ianfu. Pertama, dengan menyediakan budak seks, moral dan keefektifan serta kinerja tentara Jepang akan meningkat. Kedua, dengan membuat rumah bordir sebagai tempat Jugun Ianfu, pemerintah Jepang akan dengan mudah mengontrol dan mengawasi penyakit kelamin. Ketiga, keberadaan rumah bordir di garis depan dapat memberikan tempat beristirahat bagi para tentara. Asumsi – asumsi tersebut yang kemudian seolah melegalkan Jepang dalam mengeluarkan kebijakan Jugun Ianfu. Setelah penjajahan Jepang selesai, stigma negatif masyarakat terhadap para wanita ini masih melekat. Namun seiring perjalanan waktu, stigma tersebut mulai memudar. Pemerintah Jepang adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas kejahatan ini.
Sumber
Baay, Reggie.2010.“Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda“. Jakarta: Komunitas Bambu