Sejarah Bhinneka Tunggal Ika

Rahmad Ardiansyah

Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan Indonesia. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuna dan seringkali diterjemahkan dengan kalimat “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Diterjemahkan per patah kata, kata bhinneka berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Jawa Kuna berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuna yaitu kakawin Sutasoma, karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakawin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antara umat Hindu Siwa dengan umat Buddha. Kutipan ini berasal dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap seperti di bawah ini:

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, Bhinnêka
tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan: Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa dilontarkan secara lebih nyata masa Majapahit sebenarnya telah dimulai sejak masa Wisnuwarddhana, ketika aliran Tantrayana mencapai puncak tertinggi perkembangannya, karenanya Nararyya Wisnuwarddhana didharmmakan pada dua loka di Waleri bersifat Siwa dan di Jajaghu (Candi Jago) bersifat Buddha. Juga putra mahkota Krtanagara (Nararyya Murddhaja) ditahbiskan sebagai JINA = Jnyanabajreswara atau Jnyaneswarabajra. Inilah fakta bahwa Singhasari merupakan embrio yang menjiwai keberadaan dan keberlangsungan kerajaan Majhapahit. Narayya Wijaya sebagai pendiri kerajaan (the founder) tiada lain kerabat sekaligus menantu Sang Nararyya Murddhaja (Sri Krtanagara = raja Singhasari terakhir).

Perumusan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharmma Mangrwa oleh Mpu Tantular pada dasarnya pernyataan daya kreatif dalam upaya mengatasi keanekaragaman kepercayaan dan keagamaan, sehubungan dengan usaha bina negara kerajaan Majapahit kala itu. Telah memberikan nilai-nilai inspiratif terhadap sistem pemerintahan pada masa kemerdekaan, telah sepenuhnya menyadari bahwa menumbuhkan rasa dan semangat persatuan itulah Bhinneka Tunggal Ika – Kakawin Sutasoma (Purudasanta) diangkat menjadi semboyan yang diabadikan lambang NKRI Garuda Pancasila. Dalam Kakawin Sutasoma (Purudasanta), pengertian Bhinneka Tunggal Ika lebih ditekankan pada perbedaan bidang kepercayaan juga anekaragam agama dan kepercayaan di kalangan masyarakat Majhapahit. Dalam lambang NKRI, Garuda Pancasila, pengertiannya diperluas, menjadi tidak terbatas dan diterapkan tidak hanya pada perbedaan kepercayaan dan keagamaan, melainkan juga terhadap perbedaan suku, bahasa, adat istiadat (budaya) dan beda kepulauan (antara nusa) dalam kesatuan nusaantara raya. Sesuai makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang dapat diuraikan bhinna-ika- tunggal – ika berarti berbeda-beda tetapi pada hakekatnya satu. Sebab meskipun secara keseluruhannya memiliki perbedaan tetapi pada hakekatnya SATU, satu bangsa dan negara Republik Indonesia. Lambang NKRI Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan Peraturan Pemerintah nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17 Oktober diundangkan pada tanggal 28 Oktober 1951 tentang Lambang Negara. Bahwa usaha bina negara baik pada masa pemerintahan Majhapahit maupun pemerintahan NKRI berlandaskan pada pandangan sama yaitu semangat rasa persatuan, kesatuan dan kebersamaan sebagai modal dasar dalam menegakkan negara.

Sementara semboyan “Tan Hana Darmma Mangrwa” digunakan sebagai motto Lambang Pertahanan Nasional (Lem Ham Nas). Makna kalimat ini adalah “Tidak ada kenenaran yang bermuka dua” kemudian oleh LemHaNas semboyan kalimat tersebut diberi pengertian ringkas dan praktis yakni “Bertahan karena benar” “Tidak ada kebenaran yang bermuka dua” sesungguhnya memiliki pengertian agar hendaknya setiap insan manusia senantiasa berpegang dan berlandaskan pada kebenaran yang satu. Bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa adalah ungkapan yang memaknai keberadaan aneka unsur kepercayaan pada masa Majhapahit. Tidak hanya Siwa dan Buddha tetapi juga sejumlah aliran (sekte) yang sejak awal telah dikenal lebih dahulu sebagian besar anggota masyarakat Majhapahit yang bersifat majemuk. Sehubungan bahwa semboyan tersebut embrio dari Singhasari yakni pada masa Wisnuwarddhana sang dhinarmmeng ring Jajaghu (Candi Jago), maka baik semboyan bhinneka tunggal ika maupun bangunan Candi Jago kemudian disempurnakan pada masa Majhapahit. Oleh sebab itu kedua simbol (wijaksara maupun dan bangunan) tersebut lebih dikenal sebagai hasil peradaban era Majhapahit. Padahal sesungguhnya merupakan hasil proses perjalanan sejarah sejak awal. Dari segi agama dan kepercayaan Majhapahit merupakan masyarakat majemuk. Di samping mengesankan adanya beberapa aliran agama dan kepercayaan yang berdiri sendiri, juga gejala sinkretisme yang sangat menonjol antara Siwa-Budha dan pemujaan roh nenek moyang, namun kepercayaan Pribumi asli tetap bertahan, bahkan mengambil peranan tertinggi dan terbanyak di kalangan mayoritas masyarakat. Ketika itu masyarakat Majapahit terbagi:

