Historiografi Kolonial Pada Masa Hindia Belanda (1816-1942)

Rahmad Ardiansyah

A. Pengertian Historiografi

Perkataan sejarah mempunyai dua arti yang dapat membedakan sejarah dengan penulisan sejarah. Sejarah dalam arti obyektif, adalah kejadian sejarah yang sebenarnya. Terjadi hanya sekali (History of Actuality). Sejarah dalam arti subyektif ialah gambaran atau cerita serta tulisan tentang suatu kejadian (History as Written atau Historiografi). Dari sudut etimologis Historia dan Grafein berarti penyelidikan tentang gejala alam phisik (Physical Research), sedangkan kata Grafein berarti gambaran, lukisan, tulisan atau uraian (discription). Sedangkan secara harafiah historiografi dapat diartikan sebagai uraian atau tulisan tentang hasil penelitian mengenai gejala alam. Namun dalam perkembangannya historiografi juga mengalami perubahan. Hal ini disebabkan para sejarawan mengacu pada pengertian historia, sebagai suatu usaha mengenai penelitian ilmiah yang cenderung menjurus pada tindakan manusia di masa lampau. Dari penjelasan tersebut dapat dipetik suatu kesimpulan historiografi merupakan tingkatan kemampuan seni yang menekankan pentingnya ketrampilan, tradisi akademis, ingatan subyektif (imajinasi) dan pandangan arah yang semuanya memberikan warna pada hasil penulisannya. Dengan demikian berarti bahwa historiografi sebagai suatu hasil karya sejarawan yang menulis tulisan sejarah.

B. Bagaimanakah Historiografi Kolonial pada masa Hindia Belanda (1816-1942)

Penulisan sejarah Hindia Belanda yang tertua dapat disebut pada buku-buku harian kapal yang pada zaman keemasan dicetak dalam jumlah yang besar dan banyak dibaca. Kini buku-buku tersebut diterbitkan kembali dengan lengkap oleh Van Linschoten Vereeniging. Suatu kisah umum yang pertama tentang kegiatan-kegiatan VOC pada masa permulaan terdapat dalam buku Begin ende voortganck van de vereenigde Nederlandsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie. Walaupun pelajar-pelajar ke Hindia (Oostinjevaarders) tidak datang untuk belajar melainkan untuk berdagang, sebagian besar dari mereka tidak bisa menghindarkan diri dari mencatat beberapa keterangan tentang berbagai hal yang aneh yang mereka lihat dan dengar. Sangatlah menarik perhatian betapa ekstensifnya surat-surat resmi kompeni dan penuh dengan keterangan-keterangan etnografis dan historis. Tetapi sayang sekali dokumen ini kebanyakan berada dalam arsip. Hanya beberapa dokumen saja yang dikeluarkan dalam zaman Campagnie itu juga seperti buku Van Goen tentang pulau Jawa. Buku yang pertama dalam jenisnya ini justru menceritakan pegawai kompeni yang sejati, penuh perhatian pada masyarakat pribumi yang menakjubkan.

C. Ciri-ciri dari Historiografi Kolonial pada masa Hindia Belanda

Historiografi kolonial memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan historiografi pada periode yang lainnya. Historiografi kolonial ditulis oleh sejarawan atau orang-orang pemerintah kolonial yang intinya bahwa yang membuat adalah orang barat.

Pembuatan historiografi ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai bahan laporan pada pemerintah kerajaan Belanda, sebagai bahan evaluasi menentukan kebijakan pada daerah kolonial. Oleh karena itu motivasinya adalah sebagai bahan laporan maka yang ditulisnya pun adalah sejarah dan perkembangan orang-orang asing di daerah kolonial khususnya Indonesia. Sangat sedikit hasil historiografi kolonial yang menceritakan tentang kondisi rakyat jajahan.

Historiografi kolonial dengan sendirinya menonjolkan peranan bangsa Belanda dan memberi tekanan pada aspek politis, ekonomis dan institusional. Hal ini merupakan perkembangan secara logis dari situasi kolonial dimana penulisan sejarah terutama mewujudkan sejarah dari golongan yang dominan beserta lembaga-lembaganya. Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat mitologisasi dari dominasi itu, dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan untuk survival masyarakat serta kebudayaannya.

Ciri dari historiografi kolonial masa Hindia Belanda adalah memiliki sifat Eropa Sentris atau yang lebih fokusnya adalah Belanda Sentris. Boleh dikatakan bahwa sifat ini memusatkan perhatiannya kepada sejarah bangsa Belanda dalam perantauannya, baik dalam pelayarannya maupun permukimannya di benua lain. Jadi yang primer ialah riwayat perantauan atau kolonisasi bangsa Belanda, sedangkan peristiwa-peristiwa sekitar bangsa Indonesia sendiri menjadi sekunder. Sumber-sumber yang dipergunakan ialah dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta (Batavia). Pada umumnya tidak menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Fokus pembicaraannya adalah bangsa Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda. Itulah sebabnya sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentries atau Belanda sentris. Uraian utama yang dibentangkan secara panjang lebar adalah aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat tanah jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama sekali.

Contoh historigrafi kolonial, antara lain sebagai berikut:
a) Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van Leur.
b) Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke.
c) Indonesian Society in Transition karangan Wertheim

D. Mazhab Penulisan Sejarah masa Kolonial

1. Mazhab Batavia
Dalam Arsip Negara di Batavia terbentuk suatu mazhab sejarawan-sejarawan Hindia yang mencurahkan perhatiannya pada penerbitan sumber. Antara lain dengan diterbitkannya N.I. Plakkaatboek dan Dagregister (1682) oleh Mr. J.A van der Chije yang disimpan di Kasteel di Batavia. Kepala arsip Negara, F. de Haan, memperkaya Hindia dengan banyak naskah orisinil. Kita hanya tahu karyanya yaitu “Priangan” dan “Oud Batavia” yang popular pada saat itu. Mereka menulis karya-karyanya hanya mengenal Hindia dan penduduk-penduduk Eropa saja melalui pengamatanya sendiri, sehingga penilaian mereka tentang orang-orang Eropa itu tidak lebih baik, paling tidak miliki alasan yang kuat. Sedangkan perhatian mereka pada orang-orang pribumi hanya insidentil saja. Mereka hanya melihat dari sumber buku-buku Campagnie. Tidak ada seorang pun yang bisa mempelajari sumber-sumber pribumi yang asli. Dengan demikian corak penulisan mereka lebih kepada ciri Nasionalistis Nederland, sedangkan sejarah Batavia dan perkumpulan Oud-Batavia telah menjadi kombinasi museum dan Coen-mausoleum.

2. Mazhab Utrech
Sejak 10 tahun akhirnya Prof. Gerretson melakukan suatu perjuangan terhadap pengertian-pengertian tentang keadaan kolonial yang tidak bisa dikatakan tidak berhasil sama sekali, agar mendapatkan pandangan yang lebih baik dalam hak-hak dan kewajiban kolonial. Dengan demikian mazhab ini beraliran konservatif yang diperkenalkan oleh Gubernur Jendral van der Capellen dan bahkan membela cultur stelsel yang bertentangan dengan kaum kolonial-liberalisme dan etis pada saat itu. Mazhab Utrecht menggali masalah-masalah kolonial lebih mendalam dari pada yang pernah dilakukan dan mazhab batavia memperlihatkan perhatiannya kepada orang-orang kolonial. Dibandingkan dengan aliran yang sebelumnya, maka terlihat perbedaan dalam tujuan yang hanya membahas mengenai kegiatan-kegiatan kolonisator. Akan tetapi dalam metodenya tidak memilki perbedaan yaitu sama-sama menggunakan sumber dari peninggalan-peninggalan tertulis maupun lisan dari orang-orang pribumi. Seperti pada tahun 1600, hanya sedikit yang menceritakan tentang periode Hindu Jawa dan Islam tetapi lebih banyak mengungkapkan hal-hal pada masa Campagnie.

E. Kelebihan & Kelemahan Historiografi Kolonial

1) Kelebihan Historiografi Kolonial
Tidak disangkal bahwa historiografi masa kolonial turut memperkuat proses naturalisasi historiografi Indonesia. Terlepas dari subyektifitas yang melekat, sejarawan kolonial berorientasikan fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Kekayaan akan fakta-fakta sungguh mencolok. Pembicaraan mengenai perkembangan historiografi Indonesia tidak dapat mengabaikan literatur historiografis yang dihasilkan oleh sejarawan kolonial.

1) Kelemahan Historiografi Koloniala)
Subyektifitas Tinggi Terhadap Belanda Subyektifitas begitu melekat pada historiografi masa kolonial. Sejarawan kolonial pada umumnya deskripsinya berorientasikan pada kejadian-kejadian yang menyangkut orang-orang Belanda, misalnya dalam sejarah VOC. Banyak kupasan-kupasan yang menekankan ciri yang menonjol yaitu Nederlandosentrime pada khususnya dan Eropasentrisme pada umumnya. Apabila kita mengingat banyaknya perlawanan selama abad 19, baik yang berupa perang bersekala besar (Perang Padri, Perang Diponegoro, dan Perang Aceh) maupun yang bersekala kecil yang dilakukan oleh rakyat disebut rusuh atau brandalan. Seperti pemberontakan di Cilegon, Gedangan, Jambi, Cimareme. Sejarah perang kolonial terutama menguraikan berbagai operasi militer secara mendetail, sedangkan bangsa Indonesia hanya disebut sebgai obyek dari aksi militer itu.

b) Kekurangan Kualitatif dari Sejarawan-Sejarawan Kolonial
Kebanyakan buku tentang sejarah kolonial mempunyai hal-hal yang kaku dan dibuat-buat. Buku-buku yang seluruhnya ditulis dari ruang studi di Belanda dan hampir seluruhnya membahas Gubernemen dan pejabat-pejabatnya dan orang-orang pribumi yang kebetulan dijumpai. Hanya sedikit dibicarakan tentang rakyat yang berfikir, yang merasa dan bertindak dan hampir tidak seorang pun yang berusaha meneliti syair-syair, hikayat, babad, dan sejarah. Apa yang menjadi pertimbangan dan pendapat mereka karena kebanyakan sejarawan Campagnie hampir tidak menceritakan akan adanya tulisan-tulisan pribumi atau menilainya terlalu rendah. Mereka malu akan bahan-bahannya baik orang Eropa maupun orang pribumi dikritik. Bahwa keadaannya jauh lebih baik dan hal ini membenarkan kehadiran orang-orang Eropa sekarang.

c) Kekurangan Kuantitatif
Setelah masa kompeni relatif sedikit karya-karya yang diterbitkan yang disebabkan oleh sistem kerahasian yang fatal dan yang berlaku pada masa itu dan pergawasan yang menurun terhadap jajahan pada abad ke-18. Berdasarkan jumlah bahan arsip yang banyak, hanya sedikit saja yang merupakan sumber terbuka. Cukup besar keuntungan kita apabila mempunyai penerbit dari Generalie Missiven atau laporan-laporan kolonial yang dititipkan setiap tahun, satu atau beberapa exemplar pada kapal-kapal yang berlayar pulang. Tidak hanya mengenai sejarah Hindia Belanda melainkan juga tentang sejarah Asia dan Afrika. Kita saat ini hanya memiliki suatu penerbitan yang sangat tidak lengkap dari missiven yang dikumpulkan oleh ahli arsip kerajaan, de Jonge memiliki hubungan Indonesia. Penerbit ini dicetak atas kertas yang buruk sekali, sehingga penerbit ini tidak akan bertahan lama hal ini merupakan salah satu contoh kesulitan yang di hadapi seorang sejarahwan kompeni. Jumlah buku tentang sejarah Indonesia sangatlah minim.

Sumber :
Sartono Kartodirdjo. 1968. Beberapa Fatsal Dari Historiografi Indonesia. Yogyakarta: kanisius.
Sartono Kartodirdjo. 1960. Historiografi. Yogyakarta: Fak. Sastra dan Kebudayaan UGM.
Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia
Soedjatmoko. 1995. Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Boomgard,Peter. 2004. Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial Ekonomi Jawa 1795-1880. Jakarta: KITLV & Djambatan. www.http//Blogger Seberkas Sejarah.com/ www.http//Blogger Syahdan Sejarah.com/

Bagikan:

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang, Calon Guru Penggerak angkatan 11 Kota Semarang dan kontributor Modul Pembelajaran MGMP Sejarah Kota Semarang.

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah