Tan Malaka merupakan tokoh yang dikenal atas pemikiran revolusioner berhaluan kiri. Tan Malaka atau Sultan Ibrahim dengan gelar Datuk Tan Malaka lahir pada tanggal 2 Juni 1897 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat dan wafat di Jawa Timur pada tanggal 21 Februari 1949 di Dusun Tunggul, Desa Selopanggung di kaki Gunung Wilis. Tan Malaka merupakan seorang aktifis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Ia adalah pejuang militan, radikal dan revolusioner. Tan Malaka telah melahirkan pemikiran – pemikiran berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perjuangannya yang dikenal gigih kemudian menjadikan Tan Malaka dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris. Namun sayang, pemerintah kala itu menganggapnya sebagai pemberontak dan harus melenyapkannya.
Biografi Tan Malaka
Tan Malaka kukuh mengkritik pemerintah kolonial Hindia – Belanda maupun pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno pasca revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun memiliki pandangan komunis, ia kerap kali terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia dan tak henti – hentinya terancam dengan penahanan oleh Belanda dan sekutu – sekutunya. Walaupun tersingkirkan, Tan Malaka dengan intelektualnya membangun sebuah jaringan anti imperialisme di kawasan Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai “Pahlawan revousi nasional” melalui parlemen dalam sebuah undang – undang pada tahun 1963.
Perjuangan Tan Malaka
Tan Malaka mendirikan partai Murba yang berasal dari pecahan Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangat gerakan modernis Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat. Tan Malaka diduga kuat menjadi tokoh penculik Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh “sekelompok orang tak dikenal” di Surakarta sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.
Pada tahun 1921, Tan Malaka mulai turun ke ranah politik. Dengan semangatnya, ia mengumpulkan pemuda – pemuda komunis di sebuah gubuk miskin di Semarang. Tan Malaka mulai berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) membahas tentang pergerakan revolusioner dalam bentuk pendidikan bagi anggota – anggota PKI dan SI guna menyusun suatu sistem tentang kursus kader serta ajaran – ajaran komunis, gerakan – gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun, Belanda nampaknya mengetahui dan melarang adanya kursus – kursus tersebut serta mengambil tindakan tegas terhadap peserta – pesertanya.
Melihat apa yang terjadi, Tan Malaka berniat mendirikan sekolah – sekolah sebagai anak SI untuk menciptakan kader – kader baru dengan alasan
- Pertama, memberi banyak jalan (kepada murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, Bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain – lain).
- Kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan – perkumpulan.
- Ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin
Bentuk nyata dalam upaya mendirikan sekolah tersebut yaitu dengan mengubah ruang rapat SI di Semarang kemudian dijadikan sekolah. Selanjutnya sekolah tersebut tumbuh sangat cepat semakin lama semakin besar.
Perjuangan yang dilakukan Tan Malaka tidak hanya sekedar mencerdaskan rakyat Indonesia, tetapi juga gerakan – gerakan melawan ketidakadilan seperti pada kaum buruh yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda melalui VSTP dan aksi – aksi pemogokan, disertai selebaran – selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat, agar rakyat terbuka pandangannya serta melihat adanya ketidak adilan yang dialaminya.
Seperti pidatonya didepan kaum buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti mengalami kegagalan maka pegawai yang diberhentikan akan didorong untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangat jelas. Tan Malaka tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul – usul dan mengadakan kritik namun juga hak untuk mengucapkan hak vetonya atas aksi – aksi yang dilakukan PKI di daerah kerjanya. Ia harus mengawasi anggaran dasar, program serta taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres – kongres Moskwa yang diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI. Sebagai pemimpin muda ia memiliki tanggung jawab berat di pundaknya. Tan Malaka dan beberapa sahabatnya memutuskan meninggalkan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.
Pada peristiwa pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajahan waktu itu. Pemberontakan ini merupakan gejolak kerusuhan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Pada saat itu, dengan mudah Belanda mampu meredam. Akibatnya, banyak pejuang yang ditangkap dan berakhir di jeruji besi. Dari tahanan tersebut, ada yang disiksa, dibunuh maupun diasingkan ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini seolah menjadi kesempatan Belanda untuk menangkap para pemberontak dan pembangkang sekalipun bukan dari jajaran partai PKI. Pada periode tersebut, perjuangan Indonesia mendapat pukulan berat akibat aksi penangkapan oleh Belanda. Perjuangan Indonesia seakan mengalami kelumpuhan dan kemunduran besar selama bertahun – tahun.
Tan Malaka yang pada saat itu berada di Bangkok berkumpul bersama temannya, Soebakat dan Djamaluddin Tamin. Pada bulan Juni 1927, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun setelahnya, Tan Malaka menulis buku berjudul “Menuju Republik Indonesia” yang terbit pertama kali di Kowloon, Hongkong, pada bulan April 1925. Buku ini ditujukan kepada pejuang intelektual baik yang ada di Indonesia maupun di Belanda.
Prof. Mohammad Yamin, dalam bukunya yang berjudul “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia”, berkomentar :
“Tak Ubahnya daripada Jefferson Washington merancang Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bobifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah …..”
Pada tanggal 3 Juli 1946, terjadi penangkapan dan penahanan selama dua setengah tahun Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan tanpa diadili. Pada bulan September 1948, meletus pemberontakan FDR / PKI di Mediun yang dipimpin Musso dan Amir Syarifuddin. Akibat peristiwa ini, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja.
Di lain sisi, akibat adanya Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville yang merupakan buah hasil dari diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifudin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba pada 7 November 1948 di Yogyakarta. Pada bulan Februari 1949, Tan Malaka menghilang ditengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Namun, pada akhirnya misteri hilangnya Tan Malaka terkuak, sejarawan asal Belanda, Harry A Poeze menuturkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahalawan kemerdekaan nasional.
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, atau tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kediri pada 21 Februari 1949.
Harry Poeze menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan wawancara – wawancara yang dilakukannya pada periode 1986 sampai 2005 dari para pelaku sejarah yang pada saat itu bersama Tan Malaka pada tahun 1949. Dengan seizin keluarga dan dukungan dari lembaga pendukung Tan Malaka, maka dipindahlah kuburan Tan Malaka ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun, Departemen Sosial serta Pemerintah Jawa Timur harus secepatnya dalam melakukan pemindahan sebelum masyarakat mengetahui dan melakukan penggalian serta mungkin berspekulasi menemukan tulang – belulang kambing dan mempercayai bahwa tulang tersebut merupakan kerangka jenazah Tan Malaka. Harry Poeze telah menemukan lokasi terakhir tewasnya Tan Malaka akibat sergapan dan penembakan yaitu di Dusun Tunggul, Desa Selopanggung di kaki Gunung Wilis.
Riwayat Tan Malaka
- Pada tahun 1912 saat Tan Malaka berumur 16 tahun, Tan Malaka dikirim ke Belanda
- Pada tahun 1919 Tan Malaka kembali ke Indonesia dan mengajar di sebuah perkebunan di Deli. Melihat adanya ketimpangan antara kaum buruh dan tuan tanah membuat Tan Malaka muda memiliki semangat radikal
- Pada tahun 1921, Tan Malaka pergi ke Semarang dan bertemu Semaun kemudian terjun ke dunia politik
- Ketika kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat menjadi pemimpin partai
– Pada bulan Januari 1922, Tan Malaka ditangkap dan dibuang ke Kupang - Pada bulan Maret 1922, Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara di Berlin, Moskwa dan Belanda
Video Tan Malaka