Kerajaan Mataram Islam – Letak, Sejarah, Peninggalan, dan Kemudurannya

Rahmad Ardiansyah

Sebelum 1000 M sudah berdiri kerajaan di sekitar Yogyakarta, Klaten dan Magelang bernama Mataram Kuno / Medang. Akibat adanya bencana, Mataram kuno kemudian dipindahkan ke Jawa Timur hingga runtuh dan berganti menjadi kerajan lain, pada saat itu peradaban berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Berabad – abad di daerah Mataraman tidak ada tanda – tanda kebudayaan besar lagi seperti masa mataram kuno. Hingga pada abad 16 M, di daerah Yogyakarta muncul Kerajaan Mataram dengan corak Islam yang bernama Mataram Islam. 

Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa tanah Mentaok merupakan hutan belukar dan tak ada penduduknya, oleh Hadiwijaya raja Pajang kemudian dihadiahkan kepada Ki Ageng Pemanahan karena ia telah membantu dalam menggulingkan pemerintahan raja Demak Arya Penangsang. Barulah wilayah Mataraman ini kembali berdiri dibawah kepemimpinan Ki Ageng Pemanahan di Kotagede. Pada masa pemerintahan Ki Ageng Pemanahan, pemerintahan Mataram Islam masih berada di bawah Kerajaan Pajang. Namun, setelah pergantian periode pemerintahan Sutawijaya, Mataram akhirnya menjadi kerajaan merdeka atau independent.

PETA KEKUASAAN MATARAM ISLAM

LATAR BELAKANG BERDIRINYA KERAJAAN MATARAM ISLAM

Pada awalnya, wilayah Mataram diberikan Hadiwijaya ke Ki Gede Pemananhan / Ki Ageng Pemanahan karena jasanya membantu Hadiwijaya memerangi Arya Penangsang di Jipang Panolan. Ki Ageng Pemanahan diceritakan sebagai penguasa yang patuh kepada Sultan Pajang. Ia naik tahta pada tahun 1577 M dan menempati istananya di Kotagede. Sejak saat itulah wilayah Mataram mulai menunjukkan kemajuan. Ki Ageng Pemanahan meninggal pada tahun 1584 M dan digantikan oleh Sutawijaya.

Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati menggantikan Ki Ageng Pemanahan. Sutawijaya merupakan seorang ahli dalam hal berperang. Saat ia masih mengawal Hadiwijaya, raja Pajang, ia diberi gelar Senapati Ing Alaga (panglima perang). Senapati memiliki cita – cita yaitu menjadikan Mataram sebagai penguasa tertinggi di tanah Jawa menggantikan Kerajaan Pajang. Untuk itu, ia kemudian membuat dua rencana yaitu memerdekakan diri dari Pajang dan memperluas kekuasaan. Konflik yang terjadi antara Pajang yang dipimpin Arya Pangiri dan Pangeran Benawa yang dibantu Sutawijaya dimenangkan oleh Pangeran Benawa dan Sutawijaya. Hak ahli waris dari Pajang kemudian diserahkan ke Pangeran Benawa. Pangeran Benawa sebenarnya ingin menyerahkan kekuasaan kepada Sutwaijaya atas dasar jasa yang diberikan, namun Sutawijaya menolak dan meminta kekuasaan Pajang tunduk kepada Mataram. Secara tidak langsung Pajang menjadi bagian Mataram.

Baca Juga : Sejarah Kerajaan Pajang

Sejak saat itu Senapati mengambil gelar Panembahan pada tahun 1586. Wilayah Mataram diantaranya adalah Mataram, Kedu, dan Banyumas. Sutawijaya meninggal pada tahun 1601 dan telah menguasai Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hanya Blambangan, Panarukan dan Bali yang masih merdeka, sedangkan wilayah kadipaten di pantai utara seperti Lasem, Pati, Demak, Pekalongan mengakui dan tunduk kepada Mataram.

Setelah Sutawijaya meninggal, ia kemudian digantikan oleh Raden Mas Jolang. Raden Mas Jolang bergelar Sultan Hanyakrawati yang memerintah dari tahun 1601 hingga tahun 1613. Pada masa pemerintahannya, banyak terjadi pemberontakan – pemberontakan di pantai utara Jawa, hal inilah alasan mengapa Raden Mas Jolang tidak bisa memperluas wilayah Mataram. Dalam masa pemerintahannya, Raden Mas Jolang lebih condong ke masalah pembangunan dibandingkan dengan ekspansi atau perluasan wilayah. Raden Mas Jolang kemudian dilanjutkan oleh Raden Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman. Sultan Agung memerintah dari tahun 1613 hingga 1645. Pada masa pemerintahannya kerajaan Mataram mencapai puncak kejayaan.

MASA KEJAYAAN MATARAM ISLAM

Mataram mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung atau Raden Mas Rangsang. Sultan Agung lebih memilih ibukota di Karta dari pada di Kotagede. Ia dikenal karena ekspansinya, bukan hanya di Jawa tapi juga beberapa pulau di luar Jawa. Musuh Sultan Agung bukan hanya kerajaan – kerajaan di pesisir Jawa dan kerajaan Hindu Blambangan, namun juga penjajah Eropa yaitu Portugis dan Belanda.

Sebagai seorang yang beragama Islam, Sultan Agung sangat taat kepada agama dan menjadi panutan bagi rakyatnya. Ia bahkan membuat kalender tarikh (kalender baru Jawa – Islam) pada tahun 1633. Untuk mengukuhkan kedudukannya, ia mengutus abdinya untuk pergi ke Mekkah dan pulang ke Mataram membawa gelar Sultan kepadanya serta membawa ahli – ahli agama untuk menjadi penasihat raja Mataram. Sultan Agung kemudian mendapat gelar baru yaitu Sultan Abu Muhammad Maulana Matarami.

Namun, setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1645, para penggantinya tak secakap dirinya dan beberapa keturunannya terlebih memihak ke para penjajah seperti Belanda. Hal ini memberi kesempatan kepada Belanda untuk berkoloni dan membentuk wilayah jajahan di Nusantara.

KERAJAAN MATARAM DALAM BEBERAPA ASPEK

Aspek Ekonomi
Mataram terletak di pedalaman Jawa, perekonomian Mataram adalah dari bidang pertanian. Mataram menghasilkan beras, gula dan gula aren. Hasil – hasil tersebut berasal dari Gunungkidul. Gula kelapa dan gula aren kemudian diekspor ke luar melalui Tembayat dan Wedi.

Mataram tidak memiliki dasar – dasar maritim atau perkapalan. Pada masa Sutawijaya, ia ingin membuat pelabuhan di laut Hindia (Samudra Hindia) bahkan sudah sampai tahap pembentukan. Namun, bagaimanapun ombak laut Hindia terlalu besar dan tidak memungkinkan untuk membuat pelabuhan. Sedangkan disisi lain, laut Jawa masih dikuasai oleh orang – orang Tionghoa dari Kesultanan Demak pada masa pemerintahan dinasti Jin Bun.

Kehidupan Sosial Agama Kerajaan Mataram dan Partisipasi Ulama
Pada mas pemerintahan Sultan Agung, para ulama terbagi menjadi tiga yaitu, ulama yang berdarah bangsawan, ulama yang bekerja untuk birokrasi dan ulama pedesaan yang tidak menjadi alat birokrasi. Sebagai seorang pemimpin, Sultan Agung selalu mempertimbangkan nasehat dari para ulama.

Para ulama pada masa pemerintahan Sultan Agung berkonsentrasi mengembangkan budaya Islam agar melekat di hati masyarakat Mataram diantaranya dengan akulturasi. Salah satunya adalah Sunan Kalijaga yang berusaha keras agar ajaran Islam mampu diserap oleh masyarakat Mataram tanpa menghilangkan kebudayaan yang ada sebelumnya. Berbagai cara penyaluran dilakukan diantaranya dengan mengakulturasikan budaya islam dengan karya seni dan tradisi yang sudah melekat di hati masyarakat.

Perkembangan agama Islam di pesisir dan di pedalaman Jawa memberikan warna baru pada agama Islam dan membentuk suatu sinkretisme layaknya agama Siwa Buddha di kerajaan Majapahit. Akulturasi Islam dan budaya Jawa inilah yang kemudian terkenal dengan nama Islam Kejawen.

Penggunaan gelar Sayidin Panatagama oleh Senopati menunjukkan bahwa Kerajaan Mataram telah sah menjadi kerajaan Islam. Raja menjadi seorang pemimpin dan pengatur agama (panatagama). Mataram Islam banyak menerima peradaban dan kebudayaan Islam dari pesisir pulau Jawa yang merupakan wilayah Islam yang lebih tua daripada Mataram. Raja tidak hanya sebagai pemimpin rohani, namun juga pengatur di bidang politik. Mataram menciptakan hubungan erat dengan Kesultanan Cirebon terutama dalam hal penyebaran agama Islam. Sifat mistik dari Keraton Cirebon menyebabkan Islam mudah di terima dan berkembang di Mataram. Islam tersebut tentunya bersinkretis dengan budaya mistisme dari Hindu dan Buddha.

Pada masa pemerintahan Amangkurat I para ulama tergeser dan terjadi de-Islamisasi. Perjuangan penyebaran Islam yang sebelumnya dilakukan oleh Sultan Agung dan para ulama tidak diteruskan oleh Amangkurat I. Banyak ulama yang dibunuh sehingga kehidupan beragama merosot, disisi lain dekadensi moral menghiasi keruntuhan pamor Mataram akibat adanya campur tangan budaya asing.

Peran di Bidang Kebudayan Islam
Kebudayaan Mataram pada masa terbentuknya kerajaan tidak terlalu berkembang dikarenakan dua alasan. Pertama belum adanya waktu untuk memikirkan hal – hal spiritual. Pada saat itu Mataram lebih fokus kepada kemajuan ekonomi dan militer. Kegiatan pertanian digalakkan dan kegiatan tersebut banyak menyita waktu. Kedua, perluasan wilayah lebih bersifat fisik seperti perang bukan ke pengaruh penyebaran agama.

Kebudayaan Islam baru berkembang pesat pada masa pemerintahan Sultan Agung dengan cara mengambil unsur – unsur kebudayaan Islam yang berkembang di pesisir pantai utara Jawa dan Jawa Timur. Hal ini bertujuan untuk mempertinggi martabat keraton Mataram dalam hal kebudayaan sesuai kedudukannya sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa.

Sistem Politik Kesultanan Mataram
Perjalanan politik dari masa pemerintahan Senopati Sutawijaya hingga Amangkurat I mengalami naik turun. Pemerintahan Sultan Agung dengan Amangkurat I bahkan bertolak belakang sangat jauh. Amangkurat I  memutuskan rantai misi yang diemban pendahulunya yaitu menjadi panutan dan penyebar agama di Jawa.

Sistem politik internal kerajaan seperti tata pemerintahan, sistem birokrasi, dan pengangkatan raja secara umum tidak terjadi perubahan berarti, kecuali pada sistem pemerintahan wilayah – wilayah kadipaten bawahan Mataram. Kedudukan raja Mataram didapat dari keturunan atau warisan dari pendahulunya. Aturan raja yang akan menggantikan pendahulunya adalah putra laki – laki, bahkan dari selir pun bisa dinobatkan sebagai raja. Apabila keduanya tidak ada anak laki – laki, maka yang ditunjuk adalah paman atau saudara laki – laki tua dari ayahnya bisa menjadi pengganti.

Sedangkan sistem eksternal Kerajaan Mataram, terjadi perbedaan yang mencolok terutama dalam hal menghadapi para penjajah. Ada beberapa raja Mataram yang bersikap anti pati namun adapula yang kompromistis. Pada masa Senopati belum didengar terjadi hubungan antara para penajajah dari Eropa dengan Kerajaan Mataram. Pada masa pemerintahan Mas Jolang, kehadiran Belanda diterima dengan baik diakhir kekuasaanya. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang dilakukan Sultan Agung, beliau benar – benar menyatakan perlawanan terhadap para penajajah. Berbagai cara dilakukan untuk mengusir para penjajah. Dua kali pertempuran di Batavia dilakukan untuk melawan VOC, masing – masing pada tahun 1628 dan 1629 walaupun pada akhirnya hanya memperoleh kegagalan. Namun penguasa Mataram selanjutnya yaitu Amangkurat I bertolak belakang dengan Sultan Agung. Ia lebih memilih berkompromi dan bersahabat dengan Belanda.

MASA KEMUNDURAN MATARAM

Sepeninggal Sultan Agung, Mataram diperintah oleh Amangkurat I dengan gelar Susushan Amangkurat I. Ia memerintah Mataram dari tahun 1645 – 1677. Sebagai raja Mataram, Amangkurat I banyak mengeluarkan kebijakan kontrofersial diantaranya :

  • Tidak lagi menghargai ulama dan terkesan ingin menyingkirkannya. Pada masa pemerintahannya, banyak ulama dibunuh.
  • Menghapus lembaga agama yang ada di Kerajaan Mataram seperti Mahkamah Syariah yang dahulu dibentuk ayahnya Sultan Agung.
  • Membatasi perkembangan agama dan melarang kehidupan beragama dicampur aduk dengan masalah kesultanan.
  • Membangun kerjasama dengan para penjajah

Kebijakan Amangkurat I yang kontrofersial menuai kemarahan dari masyarakat Mataram. Terjadi perlawanan di beberapa daerah diantaranya oleh Raden Kajoran. Ia menyusun kekuatan dengan para santri dan rakyat sebagai pendukungnya. Ia juga didukung oleh Raden Anom anak Sultan Amangkurat I dan Trunojoyo, seorang bangsawan yang berasal dari Madura. Kekuatan pemberontak semakin kuat dengan bantuan dari Karaeng Galesong seorang bangsawan dari Gowa.

Namun pada perkembangannya Adipati Anom melakukan pengkhianatan dan keluar dari aliansi serta diampuni ayahnya Amangkurat I. Pada tahun 1677, Raden Kajoran mengepung pusat pemerintah Amangkurat I yang ada di Pleret. Amangkurat I dan anaknya melarikan diri ke Batavia dan meminta bantuan kepada Belanda. Dalam pelariannya, Amangkurat I jatuh sakit dan meninggal.

Sebelum wafat, Amangkurat I memberikan mandat kepada Adipati Anom untuk menjadi Sultan Mataram baru menggantikan dirinya. Setelah Adipati Anom dilantik, ia kemudian mendapat gelar sebagai Sultan Amangkurat II dan kembali bekerjasama dengan Belanda untuk merebut tahta kerajaan Mataram dengan perjanjian Jepara dimana Belanda meminta upah wilayah timur Karawang dan upah dalam bentuk uang untuk jasanya membantu merebut Mataram. Setelah perjanjian Jepara disetujui, Belanda beserta Amangkurat II menyerang Mataram dan berhasil mengalahkan Raden Kajoran. Dengan demikian Mataram kembali ke tangan Amangkurat II.

Meskipun Mataram telah kembali direbut dan mengembalikan fungsi ulama dalam kerajaan namun pada perkembangannya di Kerajaan Mataram masih ada persoalan – perosalan lain yang belum selesai. Sejak tahun 1743, wilayah Mataram hanya tinggal Bagelan, Kedu, Jogjakarta dan Surakata. Tragisnya, Mataram harus terpecah menjadi dua oleh perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Mataram terpecah menjadi Kesunanan Surakarta dengan rajanya SUsuhan (Pakubuwono) dan Kesultanan Yogyakarta dengan Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I).

Baca Juga : Perjanjian Giyanti

Pada tahun 1757, Kerajaan Surakarta pecah lagi menjadi wilayah yang dikuasai Pakubuwono dan wilayah yang dikuasai Mangkunegara I. Hal ini juga terjadi di Yogyakarta yang terpecah menjadi 2 yaitu wilayah Kesultanan yang dikuasia Sultan Hamengku Buwon III dan Kadipaten Pakualaman yang dipimpin Bendara Pangeran Natakusuma atau lebih dikenal dengan Pakualam I.

Bagikan:

Tags

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang, Calon Guru Penggerak angkatan 11 Kota Semarang dan kontributor Modul Pembelajaran MGMP Sejarah Kota Semarang.

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah