Biografi Imam Bonjol (Tuanku nan Renceh)

Rahmad Ardiansyah

Tuanku Imam Bonjol lahir pada tahun 1772 di Bonjol dengan nama asli Muhammad Shahab, yang merupakan putra dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayah dari Tuanku Imam Bonjol merupakan seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki.
Tuanku Imam Bonjol belajar agama di Aceh, pada tahun 1800 hingga 1802 dan beliau mendapatkan gelar Malin Basa. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat, Tuanku Imam Bonjol mendapatkan beberapa gelar, yaitu Peto Syarif, Tuanku Imam hingga Malin Basa.

Perjuangan Tuanku Imam Bonjol

Perang Paderi (1803) merupana perang dengan latarbelakang antara kaum adat dengan kaum Paderi atau kaum agama yang melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum Paderi sendiri berusaha untuk membersihkan ajaran agama islam yang sudah banyak diselewengkan, tujuan nya untuk mengembalikan ajaran agama islam yang murni.

Perang Paderi diawali dengan timbulnya peperangan yang didasari oleh keinginan kalangan pemimpin ulama yang ada di kerajaan Pagaruyung. Keinginan nya adalah untuk menerapkan serta menjalankan syariat Islam sesuai dengan ahlus sunnah wal jamaah dan berpegang teguh pada Alqur’an dan sunnah Rasulullah SAW.

Kemudian para pemimpin ulama yang sudah tergabung dengan Harimau dan Salapan meminta Tuanku Imam Bonjol untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung serta kaum adat untuk meninggalkan kebiasaan yang dilakukan tetapi tidak sesuai dengan syariat Islam. Pada beberapa kesepakatan ada pertentangan yang terjadi diantara kaum Padri dengan Kaum Adat sehingga tidak ada kata sepakat. Seiring itu, di beberapa Negeri saat Pagarutung bergejolak, dan hingga akhirnya Kaum Padri dibawah kepemimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815.

Pertempuran tersebut pecah di Kota Tengah dekat Batu sangkar, Sultan Arifin Mungsyah bahkan harus terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan pergi ke Lubukjambi. Pada 21 Februari 1821, Kaum Adat secara resmi bekerjasama dengan pemerintahan Hindia-Belanda untuk berperang melawan Kaum Padri. Dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, kompensasi yang diberikan adalah Belanda mendapatkan hak akses dan penguasaan atas wilayah Darek (pedalaman Minangkabau).

Perjanjian tersebut juga dihadiri oleh sisa keluarga dari Dinasti Pagaruyung yang kini dipimpin oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar. Perlawanan yang dilakukan pasukan Padri memang cukup tangguh, sehingga Belanda kesulitan untuk mengalahkannya. Karena itulah perwakilan Belanda, yaitu Gubernur Jendral Johannes Van Den Bosch mengajak pemimpin kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai.

Perjanjian untuk berdamai tersebut menggunakan maklumat perjanjian Masang tahun 1824, tetapi perjanjian tersebut akhirnya dilanggar sendiri oleh Belanda yang mulai menyerang Negeri Pandai Sikek. Tahun 1833, akhirnya perang berubah jadi perang antara Kaum Adat dan Kaum Paderi melawan Belanda. Kedua pihak bersatu untuk melawan Belanda karena pihak tersebut yang semula bertentangan akhirnya bersatu untuk melawan Belanda.

Akhirnya para kaum Adat merasa menyesal karena sudah membawa Belanda ke tengah-tengah mereka hingga menyengsarakan rakyat yang ada. Akhirnya kedua Kaum Adat dan Padri bersatu hingga dikenal dengan Plakat Puncak Pato di Tabek Patah. Penyerangan dan pengepungan dilakukan oleh Belanda pada benteng kaum padri di Bonjol terjadi sekitar 6 bulan lamanya, yaitu 16 maret hingga 17 Agustus 1837. Pasukan tersebut dimpimpin oleh Jenderal dan perwira Belanda yang sebagian besar sebenarnya merupakan pribumi dari berbagai suku seperti Bugis, Madura, jawa hingga Ambon.

Belanda berusaha merebut Bonjol hingga mengganti komandan nya sebanyak 3x, Bonjol merupakan negeri kecil dengan benteng tanah liat yang dikelilingi oleh parit disepanjang areanya. Belanda akhirnya mampu menaklukkan Bonjol pada tanggal 16 agustus 1837, Benteng Bonjol dikuasai setelah sekian lama dikepung oleh Belanda.

Pada Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding, tetapi setibanya ditempat, beliau ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindah lagi ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, Manado. Di tempat terakhir itulah akhirnya Tuanku Imam Bonjol wafat pada tanggal 8 November 1864m Tuanku Imam Bonjol akhirnya dimakamkan di tempat tersebut.

Bagikan:

Tags

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang, Calon Guru Penggerak angkatan 11 Kota Semarang dan kontributor Modul Pembelajaran MGMP Sejarah Kota Semarang.

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah