Aksi – Aksi Tritura

Rahmad Ardiansyah

Diangkatnya Soeharto sebagai presiden kedua di Indonesia tidak terlepas dari peristiwa G30SPKI. Peristiwa tersebut menjadi akhir dari pemerintahan Soekarno dan partai PKI dari percaturan politik Indonesia. Peristiwa tersebut seolah menjadi ajang pelampiasan kemarahan rakyat. Keadaan politik dan keamanan pada saat itu menjadi kacau, inflasi mencapai 600%, keadaan devaluasi rupiah serta kenaikan harga barang menyebabkan timbulnya keresahan di masyarakat. Aksi – aksi tuntutan penyelesaian yang seadil – adilnya terhadap pelaku G30SPKI semakin meningkat.Gerakan – gerakan tuntutan kepada pemerintah atas penyelesaian kasus G30SPKI dipelopori oleh aksi pemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI), kemudian KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dan organisasi – organisasi lain. Kesatuan tersebut menuntut adanya penyelesaian politik peritiwa G30SPKI dan akhirnya pada tanggal 26 Oktober 1965 lahirlah suatu front yang bernama Front Pancasila yang merupakan organisasi yang menuntut pembubaran PKI.

Situasi semakin lama semakin bertambah panas oleh keadaan ekonomi yang memburuk. Perasaan tidak puas terhadap pemerintahan Soekarno mendorong para pemuda dan mahasiswa mencetuskan Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat atau yang lebih dikenal dengan nama Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).

Pada tanggal 12 Januari 1966, Front Pancasila yang dipelopori KAMI dan KAPPI mendatangi DPR-GR dan mengajukan Tri Tuntutan Rakyat :

  1. Pembubaran PKI
  2. Pembersian kabinet dari unsur – unsur G30SPKI
  3. Penurunan harga/perbaikan ekonomi. 

Tuntutan rakyat agar Presiden Soekarno membubarkan PKI tidak dipenuhi. Untuk menenangkan rakyat, Soekarno kemudian melakukan perubahan pada Kabinet Dwikora menjadi 100 menteri, namun tindakan ini belum juga membuat rakyat puas karena rakyat menganggap ada beberapa tokoh G30SPKI yang masih bercokol di Kabinet Dwikora. Ketika pelantikan 100 Menteri Dwikora dilakukan yaitu pada tanggal 24 Februari 1966, para mahasiswa, pelajar, dan pemuda melakukan demonstrasi dengan memenuhi jalan – jalan menuju Istana Merdeka.

Aksi ini kemudian dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menimbulkan bentrokan dan menyebabkan tewasnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim. Keesokan harinya, pada tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu Presiden Soekarno sendiri, diputuskan pembubaran organisasi KAMI .

Insiden berdarah pada saat bentrokan antara mahasiswa dan Cakrabirawa membuat tensi politik memanas. Keputusan pembubaran KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan  “Ikrar Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI serta mengajak rakyat meneruskan perjuangan. Perjuangan KAMI selanjutnya diteruskan oleh Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Para mahasiswa kemudian membentuk Resimen Arief Rachman Hakim dan melanjutkan aksi KAMI.

Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila yang meminta diadakan peninjauan kembali pembubaran KAMI. Dalam keadaan tersebut para pelajar dan mahasiswa melakukan demonstrasi pada tanggal 8 Maret 1966 dengan menyerbu dan mengobrak abrik gedung Departemen Luar Negeri, kemudian membakar kantor berita Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua. Aksi ini kemudian membuat Soekarno emosi.

Pada hari yang sama, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah agar seluruh komponen bangsa waspada terhadap usaha – usaha “membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan”, serta bersiap untuk menghancurkan setiap usaha langsung maupun tidak langsung yang bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan atau kebijakan Presiden, serta memperhebat “pengganyangan terhadap Nekolim serta proyek “British Malaysia”.

Bagikan:

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang, Calon Guru Penggerak angkatan 11 Kota Semarang dan kontributor Modul Pembelajaran MGMP Sejarah Kota Semarang.

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah