Para pendukung strategi perjuangan diplomasi boleh merasa senang karena dengan pengakuan de facto kedudukan RI dalam percaturan politik dunia menjadi makin kuat. Berbagai negara mengakui eksistensi RI. Simpati terhadap RI, yang memillih jalan perundingan untuk menyelasaikan pertikaian, terus meningkat.
Iktiad baik RI ternyata dibalas pihak Belanda dengan melancarkan Agresi I pada tanggal 21 Juli 1947. Agresi I ini merupakan awal dari perang Kemerdekaan I. Sungguh nyata bahwa RI mendapat simpati dari dunia luar. Lewat DK-PBB, India dan Australia mempelopori usaha penyelesaian pertikaian lewat perundingan. DK-PBB membentuk Komisi Jasa-jasa baik untuk membantu penyelesaian pertikaian itu. Dengan bantuan Komisi dapatlah diselenggarakan perundingan Renville yang menghasilkan persetujuan Renville.
Persetujuan ini menyebabkan ketidakpuasan di kalangan politik RI sehingga kabinet Amir, yang menjadi arsitek persetujuan, jatuh. Kedudukannya digantikan oleh Kabiner Presidental dibawah pimpinan Wakil Presiden Hatta.
Dalam masa Kabinet Hatta PKI melancarkan pemberontakan di Madiun. Dengan cepat pemerintah memadamkanpemberontakan itu. Divisi Siliwangi, yang “hijrah” dari daerah basisnya di Jawa Barat karena Renville, bersama Divisi Brawijaya berjasa besar dalam pemadaman pemberontakan tersebut.
Pemberontakan PKI 1948 merupakan tikaman dari belakanh, yang secara fisik melemahkan RI. Karena itu Belanda menggunakan kelemahan itu untuk melancarkan agresi II pada tanggal 19 Desember 1948. Meletuslah kemudian Perang Kemerdekaan II.
Serangan tersebut ternyata merupakan kekeliruan besar bagi Belanda, karena serangan itu dilancarkan persis didepan hidung KTN, sehingga badan PBB ini cenderung bersimpati kepada RI. Simpati ini juga berdatangan dari berbagai negara, khususnya negara-negara Asia, yang atas Prakarsa PM Nehru dari India, menyelenggarakan Konferensi Inter-Asia di New Delhi. Konferensi ini dengan tegas membea RI dan mengecam Belanda.
Simpati juga datang dari Amerika Serikat, yang merasa yakin bahwa RI, yang merasa yakin bahwa RI, yang ternyata anti-komunis, akan menjadi sahabat Amerika yang dapat diandalkan dalam perang melawan Rusia. Berbagai negara yang bersimpati kepada RI menyerukan agar pertikaian RI-Belanda diselesaikan dengan perundingan. Lahirlah resolusi DK-PBB 28 Januari 1949. Namun baru setelah Amerika mendesak Belanda, yang disebut akhir ini mau menaati resolusi DK-PBB. Diadakanlah kemudian perundingan Rum-Royen (Roem-Roijen) di Jakarta, yang memghasilkan persetujuan tangggal 7 Mei 1949. Pertikaian Indonesia-Belanda kemudian diselesaikan lewat KMB. Dengan KMB Belanda memberikan pengakuan kedaulatan kepada RIS pada tanggal 27 Desember 1949.
Karena RIS tidak sesuai dengan amanat proklamasi, maka tanggal 17 Agustus 1950 RIS dilebur. Peleburan ini dilakukan secara konstitusional. Terwujudlah NKRI (negara Kesatuan Republik Indonesia) pada tanggal tersebut. Konstitusi RIS diubah menjadi UUDS 1950. Seperti halnya Konstitusi RIS, UUDS 1950 ini juga bercorak liberal. Dengan UUDS 1950 kita mempraktekkan demokrasi Liberal, demokrasi Parlementer atau demokrasi konstitusional. Sejak dimaklumkannya NKRI sampai 1950 situasi politik di Indonesia tidak menentu. Pertentangan partai menjadi-jadi. Kabinet silih berganti bangun-jatuh. Kadang-kadang pertentangan begitu hebat oemberintakan. Konstituante yang dibentuk lewat pemilihan 1955 tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya karena pertentangan partai megenai dasar negara. Pertentangan ini memang dapat tumbuh subur karena kita menerapkan demokrasi liberal.
Kemacetan Konstituante diatasi dengan kembali ke UUD 1945. Karena Konstituante tidak mau menerima ajakan kembali ke UUD 1945 dengan memanfaatkan wewenang yang ada padanya, maka Presiden didukung oleh banyak partai dan ABRI mendekritkan UUD 1945 berlaku kembali di seluruh Indonesia pada tanggal 5 Juli 1959. Dengan berlakunya kembli UUD 1945, mulailah dipraktekkan demikrasi terpimpin sebagai pengganti demokrasi liberal. Mulai saat itu juga dipraktekkan dwi-fungsi ABRI, ABRI sebagai kekuatan Hankan dan Sospol. Dalam praktek demokrasi terpimpin tak ubahnya dengan diktatur. Demokrasi tersisih, yang nampak tertinggal hanya terpimpinya saja. Ini nampak antara lain dengan pemusatan kekuasaan pada Presiden, memang gelar kehormatan yang diberikan kepadanya yaitu PBR.
Selama ini juga terlihat banyak penyelewangan, baik ideologis maupun konstitusional. Penyelewengan ideiologis misalnya ajaran bahwa Pancasila sama dengan Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) dan Pancasila dianggap sama dengan Marxisme yang diteraokan di Indonesia. Penyelewengan konstitusional misalnya dalam bentuk pengangkatan Presiden Soekarno menjadi Presiden seumur hidup. Pertentangan politik dalam masa demokrasi terpimpin juga berkembang. Puncaknya adalah pemberontakan PKI 1965. ABRI bersama rakyat menumpas pemberontakan itu. Berbeda dengan menghadapi PKI 1948 yang tegas, maka dalam menghadapi pemberontakan PKI 1965 Presiden Soekarno tidak panas. Ia tidak mau menghukum PKI dengan dalih Nasakom.
Sikap Presiden yang tidak tegas dalam menghadapi pemberontakan PKI 1965 menyebabkan rakyat dan ABRI tidak puas, sehingga timbul gerakan melawan kepemimpinan Presiden Soekarno. Karena Presiden Soekarno tidak tanggap terhadap tuntutan rakyat, TRITURA, maka dalam sidang istimewa MPRS 1967, lembaga tertinggi negara ini mencabut mandat dari Presiden. Pemerintah Orde Baru, begitu nama Orde yang lahir pada tanggal 11 Maret 1966, bertekad untuk membangun. Karena keterbatasan dana dan ahli, maka pembangunan perlu diselenggarakan secara bertahap dan dengan bantuan luar negeri. Hasilnya memberi harapan akan terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.