Perkembangan Arsitektur Indis di Semarang
Percampuran budaya Eropa (Belanda) dengan budaya lokal yang meliputi seluruh aspek tujuh unsur universal budaya, menimbulkan budaya baru yang didukung oleh sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia yang disebut dengan budaya Indis. Budaya Indis kemudian ikut mempengaruhi gaya hidup masyarakat di Hindia-Belanda. Gaya hidup Indis ikut mempengaruhi kehidupan keluarga pribumi melalui jalur-jalur formal misalnya melalui media pendidikan, hubungan pekerjaan, perdagangan dan lain sebagainya. Selain gaya hidup dengan berbagai aspeknya, bangunan rumah tinggal mendapat perhatian dalam perkembangan budaya Indis karena rumah tempat tinggal merupakan tempat untuk ajang kegiatan sehari-hari.
Arsitektur Indis merupakan hasil dari proses akulturasi yang panjang. Akulturasi dirumuskan sebagai perubahan kultural yang terjadi melalui pertemuan yang terus menerus dan intensif atau saling mempengaruhi antara dua kelompok kebudayaan yang berbeda. Di dalam pertemuan budaya terjadi tukar-menukar ciri kebudayaan yang merupakan pembauran dari kedua kebudayaan tersebut atau dapat juga ciri kebudayaan dari kelompok yang lain, dan dalam penggunaannya cenderung diartikan hanya terbatas pada pengaruh satu kebudayaan atas kebudayaan yang lain (unilateral), misalnya dalam hal ini pengaruh kebudayaan modern terhadap kebudayaan primitif.
Proses akulturasi tersebut bisa muncul bila ada: (i) golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, (ii) saling bergaul langsung secara intensif untuk jangka waktu yang relatif lama, sehingga (iii) kebudayaan-kebudayaan dari golongan tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri menjadi kebudayaan campuran. Proses yang timbul tersebut bisa terjadi jika terpenuhinya suatu prasyarat yaitu bila terjadi saling penyesuaian diri sehingga memungkinkan terjadi kontak dan komunikasi sebagai landasan untuk dapat berinteraksi dan memahami diantara kedua etnis. Keadaan alam tropis pulau Jawa menentukan dalam mewujudkan hasil karya budaya seperti bentuk arsitektur rumah tinggal, cara berpakaian, gaya hidup dan sebagainya.
Wujud dari isi kebudayaan yang terjadi dalam proses akulturasi itu ada tiga macam, yaitu:
a. berupa sistem budaya (cultural system) yang terjadi dari gagasan pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, pandangan, undang-undang, dan sebagainya, yang berbentuk abstrak yang dimiliki oleh pemangku kebudayaan yang bersangkutan merupakan ide-ide (ideas). Cultural System ini kiranya tepat disalin dalam bahasa Indonesia dengan “tata budaya kelakuan”.
b. berbagai aktivitas (activities) para pelaku seperti tingkah berpola upacara-upacara yang wujudnya kongkret dan dapat diamati yang disebut sosial sistem atau sistem kemasyarakatan yang berwujud kelakuan.
c. berwujud benda (artifacts), yaitu benda-benda, baik dari hasil karya manusia maupun hasil tingkah lakunya yang berupa benda yang disebut material culture atau hasil karya kelakuan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda, di pulau Jawa telah ada pendatang yang berasal dari India, Cina, Arab dan Portugis. Mula-mula orang-orang Belanda itu hanya datang untuk berdagang tapi belakangan menjadi penguasa. Pada awalnya mereka membangun gudang-gudang untuk menimbun rempah-rempah. Adanya modal yang sangat besar dan kuat Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mendirikan gudang penyimpanan dan kantor dagang. Sekelilingnya diperkuat dengan benteng pertahanan sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal. Benteng semacam ini menjadi hunian pada masa-masa awal orang Belanda di pulau Jawa. Segala kesibukan perdagangan dan kehidupan sehari-hari berpusat di benteng. Gubernur Jenderal Valckenier (1737-1741) adalah pejabat tertinggi terakhir yang tinggal dalam benteng. Setelah itu, para gubernur jenderal penggantinya tinggal di luar benteng setelah keadaan di luar kota aman, secara bertahap mereka berani bertempat tinggal dan membangun rumah di luar tembok kota.
Para pejabat tinggi VOC membangun rumah-rumah peristirahatan dan taman luas, yang lazim disebut landhuis dengan patron Belanda dari abad XVIII. Ciri-ciri awalnya masih dekat sekali dengan bangunan yang ada di Belanda. Secara perlahan mereka membangun rumah bercorak peralihan pada abad XVIII. Contoh peralihan menuju ke bentuk rumah gaya Indis yang dibangun pada abad ke-18 antara lain rumah Japan, Citrap dan Pondok Gede. Cirinya bilik-bilik berukuran luas dan banyak. Ini menunjukkan bangunan landhuis dihuni oleh keluarga beranggota banyak yang terdiri atas keluarga inti dengan puluhan bahkan ratusan budaknya. Gaya hidup semacam di landhuizen seperti itu tidak dikenal di negeri Belanda.
Di Semarang ciri-ciri bangunan rumah bergaya Indis salah satu contohnya adalah bekas bangunan rumah tempat tinggal Residen Semarang yang sekarang dijadikan sebagai Rumah Dinas Gubernur Jawa Tengah. Rumah ini memiliki bentuk bangunan yang besar dan luas. Kemewahannya terlihat dari berbagai ragam hias yang terdapat di rumah ini. Hal ini bisa dipergunakan sebagai tolak ukur derajat dan kekayaan pemiliknya. Gaya hidup yang cenderung dijadikan sebuah lambang status sosial yang tinggi. Rumah ini dikenal masyarakat Semarang dengan sebutan De Vredestein atau Istana Perdamaian. Pada akhirnya lama-kelamaan kota-kota pionir dalam hal ini kota Semarang yang terletak di hilir sungai dianggap kurang sehat karena dibangun di atas bekas rawa-rawa. Mereka kemudian memindahkan tempat tinggalnya ke pemukiman baru di daerah pedalaman Jawa yang dianggap lebih baik dan sehat. Di daerah ini mereka mendirikan rumah tempat tinggal dan kelengkapannya yang disesuaikan dengan kondisi alam dan kehidupan sekeliling dengan mengambil unsur budaya setempat.
Ciri-ciri Belanda pada bangunan rumah Indis pada tingkat awal bisa dimengerti karena pada awal kedatangan mereka membawa kebudayaan murni dari negeri Belanda. Akibatnya lama-kelamaan budaya mereka bercampur dengan kebudayaan Jawa sehingga hal tersebut ikut mempengaruhi gaya arsitektur rumah mereka. Selain itu, perubahan pada bangunan mereka dikarenakan iklim dan cuaca yang berbeda antara di negeri Belanda dengan di tanah Jawa sehingga bangunan mereka disesuaikan dengan iklim dan lingkungan setempat. Rumah sebagai tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan hidup yang utama bagi manusia di samping kebutuhan sandang dan pangan. Oleh sebab itu, rumah dibutuhkan manusia bukan hanya sebagai tempat tinggal namun juga sebagai tempat berlindung dari ancaman alam. Di dalam menempati suatu bangunan rumah, pemiliknya berusaha untuk mendapatkan rasa senang, aman dan nyaman. Untuk mendapatkan ketenteraman hati dalam menempati bangunan rumah ini, orang berusaha untuk memberi keindahan pada bangunan tempat tinggalnya maka dipakailah berbagai macam hiasan, baik hiasan yang konstruksional atau yang tidak konstruksional.
Arsitektur bukan hanya sebuah bangunan atau monumen yang tanpa jiwa. Arsitektur rumah tinggal sebagai hasil budaya merupakan perpaduan karya seni dan pengetahuan tentang bangunan sehingga arsitektur juga menjelaskan berbagai aspek keindahan dan konstruksi bangunan. Seorang arsitektur dituntut bukan hanya membangun sebuah bangunan semata tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek lainnya sehingga memiliki jiwa dan karakter yang menjadi ciri khas dari sebuah bangunan.
Gaya atau style dapat dijadikan identifikasi dari gaya hidup, gaya seni budaya atau perubahan suatu masyarakat. Suatu karya yang berupa sebuah bangunan atau barang dapat dikatakan mempunyai gaya bila memiliki bentuk (vorm), hiasan (versening) dan benda itu selaras (harmonis) sesuai dengan kegunaan dan bahan materiil yang digunakan.
Sebuah karya arsitektur merupakan sebuah karya seni yang rumit karena memadukan imajinasi khusus yang digabungkan dengan teori-teori bangun ruang, sehingga harus dipelajari dan disertai dengan latihan-latihan, serta percobaan – percobaan berulang kali. Di dalam arsitektur bangunan ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu masalah kenyamanan (convinience), kekuatan atau kekukuhan (strength), dan keindahan (beauty). Ketiga faktor tersebut selalu hadir dan saling berkaitan erat dalam struktur bangunan yang serasi. Seorang arsitek yang arif tidak akan mengabaikan ketiga faktor tersebut karena faktor ini merupakan dasar penciptaan yang memberikan efek estetis.
Orang-orang Belanda yang datang dan menetap di Indonesia telah mampu menjawab tantangan dari alam lingkungan Jawa yang tropis. Di dalam proses membangun tempat tinggalnya mereka mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan alam setempat. Selain struktur bangunan yang disesuaikan dengan fungsi dari tiap-tiap bagian rumah mereka perhatikan dengan ketat. Gaya hidup sehari-hari dari golongan Indis ini menjadikan perlu adanya penyesuaian pada bagian-bagian rumah yang mereka tempati. kebiasaan sehari-hari dari masyarakat Indis ini selalu menunjukkan kemewahan yang menjadi simbol prestise mereka. Aktifitas yang tidak bisa dilewati dalam keseharian mereka seperti acara minum teh, tidak bisa dilakukan di bagian dalam rumah, karena acara minum teh merupakan sebuah cara untuk menjalin hubungan kekeluargaan, maka diperlukan suatu tempat dengan suasana santai. Oleh sebab itu, dipilihlah bagian beranda rumah. Selain tempat ini luas, penghuninya bisa menikmati hijau tanaman yang dirawat dengan baik di halaman sekitar mereka sehingga menambah kesejukkan alam sekitar tempat tinggal mereka.
Masyarakat Indis sangat memuja gaya hidup mereka sehingga bangunannya sangat mewah dan megah yang dihiasi dengan ornamen-ornamen yang sangat menawan. Ini dikarenakan dalam membangun tempat tinggalnya faktor kenyamanan, kekuatan dan keindahan bangunan sangat mereka perhatikan. Tidak mengherankan apabila sampai sekarang karya-karya arsitektur Indis tetap kokoh berdiri walaupun telah melewati usia lebih dari satu abad lamanya, dan yang lebih mengesankan adalah bangunan tersebut tetap serasi bersanding dengan bangunan-bangunan modern yang berdiri disekitarnya. Bangsa Belanda sebagai penguasa di tanah Jawa tetap terpengaruh oleh seni dan budaya lokal khususnya dalam membangun rumah tinggal mereka.
Bangunan bergaya Indis bukan hanya terdapat di pusat kota saja namun di kota-kota kecil juga banyak berdiri rumah-rumah bergaya Indis. Misalnya rumah – rumah dinas pejabat-pejabat tinggi Belanda. Di Semarang terlihat rumah pejabat yang memiliki corak Indis dan sampai sekarang struktur bangunannya masih terawat keasliannya. Tidak banyak dokumen-dokumen tertulis yang menuliskan tentang sejarah bangunan tersebut, namun gambaran kemewahan gaya hidup mereka dapat dilihat melalui bangunan-bangunan Indis yang masih berdiri sampai sekarang, baik yang masih terawat maupun yang hanya tinggal puing-puing reruntuhannya saja.
Bangunan Indis walaupun tidak semuanya dibangun dengan mewah layaknya istana, namun dapat diketahui dengan adanya campuran gaya Eropa klasik yang nampak melalui tiang-tiang dan dinding-dinding berplester tebal yang dipadukan dengan unsur tradisional yang dapat ditelusuri lewat adanya beranda depan, samping, dan belakang, serta taman luas yang melatarinya. Nuansa alam Jawa yang sejuk tergambar dengan berbagi tumbuhan yang menambah kesejukan rumah mereka.
Pada awalnya model rumah seperti ini dibangun oleh orang-orang Belanda di luar kota sebagai tempat peristirahatan. Bangunan besar dan mewah tersebut menyerupai istana dengan ruangan yang dingin karena atap dibangun sangat tinggi yang dilengkapi dengan galeri dan teras marmer, namun secara bertahap bangunan-bangunan ini terserap menjadi wilayah pinggiran kota akibat dari perluasan dan perkembangan kota.
Gaya arsitektur yang mengambil dan dipengaruhi corak landhuis tersebut oleh Akihary disebut sebagai gaya arsitektur Indische Empire Style. Gaya Indische Empire tidak saja diterapkan dalam rumah tempat tinggal saja, tetapi juga pada bangunan umum yang lain seperti gedung-gedung pemerintahan, gedung societeit, dan sebagainya. Pada akhirnya gaya arsitektur ini meluas bukan di kalangan orang-orang Belanda, namun juga pada bangunan-bangunan rumah tinggal pribumi terutama mereka yang secara ekonomi merupakan orang-orang borjuis khususnya para saudagar.
Ciri khas dari bangunan-bangunan Indis ini adalah adanya halaman yang luas dengan bangunan besar yang memiliki tiang-tiang dan kolom-kolom besar di depannya. Hal ini untuk memberikan kesan mewah, megah, dan wibawa dari golongan orang-orang Eropa sebagai penguasa di tanah jajahannya, sehingga gaya bangunan seperti ini jelas membutuhkan tanah yang cukup luas. Gaya bangunan seperti ini sebenarnya mengambil gaya arsitektur Perancis yang dikenal dengan nama Empire Style. Di Hindia-Belanda gaya tersebut diterjemahkan secara bebas sesuai keadaan setempat. Dari hasil penyesuaian ini terbentuklah gaya yang bercitra kolonial yang disesuaikan dengan lingkungan serta iklim dan tersedianya material. Akibat dari perkembangan kota dan ledakan penduduk yang cukup pesat di Semarang pada awal abad 20, arsitektur gaya Indische Empire ini terpaksa menyesuaikan diri. Adanya halaman yang luas dan model bangunan yang besar dan megah tidak bisa lagi dibangun karena tanahtanah perkotaan semakin sempit. Akibat dari semakin sempitnya tanah-tanah perkotaan membuat arsitektur Indis harus menyesuaikan diri termasuk juga detail – detail bangunannya.
Bangunan-bangunan megah dan mewah yang mungkin dibangun pada masa tersebut hanyalah bangunan-bangunan kantor dan fasilitas umum seperti stasiun kereta api. Sementara untuk bangunan rumah tinggal dengan model landhuis tidak memungkinkan lagi dibangun di Semarang, kalaupun ada rumah tersebut milik orang yang sangat kaya.
Pendirian sebuah bangunan dengan menggunakan model bangunan Belanda semula sangat terkait oleh jiwa nasionalisme Belanda. Hal demikian dapat dimengerti karena mereka membawa seni bangunan Belanda kemudian secara perlahan-lahan terpengaruh oleh alam dan masyarakat lokal yang asing bagi mereka, sehingga dalam membangun rumah tempat tinggal mereka, unsur – unsur budaya dan iklim alam setempat selalu menjadi pengaruh yang kuat dalam corak bangunannya. Orang-orang Belanda sangat menguasai dan mencintai karya – karya pertukangan hingga pada detail-detailnya. Misalnya dalam hal ini dinding dan lantai terlihat pekerjaan mereka sangat halus dan terlihat sangat teliti dalampengerjaannya. Tingginya kemampuan dan pengetahuan mereka ini diakui oleh ahli bangunan modern sekarang ini. Apabila ada kekurangannya atau kelemahannya hal ini adalah akibat kecerobohan masyarakat atau orang yang memberi tugas padanya.Penguasaan karya-karya seni seperti arsitektur oleh orang-orang Belanda sangat dipengaruhi oleh jiwa dan semangat Renaissance yang melanda negara – negara Eropa sekitar abad-15. Pada zaman ini orang-orang Eropa merasakan kegairahan menggabungkan penemuan-penemuan zaman klasik dengan penemuan mereka sendiri. Penggabungan ini menghasilkan penemuan yang mendorong kemajuan di bidang pengetahuan, kesusastraan, dan khususnya arsitektur, seni pahat dan seni lukis yang sejak saat itu hingga sekarang ini masih menjadi karya – karya monumental bahkan sebuah keajaiban dunia.
Pada rumah-rumah mewah hiasan-hiasan lukisan ikut menyemarakkan ruang sisi dalam yang anggun dan kaya akan hiasan interiornya. Ruang-ruang dan kamar-kamar yang berlangit-langit tinggi membuat rumah terasa sejuk. Hal ini menunjukkan bagaimana orang-orang Belanda beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan cuaca tropis yang panas dan lembab. Sebagai contoh adalah bangunan Zuztermaatschappijen sekarang digunakan sebagai Kantor Perusahaan Umum Kereta Api.
Tembok-tembok tebal yang terlihat kokoh ternyata memiliki fungsi sebagai isolator panas. Tembok-tembok tersebut terbuat dari batu alam atau batu bata. Untuk menangkal udara basah dan lembab dibuat lantai semacam ubin dan berbatur. Lantai ubin biasanya digunakan pada bangunan gudang, sementara lantai-lantai rumah terbuat dari marmer atau bahan lain yang mahal dengan corak yang indah. Hal ini menjadi sebuah petunjuk betapa masyarakat Indis sangat memuja gaya hidup mewah. Gaya hidup Indis merupakan suatu proses perkembangan sosial yang muncul dan tumbuh dari segolongan lapisan masyarakat di Hindia-Belanda. Golongan bangsawan dan para terpelajar (kaum intelektual) yang mendapat pendidikan gaya Barat dan para pegawai Binenland Bestur (BB) dari berbagai tingkatan yang disebut priyayi adalah sebagian kelompok pendukung kebudayaan Indis yang masih ditambah dengan golongan pengusaha pribumi.
Sebagai suatu hasil perkembangan budaya campuran, budaya Indis menunjukkan suatu proses fenomena historis yang timbul dan berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politik, ekonomi, sosial dan seni budaya. Pada masa awal, penekanan terjadi unsur-unsur yang bersifat subyektif, baru kemudian gerakan tersebut berkembang sebagai gerakan sosial segolongan masyarakat kolonial untuk menciptakan kelas sosial tersendiri yang didukung oleh pejabat pemerintah kolonial khususnya oleh para priyayi baru dan golongan Indo-Eropa.
Rumah Indis bila ditelusuri lebih dalam bukan hanya kemewahan saja yang terlihat, namun banyak sekali unsur budaya yang meliputinya. Percampuran gaya Eropa dengan gaya rumah tradisional membuat bangunan Indis memiliki gaya tersendiri yang berbeda dengan gaya arsitektur lain.
Gaya dan Struktur Bangunan Indis di Semarang
Adanya bangunan gaya Indis yang menjadi saksi bisu dari berbagai kejadian pada masa itu, baik peristiwa yang terjadi di dalamnya maupun peristiwa yang terjadi di sekitar bangunan itu sendiri. Oleh karena itu, bangunan selain mempunyai nilai arsitektural (ruang, konstruksi, teknologi dan lain sebagainya) juga mempunyai nilai sejarah. Berdirinya suatu bangunan yang sudah sangat lama berdiri semakin membuktikan tingginya nilai sejarah dan budaya.
Arsitektur kolonial di Indonesia adalah fenomena budaya yang unik, tidak ada di tempat lain dan juga pada negara-negara bekas koloni. Di katakan demikian karena terjadi percampuran budaya antara penjajah dengan budaya Indonesia yang beranekaragam. Oleh karena itu, arsitektur kolonial di berbagai tempat di Indonesia, di satu tempat yang lainnya apabila diteliti lebih jauh mempunyai perbedaan-perbedaan dan ciri tersendiri. Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami banyak sekali pengaruh Occidental (Barat) dalam segi kehidupan termasuk kebudayaan. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dalam bentuk tata ruang kota dan bangunan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa para pengelola kota dan para arsitek Belanda tidak sedikit menerapkan konsep lokal atau tradisional di dalam merencanakan dan mengatur perkembangan kota, pemukiman, dan bangunan.
Perpaduan antara bentuk bangunan Belanda dan rumah tradisional oleh Barlage disebut dengan istilah Indo-Eropeesche Bowkuntst, Van de Wall menyebutnya dengan istilah Indische Huizen, dan Parmono Atmadi menyebutnya dengan istilah Arsitektur Indis. Sejarah seni yang mengkhususkan perhatian pada perkembangan gaya bangunan dengan mendasarkan ciri-ciri khusus suatu waktu menyebut gaya bangunan tersebut dengan istilah bergaya Indis atau Indische Stijl. Pengaruh asing pada berbagai rumah tinggal di daerah yang berlainan tidak akan sama karena adanya perbedaan kebutuhan dan status sosial penghuni, daerah dan lingkungan khususnya pada masa pengaruh kolonial Barat.
Gaya atau style adalah bentuk yang tetap atau konstan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok baik dalam unsur-unsur kualitas maupun ekspresinya. Gaya dapat diterapkan sebagai ciri pada semua kegiatan seseorang atau masyarakat misalnya gaya hidup, seni, budaya atau peradabannya (life style: style of civilazation) pada waktu atau kurun waktu tertentu. Kata bergaya memiliki arti sebagai sesuatu yang mempunyai bentuk khusus. Bangunan-bangunan bergaya Indis memiliki corak dan bentuk khusus yang tidak akan ditemui di negeri asal dari orang-orang Belanda. Melalui proses memadukan gaya bangunan tradisional dengan gaya bangunan Eropa membuat bangunan-bangunan Indis memiliki gaya tersendiri, yaitu gaya Indis. Keindahan, kegunaan dan kesesuaian akan warna dan bahan yang selaras dengan bentuk dan hiasan dari bangunan tersebut serta dengan digabungkan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan alam lingkungan setempat menunjukkan bahwa orang – orang Belanda memahami betul bahwa arsitektur merupakan sebuah karya yang monumental.
Keberadaan arsitektur bangunan pada dasarnya mempunyai dasar atau ciri bangunan arsitektur yang begitu unik, karena dalam hal ini dilihat dari periode pembangunannya, bangunan-bangunan di kota-kota Semarang pada dasarnya berada dalam tiga fase periodisasi perkembangan arsitektur Kolonial Belanda, yaitu; Pertama, periode perkembangan arsitektur kolonial abad 19, waktu pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun 1811-1815, Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda, kerajaan Hindia Belanda yang pada waktu itu diperintah dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun sarana dan prasarana berupa gedung-gedung yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjamnya dari gaya arsitektur Neo-Klasik yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda pada waktu itu. Antara tahun 1870 sampai dengan tahun 1900-an, pengaruh arsitektur di Hindia Belnda boleh dikatakan tidak bergema sama sekali di Hindia Belanda. Hal tersebut disebabkan karena terisolasinya Hindia Belanda pada saat itu. Gaya The Empire Style ini tidak dikenal di Belanda sendiri dan asing bagi penduduk setempat. Hal ini bisa dimaklumi karena sebelum tahun 1900, di Nusantara memang belum ada arsitek yang berpendidikan akademis yang membuka praktek.
Akibat kehidupan di Semarang yang berbeda dengan cara hidup masyarakat Belanda di negeri Belanda, maka di Hindia Belanda kemudian terbentuk gaya arsitektur tersendiri. Bentuk-bentuk arsitektur di Semarang sebelum tahun 1870 terkenal dengan sebutan gaya The Empire Style. Gaya ini dipopulerkan oleh Deandeles yang disebut dengan arsitektur The Empire Style adalah gaya Neo-Klasik yang sedang melanda Perancis pada waktu itu, untuk memberi kesan megah pada bangunan pemerintah di Hindia Belanda. Arsitektur bangunan “Indische Empire Style”, dengan ciri-ciri a