Beliau dilahirkan oleh ibunya yang kala itu masih berumur 14 tahun, usianya bahkan terlalu muda bagi perempuan Jawa Modern untuk menikah. Karena itulah Pangeran Diponegoro dididik oleh orang yang lebih tua, yaitu nenek buyutnya. Beliau juga diasuh oleh istri dari Sultan Hamengkubuono III dengan penuh kasih sayang, hingga akhirnya Pangeran Diponegoro memiliki sikap yang sederhana, disiplin, kesatria dan punya jaringan sosial yang bagus.
Pangeran Diponegoro sendiri punya nama kecil, yaitu Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Karena menyadari bahwa kedudukan nya adalah putra seorang selir, Pangeran Diponegoro menolak keinginan Ayahnya untuk mengangkat beliau menjadi Raja. Pangeran Diponegoro menolak karena tahu bahwa ibunya bukanlah seorang permaisuri.
Pangeran Diponegoro sendiri memiliki 3 orang istri, yakni Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnangingsih, dan Raden Ayu Ratnaningrum. Pangeran Diponegoro memang lebih tertarik dengan kehidupan keagamaan dan lebih merakyat, sehingga beliau lebih suka tinggal di Tegalrejo, yang merupakan tempat tinggal eyang buyut dari putrinya, permaisuri dari HB 1 Ratu Ageng Tegalrejo dari pada harus tinggal di keraton.
Pemberontakan pada keraton dimulai sejak kepemimpinan dari Hamengkubuono V pada tahun 1822. Saat itu Pangeran Diponegoro menjadi perwakilan yang mendampingi Hamengkubuono V yang umurnya masih 3 tahun. Pemerintahan kala itu sehari-harinya dipegang oleh Patih Danurejo, bersama Residen Belanda, dan cara perwalian seperti itulah tidak disetujui oleh Pangeran Diponegoro.
Riwayat Perjuangan Pangeran Diponegoro
Perjuangan Pangeran Diponegoro melawan Belanda dimulai dari perang Diponegoro, yang merupakan perang besar dan menyeluruh berlangsung selama 5 tahun. Dari tahun 1825-1830 yang terjadi di tanah Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang antara pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jendral De Kock melawan pribumi yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.
Pada pertengahan bulan mei 1825, pemerintah membangun jalan di
Yogyakarta ke Magelang lewat muntilan. Ternyata rencana tersebut
dibelokkan melewati Tegalrejo, dan rupanya salah satu sektornya
melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro marah dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda dan akhirnya terjadilah perang
Diponegoro. Dalam perang ini banyak korban yang berjatuhan, karena itulah perang Diponegoro menjadi sejarah penting bagi Indonesia.
Bukan hanya korban jiwa, tetapi korban harta juga dilakukan, bahkan dalam dokumen-dokumen Belanda yang dikutip oleh para ahli sejarah mengungkapkan bahwa sekitar 200.000 orang harus meninggal, sementara itu dari pihak Serdadu Belanda sendiri ada sekitar 8000 korban. Perang Diponegoro menjadi pertempuran besar atau disebut juga “Perang jawa”.
Pangeran Diponegoro Wafat
Pangeran Diponegoro, istrinya Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri hingga para pengikut lainnya seperti Banteng Wereng, Mertoleksono hingga Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado saat itu. Pada tanggal 3 Mei 1830, Pangeran Diponegoro dan rombongan diberangkatkan menggunakan kapal Pollux, dan ditawan di benteng Amsterdam.
1834 mereka dipindahkan ke Benteng Rotterdam yang ada di Makassar, Sulawesi Selatan, lalu pada tanggal 8 Januari 1855, Pangeran Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Dalam perjuangan beliau, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya yang bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo.