Di Balik Langkanya Macan, Harimau serta Banteng Jawa Dari Sudut Pandang Sejarah

Rahmad Ardiansyah

Artikel ini akan mengisahkan tentang budaya Rampogan atau bisa dibilang gladiator Jawa. Dalam tradisi Jawa kuno, terdapat suatu tradisi yang bernama Rampogan Macan atau bisa juga disebut Rampokan. Kata Rampog dalam permainan ini dapat diartikan sebagai rayahan atau rebutan dalam bahasa Indonesia dimana ratusan orang membunuh satu harimau dengan tombak dengan cara rayahan. Zaman dahulu, orang Jawa masih menyamakan istilah dari hewan macan dan harimau walaupun sebenarnya berbeda.

Awal diselenggarakannya tradisi ini belum diketahui secara pasti dan diperkirakan ada ketika zaman Hindu Buddha. Namun secara pasti, tradisi ini sudah dilakukan pada abad ke 18 sampai 19. Tradisi ini pada awalnya hanya dilakukan oleh Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta dan hanya diselenggarakan oleh para ningrat keraton. Di Kesunanan Yogyakarta tradisi Rampogan sudah dimulai sejak zaman Amangkurat II berkuasa. Acara ini dilakukan di alun – alun utara untuk menyambut tamu agung. Tamu agung ini adalah para pembesar dari Belanda seperti Gubernur Jendral. Pada tradisi Rampogan, pada sesi awal adalah mengadu macan dengan banteng.

Paku Buwono X sangat menyukai acara Rampogan Macan ini. Hewan – hewan dalam tradisi Rampogan memang sudah dipersiapkan dan dipelihara di dalam kandang di sudut alun – alun. Hewan ini adalah hasil tangkapan warga yang akan dipergunakan dalam acara Rampogan.

Acara Rmpogan dimulai pada pagi hari dan puncak acara berupa pertarungan macan dan banteng pada siang hari. Setelah para pembesar dari Belanda datang dan berkumpul, para prajurit bersiap dengan formasi mengelilingi arena pertarungan di alun – alun. Para prajurit ini berbaris dalam 4 hingga 5 lapis barisan secara rapat sedangkan para ningrat kasunanan dan para pembesar Belanda melihat dari panggung yang dinamakan pagelaran. Sultan, Sunan dan pemesar dari Belanda duduk bedampingan diatas panggung sedangkan rakyat jelata menonton dengan berdesak – desakan bahkan tidak sedikit yang bahkan naik ke pohon agar dapat dengan leluasa melihat acara Rampogan ini.

Setelah semua siap, kandang macan akan di pindah ke tengah arena serta seorang abdi dalem yang pemberani berjoget dan menaiki kandang tersebut serta membukanya. Terkadang tidak jarang pula ketika kandang dibuka macan tersebut langsung mengamuk, namun terkadang malah malas – malasan dan engan keluar dari kandang. Oleh karena itu, biasanya prajurit kerajaan menakut – nakuti macan tersebut dengan api, menusuk dengan tombak serta cara – cara lain agar macan tersebut mengamuk. Begitu pula dangan banteng, terkadang banteng akan disiram dengan cairan cabe sehingga banteng tersebut merasakan panas pada permukaan kulitnya dan mengamuk.

Banteng yang gerakannya tak segesit macan malah biasanya yang memenangkan pertandingan. Hal ini disebabkan karena badannya yang lebih besar dan ujung tanduknya dikerik terlebih dahulu sehingga sangat runcing. Namun tak jarang pula macan memenangkan pertandingan melawan banteng walupun pada akhirnya macan tersebut juga akan mati. Macan yang hidup akan dibunuh beramai – ramai oleh para prajurit dengan cara ditombaki. Macan yang berlari kesana kemari dalam arena akan terus ditombaki hingga merasa kelelahan dan kehabisan darah kemudian mati. Walaupun begitu, tak jarang juga macan dapat menembus brikade para prajurit. Macan tersebut berlarian ke arah penonton sehingga membuat para penonton lari tunggang langgang menghindari macan tersebut. Para prajurit akan terus mengejar macan tersebut hingga dapat dan biasanya pasti akan mati di tangan para prajurit. Inilah puncak dari acara Rampogan dimana terdapat simbolisasi dalam acara ini.

Simbolisasi memang sangat akrab bagi orang Jawa. Macan yang mati dengan luka dari hujaman tombak dilambangkan seperti dalam tokoh pewayangan Abimanyu saat menjadi Senapati saat Perang Baratayuda Jayabinangun, ketika dikeroyok oleh Kurawa dan pada akhirnya gugur dengan luka parah. Acara Rampogan kental akan unsur magis. Acara ini mempresentasikan Belanda sebagai macan dan banteng sebaga pribumi. Oleh karena para pribumi ditundukkan Belanda, maka para pribumi dengan emosi yang tinggi melampiaskan dalam acara Rampogan dengan harapan banteng akan menjadi pemenang dan macan akan ditumpas bersama – sama.

Pada perkembangannya, acara ini kemudian dilakukan di alun – alun kadipaten oleh para bupati setempat. Rampogan di Jawa Timur nampaknya lebih menggambarkan pembantaian terhadap macan daripada pertarungan banteng dan macan. Tercatat di kota Blitar adalah yang paling sering mengadakan acara Rampogan. Acara Rampogan ini biasanya diselenggarakan pada Hari Raya Idul Fitri atau orang Jawa menyebutnya Bakda.

Kandang macan dibuat sangat rumit dalam hal pembuatan dan cara membukanya. Kandang ini terbuat dari pohon aren dan ketika di letakkan di tengah alun – alun terdapat sebuah tali yang apabila ditarik maka kandang tersebut akan hancur berantakan. Namun sebelumnya terdapat kunci yang kemudian ditarik oleh kepala desa yang disebut Gandek. Ia beraksi layaknya abdi dalem di acara Rampogan ala Kraton.

Puncak acara Rampogan di kadipaten sama dengan di Kraton, namun uniknya para prajurit di tingkat kadipaten adalah orang – orang yang kurnag terlatih sehingga tak jarang banyak dari mereka lari ketakutan ketika berhadapan dengan macan. Ada juga yang mengedapankan alasan magis dalam tombak mereka. Acara Rampogan di kadipaten lebih bermakna sebagai ruwatan untuk mengusir roh jahat dimana macan dilambangkn sebagai roh jahat yang mati dan hilang diusir beramai – ramai lewat pembantaian.

Acara ini kemudian tidak dilakukan lagi karena dua alasan. Pertama karena populasi harimau danmacan Jawa yang semakin menyusut tajam. Keuda karena adanya larangan dari pemerintah Belanda. Tradisi Rampogan hanya bisa di lihat di pewayangan. pada periode 1980an, harimau Jawa sudah dinyatakan punah dengan habitat terakhir di Taman Meru Beiti di Jember pada 1996. Walaupun demikian, banyak warga yang mengaku melihat harimau di hutan – hutan gunung Jawa. Nampaknya masyarakat tersebut menganggap saudara harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) yaitu macan, seperti macan kumbang atau tutul (Panthera pardus melas) yang juga sangat jarang terlihat.

Bagikan:

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang. Sejak menjadi pelajar saya hobi terkait IT terkhusus pengelolaan blog. Selain mengelola website Idsejarah.net, saya juga menjadi admin web mgmpsejarahsmg.or.id, admin web sma13smg.sch.id sekaligus menjadi salah satu penulis LKS di Modul Pembelajaran MGMP Sejarah SMA Kota Semarang. Saat ini saya sedang menjalankan program Calon Guru Penggerak angkatan 10. Projek web Idsejarah.net saya harapkan akan menjadi media untuk mempermudah guru sejarah dalam mengakses artikel, video, dan media pembelajaran terkait pembelajaran sejarah. Website ini akan terus dikelola dan dikembangkan agar semakin lengkap. Kedepannya besar harapan saya untuk mengembangkan aplikasi android untuk guru sejarah. Selain mengelola website, saya juga aktif mengelola channel Youtube Idsejarah sebagai media berekspresi platform video online.

1 thought on “Di Balik Langkanya Macan, Harimau serta Banteng Jawa Dari Sudut Pandang Sejarah”

  1. Kisah rampogan/rebutan macan ini sungguh membuat hati saya untuk mendalami pertunjukan jaman dahulu ini tetapi dari banyaknya artikel yang saya baca kenapa tidak ada yang mencamtukan bukti autentik seperti halnya buku yang mencatatkan kejadian tersebut dsb. memang foto nya ada, mungkin admin bisa membantu saya terima kasih

    Reply

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah