Situs Patiayam merupakan salah satu situs purbakala yang terletak di perbatasan Pati – Kudus. Sebagian besar yang ada disini adalah fosil – fosil hewan zaman purba diantaranya banteng, antelop jawa, kerbau, gajah, hingga kerang – kerang laut.
Nama patiayam sendiri diambil dari nama perbukitan dimana fosil – fosil ini ditemukan. Kerangka tulang – tulang purba cukup lengkap dikarenakan pada tempat ditemukannya fosil tidak ada sungai yang mengakibatkan berpencarnya fosil – fosil tersebut. Fosil – fosil yang ada di museum Patiayam ditemukan pada permukaan tanah pleistosen dan diperkirakan 600.000 tahun yang lalu. Manusia purba yang ditemukan di Patiayam adalah homo erectus dimana manusia ini hidup pada masa 1,89 juta tahun hingga 143.000 tahun yang lalu.
Hewan – hewan lain seperti jasad renik hingga fosil hewan laut dan trumbu karang juga ditemukan. Hal ini memperkuat bahwa daerah perbatasan Pati dan Kudus dahulu merupakan sebuah laut atau lebih tepatnya selat yang memisahkan pulau jawa dan pulau muria.
SITUS PATIAYAM
STRATIGRAFI PATIAYAM
Secara stratigrafi daerah Patiayam memiliki enam litologi utama yang merupakan produk sedimentasi maupun aktivitas vulkanik Gunung Patiayam dan Gunung Muria. Berturut – turut paling tua adalah :
- Formasi Jambe (sekitar 5 juta tahun yang lalu)
Satuan batuan ini berupa batu lempung biru yang mengandung moluska laut dan foraminifera dari laut dangkal, berumur antara Miosen Atas – Pliosen Bawah. - Formasi Kancilan (sekitar 1,5 juta tahun yang lalu)
Satuan batuan ini berupa batuan breksi, ciri litologi batuan ini berwarna abu – abu keitaman, sangat keras / kompak, dengan masa dasar batupasir non karbonat dengan fragmen berukuran kerakal sampai brangkal. - Formasi Slumprit (sekitar 700.000 tahun yang lalu)
Satuan batuan ini berupa pasir tufaan, dengan dicirikan oleh tufa dan konglomerat dengan struktur sedimen silang – siur. Pada satuan batuan ini banyak ditemukan fosil tulang dan gigi vertebrata moluska air tawar, sehingga diinterpretasikan sebagai endapan darat sampai sungai. - Formasi Kedungmojo (sekitar 500.000 tahun yang lalu)
Satuan batuan ini serupa dengan Formasi Slumprit namun berdasarkan rekonstruksi penampang geologi dan interpretasi umumnya menunjukkan bahwa pengendapan satuan batuan ini selaras setelah pengendapan Satua Batupasir Tufaan di bawahnya. - Formasi Sukobubuk (sekitar 200.000 tahun yang lalu)
Satuan batuan ini berupa bataun aglomerat dengan fragmen batuan beku andesit berukuran kerakal dengan kemas terbuka dimana fragmen saling mengambang tidak bersentuhan dalam amsa dasar tufa berbutir halus. Satuan ini diendapkan pada lingkungan darat sebagai hasil aktifitas vulkanik Gunung Muria. - Endapan Sungai (Alluvial)
Satuan batuan ini merupakan hasil pengendapan Sungai Kancilan dan Sungai Ampo. Sifat batuannya masih bersifat lepas – lepas dan terdiri dari batuan sebelumnya yang pernah diendapkan seperti tufaan dan andesit, maka diperkirakan umur satuan batuan ini adalah Resen.
POTENSI SITUS PATIAYAM
Alat – alat batu budaya manusia purba di Situs Patiayam memiliki ciri khas tersendiri. Walaupun teknologi pembuatan alat batu masih sangat sederhana, serta bahan baku yang digunakan tidak sebagus kalsedon atau gamping kersikan, melainkan memanfaatkan batu tufa, basalt, dan andesit kersikan yang kurang bisa menghasilkan tajaman yang bagus namun tipologi paleolitik Patiayam tetap menunjukkan tradisi kapak perimbas penetak.
Potensi Paleoanthropologi
Temuan sisa manusia berupa gigi premolar dan pecahan tengkorak merupakan indikasi kuat keberadaan manusia di Situs Patiayam. Temuan tersebut berada di tengah – tengah fosil mamalia dan reptil dari pasir dan lempung tufaan berusia 800.000 tahun silam. Ciri stratigrafis pengandung sisa manusia di Patiayam ini memiliki kesamaan ciri dengan Formasi Kabuh di Sangiran.
Potensi Fosil Fauna
Potensi fosil fauna yang ditemukan di Patiayam sangat beraneka ragam. Rekaman kehidupan fauna di situs ini mencerminkan adanya perubahan lingkungan yang pernah terjadi di Patiayam. Fosil – fosil fauna laut seperti moluska (Gastropoda dan Bivalvia), ikan hiu (Lamnidae dan Charcharhinidae), penyu (Cheloniidae), buaya (Crocodylidae), harimau (Felidae), badak (Rhinocerotidae), babi (Suidae), kuda sungai (Hippopotamidae), gajah (Elephantidae), kerbau – banteng (Bovidae), dan rusa (Cervidae).
MANUSIA DAN BUDAYA DI PATIAYAM
Kehdarian manusia di Patiayam ditunjukkan dengan penemuan gigi prageraham dan fragmen atap tengkorak milik Homo erectus pada tahun 1978 oleh Sartono. Sesuai dengan ciri stratigrafisnya, Homo erectus tersebut semasa dengan Homo erectus tipik dari Sangiran yang hidup dari Kala Plestosen Tengah.
Meragukan di perkara fosil manusia, tidak demikian halnya dengan produk budayanya. Sejak lama aspek budaya itu didambakan dari Patiayam, tapi kehadirannya sangat lambat adanya. Alat – alat batu itu ditemukan di permukaan tanah, sebagian darinya berasal dari dasar sungai, antara lain Sungai Kancilan yang mengalir di situs bagian selatan. Belum ditemukan alat – alat batu yang berada dalam konteks stratigrafisnya, sehingga belum diketahui lapisan pengandungnya.
Inilah budaya manusia purba yang pertama ditemukan di Patiayam. Jika hasil budaya itu telah ditemukan, tentunya memang manusia jenis Homo erectus pernah hidup di situs ini.
SITUS PATIAYAM DI KUDUS, JEJAK – JEJAK KEHIDUPAN KALA PLESTOSEN DI JAWA
Situs ini telah mendapat perhatian ilmuwan pada jaman penjajahan. Sejak keberhasilan E. Dubois menemukan Pithecantropus erectus di Trinil, Ngawi, Jawa Timur, serta merta para ahli mengadakan eksplorasi ke daerah – daerah termasuk Patiayam. Pada tahun 1857 tersebut nama F.W. Junghuhn, de Winter dan pelukis naturalis Raden Saleh pernah ke Patiayam untuk menggali mencari fosil. Usaha mereka kurang berhasil karena lahan situs masih tertutup oleh hutan sehingga sulit mengumpulkan fosil. Diperoleh beberapa fosil fauna hasil penggalian, karena heran kemudian masyarakat setempat mengenal fosil dengan sebutan “balung buto” (dalam bahasa Jawa berarti tulang raksasa).
Penelitian oleh bangsa sendiri di Patiayam dapat ditemukan jejak purba yang penting. Penemuan hominid Situs Patiayam adalah sebuah premolar dan tiga fragmen atap tengkorak Homo erectus yang ditemukan oleh Sartono dan Y. Zaim pada tahun 1979. Fosil tersebut ditemukan pada seri stratigrafi yang terdiri atas endapan kontinental yang merupakan hasil aktivitas Gunung Muria, di bagian atas. Di atas salah satu bukitnya, Gunung Slumprit, terdapat endapan vulkano-sedimenter berupa konkresi breksi vulkanik yang diikuti oleh pengendapan puluhan meter pasir dan lempung tufaan, yang berkaitan dengan pusat erupsi Patiayam dan Gunung Muria.
Kini Patiayam telah menunjukkan hasil peninggalan Kala Plestosen yang lengkap sebagaimana situs lainnya seperti Sangiran, Ngandong, Trinil, dan lainnya. Tiga data penting kehidupan Kala Plestosen di Patiayam antara lain sisa hominid (Homo erectus), sisa lingkungan purba (fosil – fosil vertebrata dan avertebrata), dan data budaya (alat batu / litik).
FAUNA – FAUNA JAWA YANG TELAH PUNAH
Situs Patiayam merupakan salah satu situs manusia purba yang berlangsung Kala Plestosen yaitu antara 10.000 – 1 juta tahun yang lalu. Indikasi adanya kehidupan manusia beserta fauna pada masa itu setelah diperoleh fosil – fosil sisa bagian – bagian tubuhnya. Lapisan pengendapan pengandung fosil yaitu pada mulai Formasi Kancilan (breksi abu – abu kehitaman) yang sangat kompak dan berumur Plestosen Awal. Kemudian lapisan di atasnya yaitu Formasi Slumprit (batu pasir tufaan berwarna putih kekuningan dengan sisipan batu lempung, breksi abu – abu, dan lensa – lensa konglomerat). Formasi Slumprit yang berumur Awal Plestosen Tengah ini banyak mengandung fosil vertebrata.
Fakta telah terbukti bahwa fauna Jawa kini banyak yang telah punah, terutama fauna – fauna mamalia besar. Kepunahan lebih banyak disebabkan karena habitat mereka terdesak oleh spesies manusia, kalah bersaing dengan manusia, bahkan mereka diburu dan dikonsumsi manusia tanpa ada upaya untuk konservasi atau pembudidayaan. Contoh Stegodon trigonocephalus, hewan ini telah lama punah atau tidak ada generasi berikutnya. Kemudain gajah (Elephas sp.) kini yang tinggal di Jawa hanya ada di Kebun Binatang, Taman Safari, dan Arena Sirkus itupun didatangkan dari Sumatera. Kehidupan gajah di alam liar saat ini di Jawa tidak ada lagi.
Di Patiayam ribuan fragmen fosil vertebrata ditemukan, beberapa diantaranya dapat direkonstruksi dan beberapa bagian dapat diidentifikasi jenisnya. Berdasarkan spesies dan familianya kemudian fauna – fauna tersebut dikelompokkan berdasarkan habitat hidup mereka, dan ada tiga kelompok fauna berdasarkan habitatnya, antara lain :
1. Fauna yang biasa hidup pada daerah berhutan terbuka (open wood forest) atau savana
- Bos (Buballus) paleokarabau vK (kerbau purba)
- Bos (Bibos) paleosondaicus (banteng purba)
- Cervus zwaani (rusa)
- Cervus javanicus (rusa jawa)
- Muntiacus muntjak (kijang)
- Duboisia santeng (antelop jawa)
- Panthera tigris (harimau)
2. Fauna yang hidup dihutan lebat dan basah (tropical rain forest) seperti :
- Stegodon trigonocephalus (gajah purba)
- Elephas sp (gajah)
- Rhinoceros sondaicus (badak jawa)
- Sus brachygnathus (babi)
3. Fauna yang hidup dalam lingkungan air, seperti :
- Hexaprotodon sivalensis (kuda nil)
- Cheloniidae (kura – kura)
- Croccodyllus osifragus (buaya muara)
- Croccodyllus gavialus (buaya sungai)
KISAH 400.000 TAHUN SILAM
Sekitar 400.000 tahun yang lalu ketika Pulau Muria masih terpisah dengan Pulau Jawa, terjadi letusan gunung yang sangat dahsyat. Gunung tersebut adalah Gunung Muria. Pada saat yang sama seekor gajah jenis Elephas namadicus berjalan di sebuah lereng hutan terbuka di sisi barat Gunung Slumprit. Langkah gajah tersebut terhenti untuk selamanya karena letusan Gunung Muria yang sangat kuat. Hujan material vokanik tufa pasir krikilan yang sangat tebal telah mengubur gajah tersebut.
Ratusan ribu tahun berlalu, pada tahun 2007 ketika tiba para peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta menyingkap kembali endapan abu volkanik yang saat ini tela demikian mengeras, sedikit demi sedikit menampakkan kembali rangka gajah purba itu. Situasi anatomi tulang belulang terebut mengisyaratkan bahwa rangka gajah ini tidak pernah bergeser sejak kematiannya, sesaat setelah diterjang badai letusan Gunung Muria yang dahsyat pada 400.000 tahun silam, dan ini merupakan sebuah penemuan yang cukup spektakuler, karena sebagian besar tulangnya ditemukan.
Fosil Stegodon trigonochepalus di Patiayam |
Gading Stegodon |
Gambar fosil yang ada di Museum Patiayam