Cheng Ho merupakan seorang kasim muslim kepercayaan Yongie dari Tiongkok dan menjadi kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Cheng Ho memiliki nama asli Ma He atau dikenal dengan nama lain Ma Sanbao yang berasal dari Yunnan. Ketika pasukan dinasti Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap kemudian dijadikan orang kasim. Cheng Ho merupakan seorang yang bersuku Hui, suku yang memiliki ciri fisik mirip dengan suku Han namun dengan agama yang berbeda yaitu Islam.
Dalam Ming Shi (sejarah Dinasti Ming) tidak banyak menyebutkan sejarah Cheng Ho. Yang disebutkan hanya Cheng Ho berasal dari Yunnan, dikenal dengan kasim (abdi) San Bao. Nama itu dalam dialek Fujian bisa diucapkan San Po, Sam Poo atau Sam Po. Sumber lain menyebutkan, Ma He (nama kecil Cheng Ho) yang lahir tahun Hong Wu ke – 4 (1371 M) merupakan anak ke – 2 pasangan Ma Hazhi dan Wen.
Ketika Ma He berumur 12 tahun, provinsi Yunnan yang dikuasai dinasti Yuan direbut oleh dinasti Ming. Para pemuda di Yunnan dikebiri dan dibawa ke Nanjing untuk dijadikan kasim istana. Cheng Ho juga diikutkan sebagai tawanan dan djadikan abdi Raja Zhu Di istana Beiping (sekarang Beijing).
Di depan Zhu Di, kasim San Bao berhasil memukau dengan memperlihatkan kehebatan dan keberaniannya seperti memimpin anak buahnya dalam serangan militer melawan Kaisar Zhu Yunwen (Dinasti Ming). Abdi yang berwajah lebar dan tinggi besar nampak gagah melibas lawan – lawannya. Akhirnya Zhu Di berhasil merebut tahta kaisar.
Ketika kaisar Zhu Di menginginkan merebut kembali kejayaan Tiongkok yang jatuh akibat Dinasti Mongol (1368), Cheng Ho menawarkan diri untuk mengadakan muhibah (perjalanan) ke penjuru negeri. Kaisar sempat kaget mendengar penawaran yang tergolong nekad tersebut namun mengiyakan.
Ekspedisi Pelayaran Cheng Ho
Armada Tiongkok berangkat dibawah komando Cheng Ho pada tahun 1405 M. Sebelum berangkat, pasukan Cheng Ho sholat terlebih dahulu di masjid tua di kota Quanzhou (provinsi Fujian). Pada pelayaran pertama, pasukan Cheng Ho mampu berlayar sampai ke Asia Tenggara (Semenanjung Malaya, Sumatera dan Jawa). Pada tahun 1407 – 1409 berangkatlah ekspedisi ke dua. Pada tahun 1409 – 1411 kembali melaksanakan ekspedisi ke tiga hingga mencapai India dan Srilanka. Pada ekspedisi ke empat pada tahun 1413 – 1415 ekspedisi Cheng Ho mencapai Aden, Teluk Persia dan Mogadishu (Afrika Utara). Jalur ini kembali di ulang pada ekspedisi ke lima (1417 – 1519) dan ke enam (1421 – 1422). Sedangkan pada ekspedisi terakhir berhasil mencapapi Laut Merah pada tahun 1431 – 1433.
Cheng Ho berlayar hingga ke Malaka pada abad ke – 15. Pada saat itu, seorang putri Tiongkok bernama Hang Li Po (Hang Liu) dikirim untuk menikahi raja Malaka, Sultan Mansur Shah. Pada tahun 1424, kaisar Yongle wafat dan digantikan oleh Kaisar Hongxi yang berkuasa dari 1424 – 1425. Ia memutuskan untuk mengurangi kaum kasim di lingkungan kerajaan. Berikutnya, Cheng Ho melakukan ekspedisi lagi pada masa pemerintahan Kaisar Xuande (1426 – 1435).
Kapal yang digunakan Cheng Ho bernama “kapal pusaka” yang merupakan kapal terbesar pada abad ke – 15. Dengan panjang 44,4 zhang atau 138 meter dan lebar 18 zhang atau 56 meter, kapal ini berukuran lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut seorang sejarawan bernama JV Mills, kapal yang digunakan Cheng Ho mampu menampung berat hingga 2500 ton.
Komparasi kapal Cheng Ho dan kapal Columbus |
Model kapal Cheng Ho kemudian menginspirasi petualang kapal Spanyol dan Portugis hingga pelayaran modern masa kini. Desain kapal Cheng Ho sangat kokoh, tahan badai dan dilengkapi teknologi penunjang seperti kompas magnetik. Rute pelayaran Cheng Ho yaitu di Asia dan Afrika meliputi :
- Vietnam
- Taiwan
- Malaka
- Sumatera
- Jawa
- Srilangka
- India bagian Selatan
- Persia
- Teluk Persia
- Arab
- Laut Merah ke utara hingga Mesir
- Afrika ke selatan hingga Selat Mozambik
Peta Pelayaran Cheng Ho
Karena Cheng Ho beragama Islam, para awak kapal mengetahui bahwa Cheng Ho sangat ingin berhaji ke Mekkah seperti yang dilakukan kakek dan ayahnya, namun para arkeolog dan para ahli sejarah belum mempunyai bukti kuat mengenai hal ini. Armada kapal Cheng Ho berjumlah 27.000 anak buah kapal dan 307 armada kapal laut. Kapal – kapal tersebut berukuran besar dan kecil, dari kapal bertiang tiga meter hingga bertiang sembilan buah. Kapal yang terbesar berukuran panjang 120 meter dan lebar 50 meter. Rangka kapal terbuat dari bambu Tiongkok. Selama berlayar mereka membawa perbekalan yang beraneka raga seperti sapi, ayam dan kambing untuk disembelih. Selain itu mereka juga membawa banyak bambu Tiongkok sebagai cadangan dan juga sutera untuk dijual.
Pada saat ekspedisi, Cheng Ho membawa kembali ke Tiongkok berupa penghargaan dan utusan dari 30 kerajaan termasuk Raja Alagonakkara dari Sri Lanka yang datang ke Tiongkok untuk meminta maaf kepada kaisar Tiongkok. Selama ekspedisi, Cheng Ho membawa banyak barang berharga seperti kulit dan getah pohon kemenyan, batu permata (ruby, emerald dan lain – lain), bahkan orang Afrika, India dan orang arab sebagai bukti perjalanan. Selain itu Cheng Ho juga membawa binatang seperti jerapah sebagai hadiah dari raja Afrika, namun sayang jerapah tersebut mati ketika dalam perjalanan.
Majalah life menempatkan Cheng Ho sebagai orang nomer 14 orang terpenting dalam milenium terakhir. Perjalanan Cheng Ho menghasilkan peta navigasi yang mampu megubah peta navigasi dunia sebelum abad ke 15.
Cheng Ho merupakan penjelajah ulung dengan armada kapal terbanyak sepanjang sejarah dunia dan juga memiliki kapal kayu terbesar dan terbanyak sepanjang masa. Cheng Ho dikenal dengan sifatnya yang arif dan bijaksana. Ia mampu memimpin ribuan anak kapal dan membendung hasrat menjajah ke negara – negara yang pernah ia lewati.
Saat di India, anak buah Cheng Ho membawa seni beladiri lokal benama Kallary Payatt yang kemudian dikembangkan di Tiongkok menjadi seni beladiri Kungfu. Sebagai seorang Hui (etnis Cina yang identik dengan Muslim), Cheng Ho memeluk agama Islam sejak lahir. Kakeknya dan ayahnya seorang haji. Pada bulan ramadhan tepatnya 7 Desember 1411, Cheng Ho menyempatkan diri untuk kembali ke kampung halamannya di Kunyang untuk berziarah ke makam ayahnya. Ketika sampai di kampung halamannya pada bulan ramadhan, Cheng Ho berpuasa di kampungnya yang senantiasa semarak. Ia tenggelam dalam kegiatan keagamaan hingga Idul Fitri tiba.
Setiap kali Cheng Ho berlayar, banyak awak kapalnya yang beragama Islam yang ikut serta dalam pelayaran. Sebelum berlayar, Cheng Ho selalu menyempatkan untuk sholat berjamaah terlebih dahulu. Beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut dalam pelayaran Cheng Ho diantaranya Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha’ban dan Pu Heri. Beberapa sejarawan meyakini bahwa petualangan sejati Cheng Ho sudah menunaikan ibadah haji. Memang belum ada catatan atau bukti akan hal tersebut, tapi diyakini ia melakukannya pada ekspedisi terakhir yaitu pada tahun 1431 – 1433 ketika rombongannya singgah di Jeddah.
Selama hidupnya Cheng Ho memang sering mengutarakan bahwa ia menginginkan untuk pergi haji seperti apa yang dilakukan kakek dan ayahnya. Obesesi ini bahkan terbawa hingga akhir ajalnya. Hingga ia mengutus Ma Huan untuk pergi ke Mekah dan melukiskan Ka’bah untuknya. Cheng Ho meninggal di Calicut, India pada tahun 1433 dalam perjalanan terakhirnya.
Cheng Ho dan Indonesia
Cheng Ho singgah di Indonesia selama tujuh kali. Ketika ia mengunjungi Samudera Pasai, ia memberi lonceng raksasa bernama “Cakra Donya” kepada sultan Aceh yang kini disimpan di museum Banda Aceh. Pada tahun 1415, armada Cheng Ho singgah di Muara Jati (Cirebon) dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya yaitu sebuah piring yang bertuliskan ayat kursi yang masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Saat ia melalui Laut Jawa, pernah seorang dari armada yang sangat berpengaruh di ekspedisinya bernama Wang Jinghong sakit keras. Wang akhirnya diturunkan di pantai Simongan, Semarang dan kemudian menetap disana. Salah satu buktinya yaitu adanya Klenteng Sam Poo Kong yang berdiri serta patung yang disebut – sebut bernama Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Poo Kong. Cheng Ho juga sempat berkunjung ke Majapahit pada masa pemerintahan Wikramawardhana.
Baca Juga : Klenteng Sam Poo Kong