Setelah Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden pada 21 Mei 1998, gelombang demonstrasi berangsur – angsur surut. Para mahasiswa yang semula menduduki Gedung MPR/DPR secara bertahap meninggalkan gedung tersebut. Habibie sebagai wakil presiden kemudian diambil sumpahnya sebagai Presiden RI ke 3 dan memerintah Indonesia pada 1998 – 1999.
Tampilnya Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto sempat menjadi polemik dikalangan para ahli hukum. Sebagian menilai bahwa hal itu inkonstitusional. Pendapat yang konstitusional didasarkan pada Pasal 8 UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan jika presiden mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa tugasnya. Adapun yang menyatakan inkonstitusional didasarkan pada Pasal 9 UUD 1945 yang menyatakan sebelum presiden memangku jabatan, presiden harus mengucapkan sumpah dan janji di depan MPR dan DPR. Adapun Habibie ketika itu melakukannya di depan Mahmakah Agung dan anggota MPR/DPR yang tidak bersifat kelembagaan.
Untuk mengatasi polemik ini, pada 10-13 November 1998 dilaksanakan Sidang Istimewa MPR. Hasilnya adalah menerima pengunduran diri Soeharto sebagai presiden dan secara otomatis Habibie menggantikannya sehingga sesuai Pasal 8 UUD 1945. Namun, Habibie tidak dapat melanjutkan hingga masa berakhirnya jabatan Soeharto sebagai presiden karena tugas utama Habibie adalah menyelenggarakan pemilu secepatnya. Selain mencabut TAP MPR No. V/MPR/1998 yang mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI untuk yang ke 7 kalinya, sidang istimewa ini juga mencabut tiga TAP MPR lainnya yaitu TAP No. II/MPR/1998 tentang Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN), dan TAP No. IV/MPR/1998 tentang Referendum.
Ketika Habibe menggantikan Soeharto sebagai presiden pada 21 Mei 1998, ada lima isu besar yang harus dihadapinya, yaitu tuntutan reformasi, masalah dwifungsi ABRI, tuntutan dari daerah – daerah yang ingin melepaskan diri dari Indonesia, masa depan Soeharto dan keluarga, kekayaan, dan kroni – kroninya, serta masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dalam waktu yang relatif singkat, Habibier kemudian membentuk kabinet yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan.
Kabinet Reformasi Pembangunan |
Habibie mewarisi negara yang hampir bangkrut dari pemerintah lama, utang bertumpuk, hutan – hutan rusak berat karena ulah pengusaha HPH dan bencana El Nino, krisis pangan merebak sejak pertengahan 1977, menurunnya daya beli rakyat, kemiskinan absolut meningkat jumlahnya, dan pengangguran mencapai angka 20 juta orang pada 1998. Utang luar negeri telah mencapai 137.424 miliar dollar AS pada Maret 1998, utang yang sebesar ini menurut catatan Bank Indonesia pada Februari 1998, sebesar 73.962 miliar dollar AS adalah utang dari para konglomerat. Adapun 10,5 miliar dolar AS merupakan utang dari bank – bank komersial yang berjangka pendek dan berbunga tinggi. Pada saat itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah sampai di atas 500% yang tentu saja banyak perusahaan tak mampu bertahan. Terjadi pemutusan hubungan kerja massa, sedangkan tenaga kerja baru tidak dapat tertampung di pasar kerja yang menyebabkan tingginya angka pengangguran. Keadaan tidak banyak berubah hingga 90 hari pertama pemerintahannya dan ini dinilai sebagai sebuah bukti kegagalannya untuk mengubah keadaan.
Dibalik segala kekurangan tersebut, pemerintah Habibie bersama kebinetnya kemudian melakukan langkah tepat didalam mengatasi tuntutan reformasi, diantaranya :
- membebaskan para tahanan politik, seperti ketua dan pendiri Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Sujatmiko, dan tokoh buruh Muchtar Pakpakan,
- memberikan pengurangan hukuman terhadap 16.813 tahanan di seluruh tanah air,
- memberikan rehabilitasi kepada tokoh – tokoh, seperti H.R. Dharsono, A.M. Fatwa, Ir. Sanusi, dan tokoh lainnya yang memperoleh hukuman pada masa Orba akibat tindakan mereka yang menentang kebijakan pemerintah,
- penghentian surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) ciptaan Soeharto yang mencekal kebebasan pers,
- memberikan gelar pahlawan reformasi kepada empat mahasiswa Trisakti, dan satu pelajar SMA yang tewas tertembak di kampus Trisakti ketika terjadi kerusuhan pada 12 – 13 Mei 1998,
- kebebasan berserikat dan berkumpul, bahkan kebebasan untuk mendirikan partai politik yang selama pemerintahan Orba dilarang, dibuka lebar oleh Habibie. Tidaklah mengherankan ketika pemilu digelar pada masa pemerintahannya terdapat 200 lebih partai politik yang turut meramaikan pesta demokrasi tersebut, dan
- pemerintah transisi ini juga berhasil menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga dibawah Rp 10.000 per dolar AS yang pada akhir kekuasaan Soeharto sempat menembus angka Rp 18.000 per dolar AS.
Dalam hal tuntutan reformasi lainnya, terutama yang menyangkut tentang pengadilan terhadap Soeharto, pemerintah Habibie hanya mampu membawa Soeharto menyerahkan sendiri semua aset yang dikuasainya. Hal ini sebenarnya telah merupakan capaian hasil yang cukup jauh dalam urusan dengan mantan penguasa Orde Baru karena pemerintahan dari presiden berikutnya tidak ada yang bertindak sejauh ini. Pada tahun 2006, Jaksa Agung Abdurrahman Saleh mengeluarkan surat keputusan penghentian penuntutan terhadap Soeharto. Hal ini tentu menimbulkan protes yang cukup keras dari berbagai kalangan.
Salah satu keberhasilan yang menonjol dari kabinet Habibie yang hanya selama 512 hari itu adalah penataan kembali BUMN. Dalam hal ini, peranan Tanri Abeng sebagai menteri sangat menentukan, terutama dalam hal menata kembali manajemen BUMN dengan memisahkannya dari birokrasi pemerintah. Tanri berhasil mengurangi KKN yang berkembang di tubuh BUMN.
Tokoh lain yang juga berperan penting dalam Kabinet Reformasi Pembangunan adalah Adi Sasono yang ketika itu menjabat sebagai menteri koperasi. Gagasannya tentang ekonomi kerakyatan telah membawa angin segar bagi para pengusaha kecil dan menengah. Perekonomian rakyat yang sebagian besar bergerak di sektor informal ternyata terbukti lebih tahan terhadap krisis, tetapi tidak dapat berkembang menjadi besar karena tidak adanya modal. Dalam kehidupan politik, pemerintahan transisi ini dapat dikatakan berhasil karena mampu menyelenggarakan pemilu yang dinilai paling demokratis setelah Pemilu 1955. Pemerintah juga mempersilahkan lembaga independen untuk turut menyaksikan dan mengawasi jalannya pemilihan. Hasil pemilu menunjukkan PDIP muncul sebagai pemenang, tetapi tidak berhasil mengantar sang ketua Megawati Soekarnputri menjadi presiden karena adanya arus penolakan terhadap sosok presiden perempuan.
Serta pertanggungjawaban Habibie ditolak oleh MPR, Habibie tidak dapat mengikuti pencalonan sebagai presiden. Selain hal itu, Habibie dinilai gagal dalam menjaga keutuhan negara karena memberi opsi kemerdekaan kepada Provinsi Timor – Timur dan melepaskan diri dari Indonesia. Hasil pemilu 1999 telah menunjukkan adanya lima partai besar, yaitu PDIP pimpinan Megawati Soekarnoputri, Golkar pimpinan Akbar Tanjung, PPP pimpinan Hamzah Haz, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan Abdurrahman Wahid, dan Partai Amanat Nasional (PAN) pimpinan Amien Rais. Kelima partai ini meraih suara terbanyak dalam pemilu dan memperoleh hak untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden dalam Sidang Umum MPR yang diselenggarakan pada 1-21 Oktober 1999.
Sidang umum MPR diawali dengan pemilihan pimpinan DPR dan MPR. Pemilihan dilakukan secara demokratis. Hasilnya, Ketua Umum Golkar Akbar Tanjung terpilih sebagai ketua umum DPR dan Ketua Umum PAN terpilih sebagai ketua umum MPR. Setelah itu, dilanjutkan dengan agenda memilih presiden RI. Ada tiga calon yang bersaing ketat, yaitu Megawati Soekarno Putri (PDIP), Abdurrahman Wahid (PKB), dan Yusril Ihza Mahendra (PBB).
Tampilnya tiga calon presiden memperlihatkan kemajuan yang luar biasa karena selama Orde Baru yang muncul selalu calon tunggal yaitu Soeharto. Sehari sebelum pemilihan, Yusril Ihza Mahendra mengundurkan diri dari pencalonan sehingga menyisakan Megawati Soekarnoputri dan Abdurrahman Wahid dalam perebutan posisi presiden RI. Akhirnya, MPR memutuskan memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI dengan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden RI.