  • Golongan pertama, orang-orang yang beragama Islam yang datang dari barat dan tinggal di Majhapahit; 
  • Golongan kedua, orang-orang Cina kebanyakan dari Canton, Chang-chou dan Ch’uan-chou (terletak di Fukien) yang menyingkir dan bermukim di sini. Banyak dari mereka yang masuk agama Islam dan bahkan menyiarkan agama tersebut; 
  • Golongan ketiga, penduduk pribumi yang bila berjalan tanpa alas kaki, rambutnya disanggul di atas kepala. Mereka percaya sepenuh-nya kepada roh-roh leluhur

Butir ketiga inilah yang bersesuaian dengan kebiasaan menyeru roh roh leluhur disamping dewa-dewa Hindu dan dicantumkan dalam prasasti-prasasti. Hakekatnya merupakan tradisi terus berlanjut, dimulai sejak kerajaan-kerajaan pertama di Jawa Tengah, Mataram kuno Jawa Tengah yang didirikan (the founder) oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya – tiada lain adalah Rahiyang Sanjaya dari Kerajaan Galuh yang berpusat di Ciamis Tatar Sunda. Roh leluhur tersebut diharapkan dan dimohon pertolongannya men-jaga dan menjadi saksi serta merestui kutukan bagi mereka yang berani melanggar surat keputusan raja. Tercatat dalam Nagarakertagama (16:2-4) pemeluk Budha dari kalangan rakyat biasa terbatas, para bhujangga dan pendeta Budha bertugas ke daerah-daerah mengumpulkan upeti-upeti sangat dilarang berkunjung dan menyiarkan agama ke bagian barat Majhapahit. Karena di daerah tersebut agama Budha tidak memiliki pengikut. Pendeta Budha hanya diperbolehkan menyebarkan agamanya ke timur Majapahit terutama Bali dan Gurun (Lombok?). Sedangkan para pendeta Hindu-Saiwa bebas berkunjung dan menyiarkan agamanya dimana saja di dalam wilayah kekuasaan Majhapahit. Kalangan rakyat Kerajaan Majhapahit ada yang menganut
Hindu tapi penganut agama Budha terbatas, dan yang terbanyak di samping adalah penganut religi asli yakni kepercayaan yang pokok pemujaannya adalah mengagungkan Roh Leluhur. Masa Majhapahit adalah masa menandai kebangkitan kembali kepercayaan roh nenek moyang yang telah hidup dari masa sebelumnya terutama sejak periode Jawa Tengah telah terdesak ke pinggir dengan kehadiran inovasi luar asing. Kebangkitan tersebut tidak hanya terjadi di kalangan bawah (rakyat) tetapi adanya gejala perubahan pada berbagai aspek secara global dalam terutama dalam bidang kesenian keagamaan. Pola halaman dan orientasi bangunan suci kerajaan berubah mengikuti pola dan tatanan gunung yang disusun mundur ke belakang dan kian ke atas kian tinggi yang diakhiri pada suatu punden sebagai unsur paling suci, sebagaimana pola bangunan suci Candi Jago, Candi Panataran dan mayoritas umumnya bangunan-bangunan suci di Jawa Timur. Inilah bukti, sekaligus fakta gejala kebangkitan kepercayaan Asli merasuk dan menjangkau secara formal ke kalangan atas (bangsawan).

Bagikan:

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang, Calon Guru Penggerak angkatan 11 Kota Semarang dan kontributor Modul Pembelajaran MGMP Sejarah Kota Semarang.

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah