Perkembangan Arsitektur Indis di Semarang
Percampuran budaya Eropa (Belanda) dengan budaya lokal yang meliputi seluruh aspek tujuh unsur universal budaya, menimbulkan budaya baru yang didukung oleh sekelompok masyarakat penghuni kepulauan Indonesia yang disebut dengan budaya Indis. Budaya Indis kemudian ikut mempengaruhi gaya hidup masyarakat di Hindia-Belanda. Gaya hidup Indis ikut mempengaruhi kehidupan keluarga pribumi melalui jalur-jalur formal misalnya melalui media pendidikan, hubungan pekerjaan, perdagangan dan lain sebagainya. Selain gaya hidup dengan berbagai aspeknya, bangunan rumah tinggal mendapat perhatian dalam perkembangan budaya Indis karena rumah tempat tinggal merupakan tempat untuk ajang kegiatan sehari-hari.
Arsitektur Indis merupakan hasil dari proses akulturasi yang panjang. Akulturasi dirumuskan sebagai perubahan kultural yang terjadi melalui pertemuan yang terus menerus dan intensif atau saling mempengaruhi antara dua kelompok kebudayaan yang berbeda. Di dalam pertemuan budaya terjadi tukar-menukar ciri kebudayaan yang merupakan pembauran dari kedua kebudayaan tersebut atau dapat juga ciri kebudayaan dari kelompok yang lain, dan dalam penggunaannya cenderung diartikan hanya terbatas pada pengaruh satu kebudayaan atas kebudayaan yang lain (unilateral), misalnya dalam hal ini pengaruh kebudayaan modern terhadap kebudayaan primitif.
Proses akulturasi tersebut bisa muncul bila ada: (i) golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, (ii) saling bergaul langsung secara intensif untuk jangka waktu yang relatif lama, sehingga (iii) kebudayaan-kebudayaan dari golongan tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri menjadi kebudayaan campuran. Proses yang timbul tersebut bisa terjadi jika terpenuhinya suatu prasyarat yaitu bila terjadi saling penyesuaian diri sehingga memungkinkan terjadi kontak dan komunikasi sebagai landasan untuk dapat berinteraksi dan memahami diantara kedua etnis. Keadaan alam tropis pulau Jawa menentukan dalam mewujudkan hasil karya budaya seperti bentuk arsitektur rumah tinggal, cara berpakaian, gaya hidup dan sebagainya.
Wujud dari isi kebudayaan yang terjadi dalam proses akulturasi itu ada tiga macam, yaitu:
a. berupa sistem budaya (cultural system) yang terjadi dari gagasan pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, pandangan, undang-undang, dan sebagainya, yang berbentuk abstrak yang dimiliki oleh pemangku kebudayaan yang bersangkutan merupakan ide-ide (ideas). Cultural System ini kiranya tepat disalin dalam bahasa Indonesia dengan “tata budaya kelakuan”.
b. berbagai aktivitas (activities) para pelaku seperti tingkah berpola upacara-upacara yang wujudnya kongkret dan dapat diamati yang disebut sosial sistem atau sistem kemasyarakatan yang berwujud kelakuan.
c. berwujud benda (artifacts), yaitu benda-benda, baik dari hasil karya manusia maupun hasil tingkah lakunya yang berupa benda yang disebut material culture atau hasil karya kelakuan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jauh sebelum kedatangan bangsa Belanda, di pulau Jawa telah ada pendatang yang berasal dari India, Cina, Arab dan Portugis. Mula-mula orang-orang Belanda itu hanya datang untuk berdagang tapi belakangan menjadi penguasa. Pada awalnya mereka membangun gudang-gudang untuk menimbun rempah-rempah. Adanya modal yang sangat besar dan kuat Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mendirikan gudang penyimpanan dan kantor dagang. Sekelilingnya diperkuat dengan benteng pertahanan sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal. Benteng semacam ini menjadi hunian pada masa-masa awal orang Belanda di pulau Jawa. Segala kesibukan perdagangan dan kehidupan sehari-hari berpusat di benteng. Gubernur Jenderal Valckenier (1737-1741) adalah pejabat tertinggi terakhir yang tinggal dalam benteng. Setelah itu, para gubernur jenderal penggantinya tinggal di luar benteng setelah keadaan di luar kota aman, secara bertahap mereka berani bertempat tinggal dan membangun rumah di luar tembok kota.
Para pejabat tinggi VOC membangun rumah-rumah peristirahatan dan taman luas, yang lazim disebut landhuis dengan patron Belanda dari abad XVIII. Ciri-ciri awalnya masih dekat sekali dengan bangunan yang ada di Belanda. Secara perlahan mereka membangun rumah bercorak peralihan pada abad XVIII. Contoh peralihan menuju ke bentuk rumah gaya Indis yang dibangun pada abad ke-18 antara lain rumah Japan, Citrap dan Pondok Gede. Cirinya bilik-bilik berukuran luas dan banyak. Ini menunjukkan bangunan landhuis dihuni oleh keluarga beranggota banyak yang terdiri atas keluarga inti dengan puluhan bahkan ratusan budaknya. Gaya hidup semacam di landhuizen seperti itu tidak dikenal di negeri Belanda.
Di Semarang ciri-ciri bangunan rumah bergaya Indis salah satu contohnya adalah bekas bangunan rumah tempat tinggal Residen Semarang yang sekarang dijadikan sebagai Rumah Dinas Gubernur Jawa Tengah. Rumah ini memiliki bentuk bangunan yang besar dan luas. Kemewahannya terlihat dari berbagai ragam hias yang terdapat di rumah ini. Hal ini bisa dipergunakan sebagai tolak ukur derajat dan kekayaan pemiliknya. Gaya hidup yang cenderung dijadikan sebuah lambang status sosial yang tinggi. Rumah ini dikenal masyarakat Semarang dengan sebutan De Vredestein atau Istana Perdamaian. Pada akhirnya lama-kelamaan kota-kota pionir dalam hal ini kota Semarang yang terletak di hilir sungai dianggap kurang sehat karena dibangun di atas bekas rawa-rawa. Mereka kemudian memindahkan tempat tinggalnya ke pemukiman baru di daerah pedalaman Jawa yang dianggap lebih baik dan sehat. Di daerah ini mereka mendirikan rumah tempat tinggal dan kelengkapannya yang disesuaikan dengan kondisi alam dan kehidupan sekeliling dengan mengambil unsur budaya setempat.
Ciri-ciri Belanda pada bangunan rumah Indis pada tingkat awal bisa dimengerti karena pada awal kedatangan mereka membawa kebudayaan murni dari negeri Belanda. Akibatnya lama-kelamaan budaya mereka bercampur dengan kebudayaan Jawa sehingga hal tersebut ikut mempengaruhi gaya arsitektur rumah mereka. Selain itu, perubahan pada bangunan mereka dikarenakan iklim dan cuaca yang berbeda antara di negeri Belanda dengan di tanah Jawa sehingga bangunan mereka disesuaikan dengan iklim dan lingkungan setempat. Rumah sebagai tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan hidup yang utama bagi manusia di samping kebutuhan sandang dan pangan. Oleh sebab itu, rumah dibutuhkan manusia bukan hanya sebagai tempat tinggal namun juga sebagai tempat berlindung dari ancaman alam. Di dalam menempati suatu bangunan rumah, pemiliknya berusaha untuk mendapatkan rasa senang, aman dan nyaman. Untuk mendapatkan ketenteraman hati dalam menempati bangunan rumah ini, orang berusaha untuk memberi keindahan pada bangunan tempat tinggalnya maka dipakailah berbagai macam hiasan, baik hiasan yang konstruksional atau yang tidak konstruksional.
Arsitektur bukan hanya sebuah bangunan atau monumen yang tanpa jiwa. Arsitektur rumah tinggal sebagai hasil budaya merupakan perpaduan karya seni dan pengetahuan tentang bangunan sehingga arsitektur juga menjelaskan berbagai aspek keindahan dan konstruksi bangunan. Seorang arsitektur dituntut bukan hanya membangun sebuah bangunan semata tetapi juga harus memperhatikan aspek-aspek lainnya sehingga memiliki jiwa dan karakter yang menjadi ciri khas dari sebuah bangunan.
Gaya atau style dapat dijadikan identifikasi dari gaya hidup, gaya seni budaya atau perubahan suatu masyarakat. Suatu karya yang berupa sebuah bangunan atau barang dapat dikatakan mempunyai gaya bila memiliki bentuk (vorm), hiasan (versening) dan benda itu selaras (harmonis) sesuai dengan kegunaan dan bahan materiil yang digunakan.
Sebuah karya arsitektur merupakan sebuah karya seni yang rumit karena memadukan imajinasi khusus yang digabungkan dengan teori-teori bangun ruang, sehingga harus dipelajari dan disertai dengan latihan-latihan, serta percobaan – percobaan berulang kali. Di dalam arsitektur bangunan ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu masalah kenyamanan (convinience), kekuatan atau kekukuhan (strength), dan keindahan (beauty). Ketiga faktor tersebut selalu hadir dan saling berkaitan erat dalam struktur bangunan yang serasi. Seorang arsitek yang arif tidak akan mengabaikan ketiga faktor tersebut karena faktor ini merupakan dasar penciptaan yang memberikan efek estetis.
Orang-orang Belanda yang datang dan menetap di Indonesia telah mampu menjawab tantangan dari alam lingkungan Jawa yang tropis. Di dalam proses membangun tempat tinggalnya mereka mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan alam setempat. Selain struktur bangunan yang disesuaikan dengan fungsi dari tiap-tiap bagian rumah mereka perhatikan dengan ketat. Gaya hidup sehari-hari dari golongan Indis ini menjadikan perlu adanya penyesuaian pada bagian-bagian rumah yang mereka tempati. kebiasaan sehari-hari dari masyarakat Indis ini selalu menunjukkan kemewahan yang menjadi simbol prestise mereka. Aktifitas yang tidak bisa dilewati dalam keseharian mereka seperti acara minum teh, tidak bisa dilakukan di bagian dalam rumah, karena acara minum teh merupakan sebuah cara untuk menjalin hubungan kekeluargaan, maka diperlukan suatu tempat dengan suasana santai. Oleh sebab itu, dipilihlah bagian beranda rumah. Selain tempat ini luas, penghuninya bisa menikmati hijau tanaman yang dirawat dengan baik di halaman sekitar mereka sehingga menambah kesejukkan alam sekitar tempat tinggal mereka.
Masyarakat Indis sangat memuja gaya hidup mereka sehingga bangunannya sangat mewah dan megah yang dihiasi dengan ornamen-ornamen yang sangat menawan. Ini dikarenakan dalam membangun tempat tinggalnya faktor kenyamanan, kekuatan dan keindahan bangunan sangat mereka perhatikan. Tidak mengherankan apabila sampai sekarang karya-karya arsitektur Indis tetap kokoh berdiri walaupun telah melewati usia lebih dari satu abad lamanya, dan yang lebih mengesankan adalah bangunan tersebut tetap serasi bersanding dengan bangunan-bangunan modern yang berdiri disekitarnya. Bangsa Belanda sebagai penguasa di tanah Jawa tetap terpengaruh oleh seni dan budaya lokal khususnya dalam membangun rumah tinggal mereka.
Bangunan bergaya Indis bukan hanya terdapat di pusat kota saja namun di kota-kota kecil juga banyak berdiri rumah-rumah bergaya Indis. Misalnya rumah – rumah dinas pejabat-pejabat tinggi Belanda. Di Semarang terlihat rumah pejabat yang memiliki corak Indis dan sampai sekarang struktur bangunannya masih terawat keasliannya. Tidak banyak dokumen-dokumen tertulis yang menuliskan tentang sejarah bangunan tersebut, namun gambaran kemewahan gaya hidup mereka dapat dilihat melalui bangunan-bangunan Indis yang masih berdiri sampai sekarang, baik yang masih terawat maupun yang hanya tinggal puing-puing reruntuhannya saja.
Bangunan Indis walaupun tidak semuanya dibangun dengan mewah layaknya istana, namun dapat diketahui dengan adanya campuran gaya Eropa klasik yang nampak melalui tiang-tiang dan dinding-dinding berplester tebal yang dipadukan dengan unsur tradisional yang dapat ditelusuri lewat adanya beranda depan, samping, dan belakang, serta taman luas yang melatarinya. Nuansa alam Jawa yang sejuk tergambar dengan berbagi tumbuhan yang menambah kesejukan rumah mereka.
Pada awalnya model rumah seperti ini dibangun oleh orang-orang Belanda di luar kota sebagai tempat peristirahatan. Bangunan besar dan mewah tersebut menyerupai istana dengan ruangan yang dingin karena atap dibangun sangat tinggi yang dilengkapi dengan galeri dan teras marmer, namun secara bertahap bangunan-bangunan ini terserap menjadi wilayah pinggiran kota akibat dari perluasan dan perkembangan kota.
Gaya arsitektur yang mengambil dan dipengaruhi corak landhuis tersebut oleh Akihary disebut sebagai gaya arsitektur Indische Empire Style. Gaya Indische Empire tidak saja diterapkan dalam rumah tempat tinggal saja, tetapi juga pada bangunan umum yang lain seperti gedung-gedung pemerintahan, gedung societeit, dan sebagainya. Pada akhirnya gaya arsitektur ini meluas bukan di kalangan orang-orang Belanda, namun juga pada bangunan-bangunan rumah tinggal pribumi terutama mereka yang secara ekonomi merupakan orang-orang borjuis khususnya para saudagar.
Ciri khas dari bangunan-bangunan Indis ini adalah adanya halaman yang luas dengan bangunan besar yang memiliki tiang-tiang dan kolom-kolom besar di depannya. Hal ini untuk memberikan kesan mewah, megah, dan wibawa dari golongan orang-orang Eropa sebagai penguasa di tanah jajahannya, sehingga gaya bangunan seperti ini jelas membutuhkan tanah yang cukup luas. Gaya bangunan seperti ini sebenarnya mengambil gaya arsitektur Perancis yang dikenal dengan nama Empire Style. Di Hindia-Belanda gaya tersebut diterjemahkan secara bebas sesuai keadaan setempat. Dari hasil penyesuaian ini terbentuklah gaya yang bercitra kolonial yang disesuaikan dengan lingkungan serta iklim dan tersedianya material. Akibat dari perkembangan kota dan ledakan penduduk yang cukup pesat di Semarang pada awal abad 20, arsitektur gaya Indische Empire ini terpaksa menyesuaikan diri. Adanya halaman yang luas dan model bangunan yang besar dan megah tidak bisa lagi dibangun karena tanahtanah perkotaan semakin sempit. Akibat dari semakin sempitnya tanah-tanah perkotaan membuat arsitektur Indis harus menyesuaikan diri termasuk juga detail – detail bangunannya.
Bangunan-bangunan megah dan mewah yang mungkin dibangun pada masa tersebut hanyalah bangunan-bangunan kantor dan fasilitas umum seperti stasiun kereta api. Sementara untuk bangunan rumah tinggal dengan model landhuis tidak memungkinkan lagi dibangun di Semarang, kalaupun ada rumah tersebut milik orang yang sangat kaya.
Pendirian sebuah bangunan dengan menggunakan model bangunan Belanda semula sangat terkait oleh jiwa nasionalisme Belanda. Hal demikian dapat dimengerti karena mereka membawa seni bangunan Belanda kemudian secara perlahan-lahan terpengaruh oleh alam dan masyarakat lokal yang asing bagi mereka, sehingga dalam membangun rumah tempat tinggal mereka, unsur – unsur budaya dan iklim alam setempat selalu menjadi pengaruh yang kuat dalam corak bangunannya. Orang-orang Belanda sangat menguasai dan mencintai karya – karya pertukangan hingga pada detail-detailnya. Misalnya dalam hal ini dinding dan lantai terlihat pekerjaan mereka sangat halus dan terlihat sangat teliti dalampengerjaannya. Tingginya kemampuan dan pengetahuan mereka ini diakui oleh ahli bangunan modern sekarang ini. Apabila ada kekurangannya atau kelemahannya hal ini adalah akibat kecerobohan masyarakat atau orang yang memberi tugas padanya.Penguasaan karya-karya seni seperti arsitektur oleh orang-orang Belanda sangat dipengaruhi oleh jiwa dan semangat Renaissance yang melanda negara – negara Eropa sekitar abad-15. Pada zaman ini orang-orang Eropa merasakan kegairahan menggabungkan penemuan-penemuan zaman klasik dengan penemuan mereka sendiri. Penggabungan ini menghasilkan penemuan yang mendorong kemajuan di bidang pengetahuan, kesusastraan, dan khususnya arsitektur, seni pahat dan seni lukis yang sejak saat itu hingga sekarang ini masih menjadi karya – karya monumental bahkan sebuah keajaiban dunia.
Pada rumah-rumah mewah hiasan-hiasan lukisan ikut menyemarakkan ruang sisi dalam yang anggun dan kaya akan hiasan interiornya. Ruang-ruang dan kamar-kamar yang berlangit-langit tinggi membuat rumah terasa sejuk. Hal ini menunjukkan bagaimana orang-orang Belanda beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan cuaca tropis yang panas dan lembab. Sebagai contoh adalah bangunan Zuztermaatschappijen sekarang digunakan sebagai Kantor Perusahaan Umum Kereta Api.
Tembok-tembok tebal yang terlihat kokoh ternyata memiliki fungsi sebagai isolator panas. Tembok-tembok tersebut terbuat dari batu alam atau batu bata. Untuk menangkal udara basah dan lembab dibuat lantai semacam ubin dan berbatur. Lantai ubin biasanya digunakan pada bangunan gudang, sementara lantai-lantai rumah terbuat dari marmer atau bahan lain yang mahal dengan corak yang indah. Hal ini menjadi sebuah petunjuk betapa masyarakat Indis sangat memuja gaya hidup mewah. Gaya hidup Indis merupakan suatu proses perkembangan sosial yang muncul dan tumbuh dari segolongan lapisan masyarakat di Hindia-Belanda. Golongan bangsawan dan para terpelajar (kaum intelektual) yang mendapat pendidikan gaya Barat dan para pegawai Binenland Bestur (BB) dari berbagai tingkatan yang disebut priyayi adalah sebagian kelompok pendukung kebudayaan Indis yang masih ditambah dengan golongan pengusaha pribumi.
Sebagai suatu hasil perkembangan budaya campuran, budaya Indis menunjukkan suatu proses fenomena historis yang timbul dan berkembang sebagai jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politik, ekonomi, sosial dan seni budaya. Pada masa awal, penekanan terjadi unsur-unsur yang bersifat subyektif, baru kemudian gerakan tersebut berkembang sebagai gerakan sosial segolongan masyarakat kolonial untuk menciptakan kelas sosial tersendiri yang didukung oleh pejabat pemerintah kolonial khususnya oleh para priyayi baru dan golongan Indo-Eropa.
Rumah Indis bila ditelusuri lebih dalam bukan hanya kemewahan saja yang terlihat, namun banyak sekali unsur budaya yang meliputinya. Percampuran gaya Eropa dengan gaya rumah tradisional membuat bangunan Indis memiliki gaya tersendiri yang berbeda dengan gaya arsitektur lain.
Gaya dan Struktur Bangunan Indis di Semarang
Adanya bangunan gaya Indis yang menjadi saksi bisu dari berbagai kejadian pada masa itu, baik peristiwa yang terjadi di dalamnya maupun peristiwa yang terjadi di sekitar bangunan itu sendiri. Oleh karena itu, bangunan selain mempunyai nilai arsitektural (ruang, konstruksi, teknologi dan lain sebagainya) juga mempunyai nilai sejarah. Berdirinya suatu bangunan yang sudah sangat lama berdiri semakin membuktikan tingginya nilai sejarah dan budaya.
Arsitektur kolonial di Indonesia adalah fenomena budaya yang unik, tidak ada di tempat lain dan juga pada negara-negara bekas koloni. Di katakan demikian karena terjadi percampuran budaya antara penjajah dengan budaya Indonesia yang beranekaragam. Oleh karena itu, arsitektur kolonial di berbagai tempat di Indonesia, di satu tempat yang lainnya apabila diteliti lebih jauh mempunyai perbedaan-perbedaan dan ciri tersendiri. Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami banyak sekali pengaruh Occidental (Barat) dalam segi kehidupan termasuk kebudayaan. Hal tersebut antara lain dapat dilihat dalam bentuk tata ruang kota dan bangunan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa para pengelola kota dan para arsitek Belanda tidak sedikit menerapkan konsep lokal atau tradisional di dalam merencanakan dan mengatur perkembangan kota, pemukiman, dan bangunan.
Perpaduan antara bentuk bangunan Belanda dan rumah tradisional oleh Barlage disebut dengan istilah Indo-Eropeesche Bowkuntst, Van de Wall menyebutnya dengan istilah Indische Huizen, dan Parmono Atmadi menyebutnya dengan istilah Arsitektur Indis. Sejarah seni yang mengkhususkan perhatian pada perkembangan gaya bangunan dengan mendasarkan ciri-ciri khusus suatu waktu menyebut gaya bangunan tersebut dengan istilah bergaya Indis atau Indische Stijl. Pengaruh asing pada berbagai rumah tinggal di daerah yang berlainan tidak akan sama karena adanya perbedaan kebutuhan dan status sosial penghuni, daerah dan lingkungan khususnya pada masa pengaruh kolonial Barat.
Gaya atau style adalah bentuk yang tetap atau konstan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok baik dalam unsur-unsur kualitas maupun ekspresinya. Gaya dapat diterapkan sebagai ciri pada semua kegiatan seseorang atau masyarakat misalnya gaya hidup, seni, budaya atau peradabannya (life style: style of civilazation) pada waktu atau kurun waktu tertentu. Kata bergaya memiliki arti sebagai sesuatu yang mempunyai bentuk khusus. Bangunan-bangunan bergaya Indis memiliki corak dan bentuk khusus yang tidak akan ditemui di negeri asal dari orang-orang Belanda. Melalui proses memadukan gaya bangunan tradisional dengan gaya bangunan Eropa membuat bangunan-bangunan Indis memiliki gaya tersendiri, yaitu gaya Indis. Keindahan, kegunaan dan kesesuaian akan warna dan bahan yang selaras dengan bentuk dan hiasan dari bangunan tersebut serta dengan digabungkan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan alam lingkungan setempat menunjukkan bahwa orang – orang Belanda memahami betul bahwa arsitektur merupakan sebuah karya yang monumental.
Keberadaan arsitektur bangunan pada dasarnya mempunyai dasar atau ciri bangunan arsitektur yang begitu unik, karena dalam hal ini dilihat dari periode pembangunannya, bangunan-bangunan di kota-kota Semarang pada dasarnya berada dalam tiga fase periodisasi perkembangan arsitektur Kolonial Belanda, yaitu; Pertama, periode perkembangan arsitektur kolonial abad 19, waktu pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun 1811-1815, Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda, kerajaan Hindia Belanda yang pada waktu itu diperintah dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-19 harus memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun sarana dan prasarana berupa gedung-gedung yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung dengan gaya megah ini dipinjamnya dari gaya arsitektur Neo-Klasik yang sebenarnya berlainan dengan gaya arsitektur nasional Belanda pada waktu itu. Antara tahun 1870 sampai dengan tahun 1900-an, pengaruh arsitektur di Hindia Belnda boleh dikatakan tidak bergema sama sekali di Hindia Belanda. Hal tersebut disebabkan karena terisolasinya Hindia Belanda pada saat itu. Gaya The Empire Style ini tidak dikenal di Belanda sendiri dan asing bagi penduduk setempat. Hal ini bisa dimaklumi karena sebelum tahun 1900, di Nusantara memang belum ada arsitek yang berpendidikan akademis yang membuka praktek.
Akibat kehidupan di Semarang yang berbeda dengan cara hidup masyarakat Belanda di negeri Belanda, maka di Hindia Belanda kemudian terbentuk gaya arsitektur tersendiri. Bentuk-bentuk arsitektur di Semarang sebelum tahun 1870 terkenal dengan sebutan gaya The Empire Style. Gaya ini dipopulerkan oleh Deandeles yang disebut dengan arsitektur The Empire Style adalah gaya Neo-Klasik yang sedang melanda Perancis pada waktu itu, untuk memberi kesan megah pada bangunan pemerintah di Hindia Belanda. Arsitektur bangunan “Indische Empire Style”, dengan ciri-ciri antara lain denah simetris dengan satu lantai atas dan ditutup dengan atap perisai. Sedang karakteristiknya adalah sebagai berikut yaitu terbuka, pilar di serambi depan dan belakang, di dalam rumahnya terdapat serambi tengah yang menuju ke ruang tidur dam kamar-kamar lainnya. Pilarnya menjulang ke atas (bergaya Yunani) dan terdapat gevel dan mahkota di atas serambi depan dan belakang
Gaya ini akhirnya banyak dipakai tidak saja pada gedung-gedung resmi pemerintah, tapi juga dipakai pada rumah-rumah tinggal biasa. Bangunanbangunan arsitektur Indis yang telah berdiri di Semarang pada periode perkembangan arsitektur gaya The Empire Style antara lain adalah Rumah Dinas Guberbur Jawa Tengah, Kantor Pos Besar, Gereja Blenduk, Gedung Marba, Gedung Bank Indonesia, Masjid Besar Kauman, Mercusuar, SMA Negeri 1 dan 3 Semarang serta STM Negeri 1 Semarang.
Kedua, periode perkembangan arsitektur kolonial awal abad 20, yaitu tahun 1900-1920-an. Antara tahun 1900 kaum liberal di negeri Belanda mendesakkan apa yang dinamakan Politik Etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak saat itu arsitektur bangunan yang ada dan berkembang tumbuh dengan pesat, dan dengan adanya suasana tersebut maka, Indische Architectuur menjaditerdesak dan hilang, sebagai gantinya muncul standart arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Setelah tahun 1900-an mulai banyak arsitek yang berpendidikan akademis yang berpraktek di Semarang. Mereka ini mengecam habis-habisan gaya arsitektur yang dinamakan The Empire Style tersebut. Mereka datang dengan gaya arsitektur akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang sedang berkembang di Eropa. Gaya tersebut dicoba untuk disesuaikan dengan iklim di Semarang. Hasilnya merupakan gaya arsitektur yang khas. Bentuknya didominir oleh gavel – gevel pada tampak depannya, tower pada pintu masuknya serta detail-detail interior yang teliti warisan gaya Art and Craft yang dianut oleh banyak pengikut PJH. Cuypers di Belanda. Di samping itu, untuk penyesuaian ilkim mereka juga membuat galeri keliling bangunan untuk menghindari sinar matahari langsung serta tampias air hujan. Orientasi bangunan sedapat mungkin menghindari arah Timur-Barat, bentuk-bentuk yang ramping dan ventilasi (pembukaan) yang lebar supaya terjadi cross ventilasi sebanyak mungkin dalam bangunan.
Pada 20 tahun pertama inilah terlihat gaya arsitektur modern yang berorientasi ke negeri Belanda tidak terkecuali dengan arsitektur bangunan di kota Semarang. Perubahan gaya arsitektur “Indische Empire Style”, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 didorong oleh semakin sempitnya lahan yang tersedia untuk pembangunan di pusat kota Semarang sehingga gaya arsitektur bangunan landhuis tidak mungkin dipertahankan lagi. Selain itu disebabkan oleh adanya bahan bangunan yang baru yaitu bahan besi cor sebagai ganti kolom batu yang bentuknya lebih bongsor dan atap seng, yang lebih ringan juga sudut kemiringan pemasangannya bisa lebih landai. Akibatnya muncullah bentuk-bentuk bangunan gedung baru yang bermotif keriting serta pergantian kolom-kolom dan konsel besi yang lebih lansing. Gaya seperti ini mengalami masa kejayaan sampai sesudah Perang Dunia I, yaitu tahun 1915-an. Bangunan-bangunan arsitektur Indis yang telah berdiri di Semarang pada tahun ini antara lain adalah Kompleks Susteran, Gedung Marabunta, Reservoir Siranda dan Stasiun Tawang.
Ketiga, periode perkembangan arsitektur kolonial tahun 1920-1940. Pada sekitar tahun ini mulai muncul gerakan pembaharuan dalam segi arsitektur baik nasional maupun internasional di Belanda yang kemudian mempengaruhi arsitektur bangunan kolonial Belanda di Indonesia, hanya saja arsitektur baru itu kadang diikuti secara langsung, tetapi kadang juga memunculkan gaya yang disebut sebagai eklektisisme (gaya campuran)26. Pada masa tersebut muncullah beberapa arsitek Belanda yang memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur Hindia Belanda. Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur bangunan tradisional sebagai suatu sumber pengembangannya. Sesudah tahun 1920-an, terdapat dua aliran baru di dalam perkembangan arsitektur di Hindia Belanda. Pertama, mencoba untuk mencari identitas arsitektur Indisch27 dengan mengambil dasar arsitektur tradisional setempat sebagai sumbernya, dipelopori oleh H. Maclaine Pont, Thomas Karsten dan sebagainya. Kedua, adalah arsitek yang mengambil bentuk-bentuk modern yang disesuaikan dengan teknologi, bahan dan iklim setempat. Aliran ini mengacu pada perkembangan arsitektur modern dengan berbagai gaya yang sedang berkembang subur di Eropa dan Amerika.
Semarang sebagai satu kota dagang terbesar di Hindia Belanda pada waktu itu rupanya lebih condong kepada aliran yang pertama. Hal ini tidak lepas dari arsitek-arsitek utama Semarang seperti H. Maclaine Pont dan Thomas Karsten yang lebih memilih gaya arsitektur Indisch dengan mengambil dasar arsitektur tradisional setempat sebagai sumbernya yang disesuaikan dengan bahan, teknologi dan iklim setempat. Kejayaan arsitektur kolonial di Semarang ini mulai menurun sesuai dengan krisis ekonomi yang melanda dunia, yang mulai dirasakan setelah tahun 1930-an. Sebagai akibatnya intensitas pembangunan gedung sesudah tahun 1930-an tidak sebanyak pada tahun 1920-1930. Gaya arsitektur modern yang ditandai dengan volume bangunan yang berbentuk kubus, gavel horizontal, atap datar serta didominasi oleh warna putih sebagai cirinya mendominasi kota Semarang sampai tahun 1940. Bangunan-bangunan arsitektur Indis yang telah berdiri di Semarang pada tahun ini antara lain adalah Bangunan Jiwa Sraya, Djakarta Lioyd, Kantor GKBI, Gedung Papak, Mandala Bhakti, Pasar Jatingaleh, Pasar Johar, Rumah Dinas Walikota, dan Rumah Sakit Elizabeth. Perkembangan arsitektur bangunan atau gedung-gedung yang ada di Semarang pada kenyataanya merupakan suatu bangunan yang mempunyai persamaan arsitektur dan bangunan ini dibangun dengan literatur dan gaya bangunan yang bercorak Indische Empire Style.
Menentukan sebuah gaya sebuah bangunan tidaklah mudah, dalam menentukan hal tersebut tidak bisa hanya berpatokan pada tahun berdirinya bangunan lalu dimasukkan ke dalam kategori suatu gaya tertentu. Bangunan bergaya Indis selain dilihat dari struktur bangunannya ada hal lain yang perlu diperhatikan yaitu fungsi dari bangunan tersebut dan aktifitas serta gaya hidup dari penghuninya. Hal ini perlu dilakukan agar tidak ada kebingungan terutama bila melihat pada perkembangan bangunan karena pada paruh abad 20 banyak bangunan yang didirikan. Secara umum gaya bangunan Indis bisa dilihat dari percampuran dua unsur atau lebih pada suatu bangunan, namun yang paling pokok adalah unsur Eropa yang terlihat dari struktur bangunannya yang simetris penuh dan tampak kekokohan bangunan tersebut melalui pilar-pilarnya. Pilar-pilar rumah Indis pada umumnya bergaya Doria, Ionia, ataupun Korinthia yang merupakan gaya pada arsitektur klasik Eropa.28 Unsur Jawa banyak terlihat dari atap rumah dan juga dari halaman luas yang menunjukkan kerindangan alam pedesaan Jawa.
Pada arsitektur tradisional Jawa, atap rumah biasanya dijadikan sebuah identitas dari pemilik rumah tersebut. Secara keseluruhan bentuk rumah tradisional Jawa terbagi dalam empat macam yaitu panggangpe, kampung, limasan, dan joglo. Dari tiap-tiap macam bentuk rumah tersebut masih terbagi dalam beberapa bentuk. Struktur bangunan Indis yang simetris pada bagian dalam rumah tersebut terbagi ke dalam beberapa ruang yang memiliki fungsi sendiri-sendiri. Pada rumah Indis pembagian ruang didasarkan pada pembedaan umur, jenis kelamin, generasi, famili dan lain-lain. Hal seperti ini tidak ditemukan pada struktur bangunan rumah tradisional Jawa. Di rumah Indis fungsi dari tiap-tiap ruang diatur seketat mungkin agar privasi dari tiap-tiap individu dalam rumah tersebut terjamin.
Ruang tengah yang berada di belakang ruang depan disebut voorhuis. Pada dinding ruangan ini digantungkan lukisan-lukisan sebagai hiasan, di samping piring-piring hias dan jambangan porselin. Pada dinding ini juga tergantung perabotan lain berupa senjata atau alat-alat perang seperti senapan, pedang, perisai, tombak dan sebagainya. Ada ruangan lain yang cukup penting artinya dalam struktur bangunan Indis yaitu ruang zaal. Di ruangan ini diletakkan kelengkapan rumah seperti meja makan dan kelengkapannya yaitu almari tempat rempah-rempah (de spijkast) dan meja teh (thee tafel). Almari hias yang penuh berisi piring dan cangkir yang terbuat dari porselin juga diletakkan di dalam atau di atas almari. Pada masa kejayaan kompeni dan pemerintah Hindia-Belanda, ruang zaal ini mendapatkan perhatian yang istimewa. Banyak hiasan dan barang-barang mewah yang menunjukkan kedudukan dan kekayaan penghuni rumah.
Ruang zaal menjadi istimewa karena diruangan inilah perjamuan makan atau rapat-rapat penting dilaksanakan. Zaal berarti balai atau kamar besar atau ruang besar untuk rapat. Oleh sebab itu, barang-barang yang menunjukkan atau menjadi simbol dari kekayaan penghuninya ditempatkan diruangan ini karena diruangan inilah para kolega atau relasi bisnis atau bahkan para pejabat pemerintah berkumpul. Ciri yang menonjol dari rumah-ruamah Indis ialah adanya telundak (semacam teras) yang lebar. Telundak yang luas itu bukan sekedar sebagai bagian dari sebuah bangunan rumah saja tetapi mempunyi arti dan Di tempat inilah jalinan kekeluargaan dibina. Tempat ini merupakan tempat yang ideal antar keluarga dan tetangga.
Di dalam bangunan terdapat banyak ruang-ruang dan struktur bangunan dari rumah Indis yang tersusun dari ruang-ruang yang sama, namun pembagian dari fungsi tiap ruang tetap diperhatikan dan diatur dengan ketat. Bangunan Indis dapat juga merupakan perkembangan dari rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan tehnik yang lebih modern. Penggunaan material baru dari batu, besi dan genteng atau seng. Tolak ukur dari ini tetap mengacu pada arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya Jawa. Bentuk rumah bergaya Indis ini sepintas seperti bangunan tradisional dengan atap joglo atau limasan.
Pada rumah Indis yang mewah selain terdapat halaman yang luas juga terdapat bangunan-bangunan samping yang dipergunakan sebagai gudang, tempat menyimpan beras, kayu bakar, tandon air, minyak dan barang-barang kebutuhan hidup lainnya. Bangunan-bangunan samping tersebut selain sebagai gudang biasanya juga digunakan sebagai tempat tinggal para budak, oleh sebab itu bangunannya dibuat bertingkat.
Sesungguhnya sampai akhir abad ke-19 boleh dikatakan bahwa tidak ada satupun yang pantas disebut sebagai seorang arsitek. Dikatakan sebagai seorang arsitek pada masa itu tidak lebih dari opster plus (pengawasan bangunan plus).Bisa dipastikan bahwa bangunan dan corak yang dimiliki dari sebuah bangunan pada masa tersebut berasal dari imajinasi para pemilik rumah, sehingga tidak mengherankan bila ciri bangunan rumah tinggal mereka sangat kental dengan ciri – ciri bangunan di Belanda. Meskipun di Hindia-Belanda belum ada arsitek yang profesional namun mereka dapat menghasilkan sebuah karya arsitektur monumental yang mampu menghiasi hampir semua kota-kota besar di daerah jajahannya dan menjadikannya sebuah simbol kekuasaan pada era kolonialisme di Indonesia. Sayangnnya arsitekarsitek Belanda yang datang kemudian di awal tahun 1900-an, memandang gaya arsitektur Indis sebagai karya ”de pracht producten van Indische hondehokken renaissance” (produk-produk indah dari bangunan Renaissance kandang anjing)
Tidak dapat dipungkiri bahwa arsitektur Indis adalah sebuah fenomena historis yaitu sebagai hasil kreatifitas sekelompok golongan masyarakat pada masa kolonial dalam menghadapi tantangan hidup dan berbagai faktor yang menyertainya. Lambat laun gaya hidup Indis menampakkan corak dan bentuknya yang sama sekali berbeda baik dari kebudayaan dan gaya hidup tradisional Jawa maupun dari gaya hidup Belanda. Tepat kiranya bahwa hadirnya golongan masyarakat tertentu pasti akan melahirkan pula seni dan budaya tertentu. Berdasarkan konsep tersebut maka golongan Indis telah melahirkan pula kebudayaan Indis. Bangunan dan hiasan yang sangat berharga dipergunakan sebagai petunjuk kebudayaan sang pemilik rumah dalam susunan masyarakat kolonial. Selain itu, penting bagi mereka menunjukkan karya-karya seni yang bercita rasa tinggi karena hal tersebut dijadikan sebagai petunjuk betapa tingginya perhatian akan seni dari pemilik rumah.
Hiasan Pada Bangunan Indis di Semarang
Keindahan ornamen pada bangunan selain mempercantik bangunan juga diharapkan akan dapat memberi kedamaian, ketenteraman dan kesejukan bagi mereka yang menempatinya. Bagi kalangan orang kaya pada lingkungan Indis ornamen-ornamen yang terdapat di rumah tersebut juga sebagai sebuah simbol. Adanya simbolik pada bangunan rumah tinggal mereka, gambaran-gambaran simbolik tersebut dilakukan hanyalah sebagai usaha untuk meneruskan tradisi – tradisi dari pendahulu mereka tanpa memahami arti dari simbol-simbol tersebut. Hiasan atau ornament – ornament tersebut adalah Tiang Penyangga ,Hiasan Atap atau Kemuncak, Penunjuk Arah Angin (Windwijzer), Makelaar,dan Hiasan dari Kaca.
PERKEMBANGAN ARSITEKTUR KOTA SEMARANG 1900 – 1950
Perkembangan Bangunan Indis Di Semarang
Bangunan Soos (Societeit/Sosial)
Perkembangan politik di Hindia-Belanda telah mendorong perubahan – perubahan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat. Adanya Politik Etis telah membuat golongan sosial baru pada masyarakat lebih dihargai. Pada bab-bab sebelumnya telah dibahas bagaimana pendidikan telah memberikan pengaruh yang cukup luas terutama pada gaya hidup masyarakat pribumi. Pendidikan tersebut menunjukkan sebuah kemajuan dalam hal-hal baru yang barcirikas Barat yang pada akhirnya dijadikan sebuah tolak ukur kemodernan seseorang. Kebiasaan-kebiasaan dan cara hidup orang-orang Belanda banyak yang ditiru. Percakapan-percakapan dengan memasukan kata-kata Belanda dalam bahasa daerah banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat. Percampuran ini merupakan sebuah indikasi bahwa pada kurun waktu 1900-an budaya Indis menyebar hampir pada semua sendi kehidupan masyarakat Semarang. Munculnya organisasi modern, para priyayi yang tergabung dalam organisasi-organisasi tersebut sering berkumpul di satu tempat pertemuan. Tempat pertemuan tersebut terkenal dengan nama soos. Kata soos ini diambil dari kata Belanda Sosieteit, yaitu tempat pertemuan bangsa Belanda yang eksekutif. Di samping untuk keperluan rapat, soos juga menjadi tempat pertemuan publik yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti kegiatan rekreasi, pementasan sandiwara, pesta sekolah, pertandingan permainan dan lain sebagainya.
Pada awalnya kegiatan berkumpul di soos merupakan kebiasaan bagi orang-orang Belanda. Mereka berkumpul di gedung yang cukup luas untuk melakukan berbagai kegiatan yang kebanyakan merupakan pesta-pesta di akhir pekan. Societeit besar artinya bagi orang-orang Belanda karena dari perkumpulan inilah jalinan atau interaksi antar sesama orang Belanda terjalin. Selain itu perkumpulan seperti ini dijadikan sebuah simbol yang membedakan antara bangsa Belanda dengan bangsa-bangsa lainnya ditanah jajahannya. Kebiasaan dan gaya hidup Eropa dicerminkan dengan adanya pesta-pesta dansa dan perjamuan makan yang mewah.
Di Semarang ada sebuah societeit yang bernama Societeit De Harmonie, merupakan sebuah perkumpulan kesenian. Meluasnya pendidikan Barat yang mempunyai daya tarik yang kuat bagi golongan priyayi telah membuat sebuah kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan Barat. Akibatnya secara luas akan dapat terasa dalam formasi gaya hidup mereka. Para priyayi ini cenderung mengikuti cara gaya hidup Belanda untuk menunjukkan bahwa mereka dapat mengikuti perkembangan zaman dan menunjukkan bahwa mereka ini lebih maju dan lebih modern bila dibandingkan dengan para orang tua mereka. Ini dijadikan sebuah pembeda antara golongan tua dengan golongan muda.
Pada masyrakat tradisional yang statis, usia yang sudah tua berarti akumulasi dari pengalaman dan kebijakan. Sehingga generasi muda yang kurang pengalaman perlu untuk mengikuti jejak langkah mereka. Pada lingkungan ini kedudukan generasi tua senantiasa terhormat, dipatuhi dan dianut. Di mulainya abad 20, sebuah semangat modernitas seperti yang ditujukan oleh orang-orang Belanda dipahami sebagai peradaban Barat yang telah mengikis sikap penghormatan terhadap orang tua. Mereka menyebut dirinya kaum muda, yang lebih modern dan lebih maju daripada orang tua mereka dan orang-orang yang tidak berpendidikan Barat, namun semua itu tidak berarti mereka kehilangan identitasnya sebagai orang Jawa. Hal terpenting pada masa ini adalah hal-hal tradisional telah kehilangan maknanya yang utuh dan mereka dipaparkan berdampingan dengan hal-hal yang modern.
Pada awal abad ke-20, ternyata hal-hal yang berciri khas Barat sudah semakin dalam memasuki kehidupan masyarakat Semarang. Pada masa ini mereka lebih sering mengunjungi bioskop, makan di restauran dan mengadakan pesta layaknya orang-orang Belanda. Hal ini berakibat, bangunan soos menjadi penting bagi proses perkembangan budaya Indis pada awal abad 20, karena di tempat inilah semua aktivitas budaya Belanda bersumber dan kemudian terjadi kontak antara orang pribumi dengan orang Belanda yang membawa kebudayaan masing-masing. Keadaan yang seperti ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, namun di kota-kota kecil keadaan ini lebih terasa lagi. Ini dikarenakan di kota-kota kecil bangunan-bangunan soos tidak terlalu banyak, sehingga orang Belanda harus berbagi tempat dengan orang-orang elit pribumi, maka interaksi antara keduanya tidak bisa dicegah lagi. Adanya bangunan soos merupakan pencerminan akan kebutuhan ruang bagi kegiatan yang dilakukan oleh para pendukung kebudayaan Indis.
Kebiasaan melakukan pesta bagi golongan pendukung kebudayaan Indis tidak mungkin dilakukan di rumah dengan struktur bangunan tradisional atau di rumah Indis yang sudah kian menyempit ruangnya. Bagi orang-orang Jawa mengadakan pesta seperti layaknya orang-orang Belanda tidak dikenal dalam kebudayaan mereka, sehingga struktur bangunan rumah tinggal mereka tidak mengadaptasikan kegiatan tersebut, sehingga bangunan soos merupakan cara pemecahan yang rasional dan terbaik yang dipilih agar aktivitas yang melibatkan banyak orang dan membutuhkan tempat yang luas tersebut dapat dilaksanakan. Secara fisik pengaruh budaya Eropa pada bangunan soos dapat ditelusuri dari adanya jendela – jendela yang berukuran besar. Kesan Indis tidak saja terlihat dari fisik bangunannya saja, namun lebih dari itu tersirat dari berbagi macam kegiatan dan aktivitas dari pengguna bangunan tersebut.
Bangunan soos selain menjadi tempat interaksi sosial juga merupakan perwujudan akan kebutuhan tempat untuk mendukung gaya hidup mereka. Pesta – pesta dansa serta perjamuan makan yang dulu sering dilakukan di rumah tinggal Indis yang luas dan megah sudah jarang dilakukan, karena terbatasnya ruang yang ada, namun karena para pendukung kebudayaan Indis ini menganggap perlunya menggunakan budaya Barat demi karier, jabatan, dan prestise dalam kehidupan masyarakat kolonial, maka mereka menganggap perlunya budaya masa lampau yang dibanggakan.58 Oleh karena keinginan mereka untuk tetap menjaga budaya masa lalu tersebut, maka diwujudkan dalam bentuk sebuah bangunan yang mampu menampung berbagai adat kebiasaan masyarakat Indis masa lalu. Bangunan soos merupakan representasi dari tujuh unsur universal kebudayaan.
Arsitektur Bangunan Indis Di Semarang
a. Pasar Johar
Pasar Johar merupakan bangunan dua lantai hanya pada bagian tepi sedangkan bagian tengah berupa void. Ciri khusus yang nampak pada bangunan Pasar Johar ini adalah pada struktur atap berbentuk cendawan dan seluruh bangunan pasar tertutup dengan atap datar dari pelat beton dengan sistem cendawan pada kolom-kolom. Kolom memiliki modul dengan penampang berupa persegi delapan. Kolom seperti ini dinamakan kontruksi jamur (mushroom), dan pada bagian tertentu dari atap diadakan peninggian dan pelubangan untuk masuknya sinar matahari secara tidak langsung dan sirkulasi udara. Bangunan ini memenuhi tapak yang tersedia sehingga tidak terdapat halaman ataupun ruang terbuka. Hal ini sesuai dengan prinsip Thomas Karsten yaitu efisiensi ruang.
Pada tahun 1933 dibuatlah usulan rancangan pertama oleh Ir. Thomas Karsten, yang bentuk dasarnya menyerupai Pasar Jatingaleh dengan ukuran lebih besar. Pada tahap ini terdapat susunan atap datar beton dengan bagian tertinggi berada di pusat. Rancangan tersebut diubah pada tiga tahun berikutnya dengan tujuan untuk mengadakan efisiensi, karena belum memenuhi keinginan, maka rencangan ini diubah kembali dengan gagasan konstruksi cendawan kembali dimunculkan. Rencana yang terakhir inilah yang jadi dibangun.
PASAR JOHAR
Sumber : Arsip Pusat Jawa Tengah
b. Gereja Blenduk “GPIB Immanuel”
Gereja Blenduk merupakan simbol dari Kota Lama Semarang dan merupakan gereja tertua di Jawa Tengah dan salah satu yang tertua di Pulau Jawa. Berbeda dari bangunan lain di Kota Lama yang pada umumnya memagari jalan dan tidak menonjolkan bentuk, gedung bergaya Neo-Klasik ini justru tampil kontras. Gereja Blenduk merupakan bangunan yang memiliki gaya arsitektur Phantheon. Didirikan pada tahun 1753 sebagai gereja pertama di Semarang dan telah mengalami beberapa kali pemugaran. Perancang awalnya tidak diketahui,namun Gereja Blenduk ini diperbarui oleh arsitek W. Westmaas dan H.P.A. de Wilde pada 1894-1895. Keterangan mengenai Wilde dan Wetmaas tertulis pada kolom di belakang mimbar. Gereja ini dinamakan Gereja Blenduk karena bentuk kubahnya yang seperti irisan bola, sehingga orang mengatakan “blenduk”.
Dari segi arsitektur, Gereja Blenduk dibangun dua setengah abad yang lalu, desainnya bergaya Pseudo Barouque, gaya arsitektur Eropa dari abad 17-19 Masehi. Bangunan Gereja Blenduk memiliki denah octagonal (segi delapanm baraturan dengan ruang induk terletak di pusat, sehingga dapat dikatakan bangunan memusat dengan model atap berbentuk kubah atau blenduk. Bangunan Gereja terdiri dari bangunan induk dari empat sayap bangunan. Ruang gereja terdiri dari ruang jemaat sebagai ruangan utama dan ruang konsistori. Atap bangunan yang berbentuk kubah ini serupa dengan kubah bangunan di Eropa pada abad ke 17-18 Masehi, mempunyai desain unik seperti kubah St. Peter’s di Roma oleh seniman Michelangelo (1585-1590 AD) dan kubah St. Paul’s karya Sir Christopher Wren (1675-1710 AD). Bentuk kubah seperti bentuk cembung ke bawah sehingga menjadi populer dengan sebutan ”Blenduk”.
Beberapa bangunan yang mempunyai arsitektur khas dan hanya terdapat satu karena dibuat secara spesifik khusus pada masanya, sehingga dapat dikatakan sebagai ”prasasti” antara lain:
- Tangga melingkar, sebuah tangga yang digunakan untuk menuju bagian tempat alat-alat musik. Tangga terbuat dari besi tempa berukir, pada anak tangga terdapat tulisan dalam bahasa Belanda yang berbunyi ”Plettriji Den Haag”. Kemungkinan besar adalah label merk dari perusahaan pembuatnya, namun dalam label tersebut tidak tercantum tahun pembuatannya.
- Mimbar Gereja Blenduk memiliki keistimewaan konstruksi yang langka, mimbar ini berposisi mengambang dari lantai, sebuah tiang penyangga berbentuk segi delapan beraturan (octagonal) berfungsi sebagai penyangga tunggal mimbar tersebut.
- Sebuah orgel Jerman terpajang disalah satu dinding, alat musik dengan bentuk yang sangat indah, asal suara berasal dari resonansi pipa-pipa oleh pompa udara yang dibuat oleh P. Farwangler dan Hummer, namun sudah tidak bisa difungsikan dan berbunyi terakhir kali pada 1970-an. Merupakan orgel yang sangat unik dan antik keberadaannya hanya dua di Indonesia, salah satunya di gereja GPIB ”Immanuel” Gambir Jakarta.
- Lonceng gereja sebanyak tiga buah yang memiliki tiga ukiran berbeda (dua diantaranya hilang), pada tubuh lonceng terdapat logo perusahaan bertuliskan J.W. Stiegler-Semarang Anno 1703. 5. Interior, berupa mebel asli yang hingga kini masih dipertahankan bentuk dan kondisi fisiknya. Sentuhan elemen Jawa dan asing yang mengisi interior gereja. Pintu-pintu masuknya bergaya klasik dan kubahnya yang besar terbuat dari tembaga. Seperangkat karya peninggalan masa lampau yang sangat indah, anatara lain lampu gantung kristal pada langit-langit kubah, bangku jemaat dan mejelis berbahan kayu jati, kaca jendela Mosaik dengan desain ornamen kuno. Serta interior seluruhnya yang dihiasi sulur tumbuhan yang tertata dari bahan kayu sedangkan pada balkonnya mempunyai bentuk keindahan interior yang unik. Kursi-kursi kayu beralas rotan berjejer di atas keramik kuno semua masih asli.
Ciri khusus yang nampak pada bangunan ini adalah bangunan bagian dalamnya yang sangat unik, bangunan yang sangat megah ini ruangan dalamnya tidak begitu luas. Hal ini dikarenakan dinding Gereja Blenduk yang tebalnya tiga kali dinding bangunan yang lainnya. Bangunan ini berbentuk segi delapan beraturan (hexagonal) dengan bilik-bilik berbentuk empat persegi panjang dan sisi sebelahnya berbentuk salib Yunani.72 Bangunan gereja yang sekarang merupakan bangunan dengan facade73 tunggal yang secara vertikal yang terbagi atas tiga bagian. Atap bangunan berbentuk kubah dengan penutupnya lapisan logam yang dibentuk oleh usuk kayu jati, dan di bawah pengakiran kubah terdapat lubang cahaya yang menyinari ruang dalam yang luas. Gereja peninggalan Belanda ini juga menarik dari sisi desainnya, pada sisi bangunan timur, selatan dan barat terdapat portico bergaya Dorik Romawi yang beratap pelana.
Gereja ini memiliki dua buah menara di kiri dan kanan, yang denah dasarnya berbentuk bujur sangkar tetapi pada lapisan paling atas berbentuk bundar. Menara ini beratap kubah kecil. Cornice yang ada di sekililing bangunan berbentuk garis-garis mendatar. Pintu masuk merupakan pintu ganda dari panel kayu. Tipe jendela ada dua kelompok, yang pertama ialah jendela ganda berdaun krepyak sedangkan yang kedua merupakan jendela kaca warna-warni berbingkai. Layaknya gereja klasik, Gereja Blenduk juga memiliki sebuah taman yaitu Taman Srigunting.
c. Lawang Sewu
Gedung megah bergaya Art Deco, yang digunakan Belanda sebagai kantor pusat kereta api (trem) atau lebih dikenal dengan Nederlandsch Indische Spoorweg aschaappij (NIS). Perusahaan kereta api swasta Belanda pertama yang membangun jalur kereta api di Indonesia. Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Sloet van Den Beele mengayunkan cangklul pertama, 17 juni 1864, tanda disresmikannya jalur Kemijen-Tanggung sejauh 26 km. Setelah Sloet Van Den Beele meninggal, dua arsitektur, Prof Jacob K Klinkhamer dan BJ Oudang ditunjuk sebagai arsitek yang menggarap kantor NISM ini. Lokasi yang dipilih adalah lahan seluas 18.232 m di ujung jalan Bojong (kini jalan Pemuda). Tampaknya posisi ini kemudian mengilhami dua arsitektur Belanda tersebut untuk membuat gedung bersayap, terdiri atas gedung induk, sayap kiri dan sayap kanan. Setelah mempelajari secara cermat iklim di Nusantara, para arsitek mulai mengadakan pendekatan yang sesuai dengan kondisi iklim setempat, sehingga arsitektur pada pergantian abad ini menjadi arsitektur yang kontekstual yang disebut Indische. Sebelum pembangunan, lokasi yang akan dikeruk sedalam 4 meter, selanjutnya galian itu diurug dengan pasir vulkanik yang diambil dari gunung Merapi. Pondasi pertama dibuat 27 Februari 1904 dengan konstruksi beton bera dan di atasnya kemudian didirikan sebuah dinding dari batu bata belah. Semua material penting didatangkan dari Eropa kecuali batu bata, batu gunung, dan kayu jati. Setipa hari ratusan orang pribumi dipaksa menggarap gedung ini. Gedung Lawang Sewu ini dibangun pada tahun 1903 dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 1 Juli 1907 oleh arsitek C. Citroen dari Firma J.F. Klinkhamer dan B.J. Quendag.
Bangunan monumental ini mengikuti kaidah arsitektur mordologi bangunan sudut yaitu dengan menara kembar model Ghotic di sisi kanan dan kiri pintu gerbang utama dan bangunan gedung memanjang ke belakang. Bangunan ini terletak di bundaran Tugu Muda Semarang yang dahulu disebut Wilhelmina Plein. Komplek Lawang Sewu terdiri atas dua masa bangunan utama, yang di sebelah barat berbentuk “L” dengan pertemuan kakinya menghadap Tugu Muda dan yang sebelah timur merupakan masa linier membujur dari barat ke timur. Sudut pertemuan kaki “L” merupakan daerah pintu masuk yang diapit oleh dua menara pada bagian atasnya berbentuk bersegi delapan bertudung kubah. Bangunan ini pernah dikuasai tentara Jepang sekitar 3,5 tahun sejak 1942, setelah kemerdekaan, Lawang Sewu dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api (DKA). Komando Daerah Militer (Kodam) IV Diponegoro juga bermarkas di gedung ini dari tahun 1950 hingga 1996. selain itu, Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Perhubungan Jawa Tengah juga pernah berkantor di salah satu gedung ini.
Di dalam perkembangannya, Lawang Sewu juga terkait dengan sejarah pertempuran lima hari di Semarang yang terpusat di kawasan Simpang Lima yang saat ini dikenal sebagai Tugu Muda. Saat meletus Pertempuran Lima Hari di Semarang, 14-18 Agustus 1945, Lawang Sewu dan sekitarnya menjadi pusat pertempuran antara laskar Indonesia dan tentara Jepang. Pada peristiwa bersejarah tersebut, gugur puluhan Angkatan Muda Kereta Api (AMKA). Lima di antaranya dimakamkan di halaman depan Lawang Sewu. Mereka adalah Noersam, Salamoen, Roesman, RM Soetardjo, dan RM Moenardi. Untuk memperingati mereka, di sebelah kiri pintu masuk (gerbang) didirikan sebuah tugu peringatan bertuliskan nama para pejuang Indonesia yang gugur. Perusahaan kereta api kemudian menyerahkan halaman depan pada Pemda Kodya Semarang. Sedangkan makam lima jenasah di halaman itu, 2 Juli 1975 dipindah ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal dengan Inspektur Upacara Gubernur Jateng Soepardjo Roestam.
Gedung ini oleh warga Semarang lebih dikenal dengan sebutan gedung Lawang Sewu, karena ciri khas bangunan ini memiliki pintu atau lawang dalam bahasa Jawa, sedang sewu artinya seribu sebagai arti kiasan dari banyak.81 Alasan lain dijuluki lawang sewu karena bangunan ini memiliki banyak pintu di samping busur-busur rongga dinding yang memenuhi facade bangunan ini. c. Rumah Dinas Gubernur Jawa Tengah Bangunan ini dirancang oleh Nicolaas Harting yang menjadi Gubernur Pantai Utara Jawa pada tahun 1754. Hingga tahun 1761 difungsikan sebagai Gauvernenur van Java’s Noord-Oostkust. Dan disebut sebagai “De Vredestein” atau istana Perdamaian. Juga pernah sebagai tempat tinggal residen Semarang. Saat itu lapangan di depan De Vredestein ini masih dinamakan Wilhelmina Plein. Di Gedung ini, Raffles pernah singgah dan berdansa dengan istri pertamanya Olivia Marianna. Pada tahun 1978, bangunan ini digunakan oleh APDN. Pada tahun 1980 digunakan untuk Kantor Sosial dan terakhir untuk Kantor Kanwil Pariwisata Jawa Tengah tahun 1994. Sekarang bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas Gubernur Jawa Tengah menggantikan Puri Gedeh.
Sumber
Wijanarka, 2007. Semarang Tempo Dulu. Ombak. Yogyakarta.
Amin Budiman. 1978. Semarang Riwayatmu Dulu, Jilid I. Tanjung Sari, Semarang.
Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Handinoto dan Paulus H. Soehargo. 1996. Perkembangan kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
Handinoto. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya1870-1940. Penerbit: Andi Offset, Yogyakarta.
Yulianto Sumalyo. 1993. Arsitektur Kolonial Belanda Di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Wijanarka, 2007. Semarang Tempo Dulu. Ombak. Yogyakarta. Amin Budiman. 1978. Semarang Riwayatmu Dulu, Jilid I. Tanjung Sari, Semarang.
Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Handinoto dan Paulus H. Soehargo. 1996. Perkembangan kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
Handinoto. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya1870-1940. Penerbit: Andi Offset, Yogyakarta.
Yulianto Sumalyo. 1993. Arsitektur Kolonial Belanda Di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta