Kaum liberal juga menuntut pembubaran pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda terutama yang didorong oleh tokoh – tokoh saah satunya adalah Edward Douwes Dekker yang menyuarakan protesnya dengan mengeluarkan buku Max Havelaar. Dalam tulisannya, ia menyamarkan namanya dengan nama Multatuli. Buku kedua adalah buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak – kontrak gula) yang ditulis oleh Frans van de Pute. Kedua buku ini mengkritik dengan keras pelaksanaan Tanam Paksa.
Banyaknya penolakan Tanam Paksa menjadikan pemerintah secara berangsur – angsur mulai menghapus sistem tersebut dan mulai menerapkan sistem politik ekonomi liberal. Hal tersebut didorong oleh isi kesepakatan di dalam Traktat Sumatera yang ditandatangani pada tahun 1871.
Dalam Traktat Sumatera tercantum bahwa Belanda diberi kebebasan dalam rangka memperluas daerahnya hingga ke wilayah Aceh. Namun, sebagai imbalannya Inggris meminta Belanda menerapkan ekonomi liberal agar pihak swasta termasuk Inggris dapat menanamkan modalnya di tanah jajahan Belanda di Hindia Belanda.
Penetapan sistem politik ekonomi liberal memberi peluang kepada pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah jajahan. Seiring diterapkannya ekonomi liberal di negeri jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan perundang – undangan. Diantaranya :
- Tahun 1864 dikeluarkan Undang – Undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet). Berdasarkan undang – undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan Parlemen.
- Undang – undang Gula (Suiker Wet). Undang – undang ini mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang kemudian secara bertahap diserahkan kepada pihak swasta.
- Undang – undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang – undang ini mengatur adanya prinsip – prinsip politik di negeri jajahan. Dalam undang – undang ini ditegaskan diantaranya :
- Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanah milik penduduk pribumi berupa persawahan, kebun, ladang dan sebagainya. Kedua, tanah hutan, pegunungan dan lainnya yang tidak termasuk tanah milik penduduk merupakan tanah milik pemerintah Belanda.
- Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah
- Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah milik penduduk maupun pemerintah. Tanah milik pemerintah dapat disewa selama 75 tahun, sedangkan tana milik penduduk dapat disewa selama 5 tahun ada juga yang hingga 30 tahun. Sewa menyewa tanah sepenuhnya harus didaftarkan kepada pemerintah Belanda.
Setelah ditetapkannya UU Agraria ini, pihak swasta semakin banyak memasuki tanah jajahan di Hindia Belanda. Mereka memainkan peranan penting dalam rangka eksploitasi tanah jajahan. Pada saat inilah dimulai yang namanya era imperialisme modern. Secara seingkat imperialisme modern dapat diartikan sebagai berikut :
- Tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di Eropa dan tempat penanaman modal asing.
- Tempat pemasaran barang – barang hasil industri dari Eropa
- Penyedia tenaga kerja yang murah.
Usaha perkebunan di Hindia Belanda semakin berkembang pesat. Jenis – jenis tanaman seperti tebu, tembakau, kopi, teh, kina, kelapa sawit dan karet benar – benar diperhatikan. Industri ekspor berkembang pesat seiring meningkatnya permintaan di pasaran dunia. Bagi rakyat pribumi, pelaksanaan usaha swasta sama sekali tidak merubah kondisi mereka dari penderitaan. Pelaksanaan kerja paksa masih terus dilakukan seperti pada pelaksanaan pembangunan jalan raya, jembatan, jalan kereta api, saluran irigasi, benteng – benteng dan sebagainya.
Disisi lain, rakyat masih harus membayar pajak sementara hasil pertanian semakin menurun. Kerajinan – kerajinan masyarakat semakin terdesak dengan adanya peralatan perindustrian yang semakin maju. Alat transportasi seperti dokar dan gerobak juga semakin terpinggirkan.