Rezim Soeharto memang telah runtuh. Namun, perbincangan mengenai rezim ini tidaklah berhenti. Rezim ini selalu dibicarakan terkait pengaruhnya terhadap Indonesia. Salah satu perubahan yang paling menarik untuk diteliti ialah berkembangnya kapitalisme di Indonesia.
Richard Robison dalam buku Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia menguraikan dengan baik evolusi negara-terkait pertumbuhan kelas kapitalis-zaman prakolonial, kolonial, orde lama, hingga orde baru. Penjelasan yang sistematis ini diperlukan untuk melihat sifat dari kapitalisme Indonesia. Jika kita melihat secara runut sejarah, sifat kapitalisme Indonesia sangat unik. Sejak awal kemunculannya, kelas kapitalis Indonesia sangat berbeda dengan Amerika dan Eropa. Kaum borjuis Indonesia tidak melakukan pertentangan terhadap kaum feodal. Dalam analisis Marx tentang sejarah perkembangan masyarakat, kelas borjuis ini mulai tumbuh di masa feodalisme. Kemudian mereka inilah yang melakukan revolusi, menengelamkan kekuasaan feodalisme yang dianggap menghambat gerak mereka.
Dalam buku ini, dijelaskan kerangka masyarakat nusantara prakolonial, tidak mengarah pada terbentuknya borjuasi pemilik tanah, borjuasi pertanian, dan borjuasi perdagangan. Bahkan hingga Belanda membawa sistem industrialisasi ke Hindia Belanda, sedikit sekali pribumi yang dapat berkembang menjadi kelas borjuis. Bahkan, Robison melihat kultur feodalisme menginternalisasi di setiap lapisan masyarakat. Salah satunya nilai-nilai patronase yang tertanam kuat hingga kini.
Selain itu, ada yang paling menarik dari buku ini. Robison akan membawa kita pada dinamika pembentukan kelas kapital domestik dan kapital milik negara. Pasca kemerdekaan, keduanya merupakan faktor penentu dalam membentuk sejarah kapital Indonesia kontemporer.
Sejak 1949, ketika pemerintahan dijalankan dengan parlementer, negara berusaha menciptakan landasan pijak bagi akumulasi kapital para kapitalis. Kondisi yang diciptakan berupa pemberian pinjaman modal (pada realitasnya sering mengalami gagal bayar), menciptakan regulasi khusus, proteksi dan subsidi negara. Akhirnya, yang tumbuh dari sistem ini hanyalah kelas kapitalis kecil dan lemah. Mereka bukanlah golongan yang menyandarkan pada individualitas dan kemandirian, sebagaimana nilai-nilai kapitalisme itu sendiri. Apalagi, kelas kapital swasta domestik tersebut mengandalkan hubungan spesial dengan partai-partai politik saat itu.
Kebijakan tersebut secara umum pun dianggap gagal. Struktur ekonomi tetap sama dengan masa kolonial lahir. Antitesisnya, membentuk kapitalisme negara. Inilah yang diterapkan demokrasi terpimpin, yang ternyata disokong dan digerakan oleh militer. Dengan kendali militer, perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisasi dan dikendalikan militer. Hasil nasionaliasasi ini membentuk BUMN.
Kapitalisme asing baru bermain di Indonesia ketika Soeharto menaiki tampuk kekuasaan. Selain mengundang perusahaan swasta asing, pemerintahan Soeharto juga mengundang lembaga utang asing untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang sempat terpuruk di akhir demokrasi terpimpin. Kebijakan tersebut memicu peristiwa Malari, sebagai titik balik kebangkitan kapitalisme swasta domestik. Negara mengambil peran sebagai katalisator. Bisa dikatakan bahwa mereka lahir dari rahim negara. Setelah, kelas kapitalis ini dapat berlari kencang, mereka bertransformasi menjadi kelas terpenting dalam ekonomi politik Indonesia. Dampaknya, setiap kebijakan pembangunan wajib mempertimbangkan kepentingan mereka. Anehnya, sekalipun kelas kapitalis ini lahir dari rahim negara, negara tidak luput dari cengkramannya. Ibarat kacang lupa kulitnya.
Gilanya lagi, hubungan antara kaum birokrat negara dengan kapital swasta berkembang lebih intim dan rumit yang menjurus pada pembentukan basis sosial atas kekuasaan negara. Penguasa dan pengusaha menyatu melalui persetubuhan modal dan birokrasi Negara. Semuanya berujung pada kelahiran keluarga-keluarga politik birokratis serta konglomerat raksasa yang posisinya tidak ditentukan oleh mekanisme pasar yang abstrak, tetapi lewat pertautan dengan suatu sistem patronase amat korup dan tersentralisasi di bawah Soeharto. Inilah perkembangan mendasar kelas kapital di Indonesia yang berpusat pada elemen korporasi yang lebih besar dari pada kapital kecil yang semakin surut perannya.
Karena itulah, jangan heran jika kaum kapitalis tidak akan mengubah kultur feodalisme. Mereka tidak akan membawa perangkat institusi dan ideologi demokrasi liberal seperti masyarakat barat. Toh, mereka sudah dininabobokan negara. Sangat mungkin mereka mempertahankan apapun bentuk negaranya, yang penting akses dan pengaruh pada kebijakan negara terjamin. Lalu bagaimana dengan kelas kapitalis Indonesia? Sejak reformasi terbuka, kelas kapital yang tadinya didominasi kroni-kroni Soeharto, kini lebih terbuka aksesnya. Bahkan untuk kapital asing. Terlebih dengan adanya perdagangan bebas. Masuknya kapital asing seolah ingin mengubur kapital swasta domestik. Jelas mereka lebih resistan. Jika pemerintah tidak memberikan proteksi sewajarnya, terutama pada kelas kapital kecil, maka jangan berharap progam-progam UMKM akan berhasil maksimal. Pendidikan enterpreneur yang tadinya bertujuan menumbuhkan kelas kapital domestik baru pun hanya sebuah utopia. Perselingkuhan penguasa dan pengusaha memang harus dilawan, tapi bukan meniadakan proteksi kelas kapital domestik.
Oleh karena itu, buku ini sangat layak untuk dibaca, seberapapun terlambatnya edisi Indonesia ini. Terlebih karena buku ini bukan hanya kaya data empiris, tapi juga menyumbang pemikiran teoritis.