Ayah Cut Nyak Meutia seorang yang bijaksana dan sangat sayang dengan rakyatnya, karena itulah beliau juga dikenal sebagai seorang ulama hingga akhir hayatnya. Beliau tidak mau tunduk maupun patuh terhadap Belanda, tidak heran jika sikap kesatria nya juga turun kepada Cut Nyak Meutia.
Masa Muda Cut Nyak Meutia
Cut Nyak Meutia tidak hanya memiliki nama yang indah, beliau juga punya paras yang cantik dan tubuh yang indah. Seperti yang diungkapkan penulis Belanda, bahwa Cut Nyak Meutia tidak hanya amat cantik, tetapi beliau juga punya tubuh yang gagah. Cut Nyak Meutia biasa menggunakan pakaian adat yang indah seperti kebiasaan wanita aceh dengan silueue (Celana) sutera berwarna hitam dengan baju kancing perhiasan emas yang tertutup erat dengan rambutnya yang hitam dihiasi ulee cemara emas. Gelang kaki juga melingkar lunglai, wanita yang benar-benar seperti bidadari.
Setelah Cut Nyak Meutia dewasa, beliau dinikahkan dengan Teuku Syamsarif yang bergelar Teuku Chik Bintara. Namun suaminya memiliki watak lemah dan sikap yang ingin berdampingan dengan Belanda.
Pernikahan Cut Nyak Meutia tidak bisa bertahan lama, beliau akhirnya bercerai dan Cut Nyak Meutia menikah lagi dengan adik Teuku Syamsarig sendiri, yaitu Teuku Chik Muhammad atau lebih dikenal dengan Teuku Chik Tunong. Setelah itu beliau dan suami berhijrah ke gunung untuk melawan Belanda.
Perlawanan Melawan Belanda
Tahun 1901 merupakan awal dari pergerakan melawan Belanda, beliau dan suaminya melawan Belanda hingga akhir hayatnya. Cut Nyak Meutia memimpin pasukan setelah pang Naggroe Syahid dan basis pertahanan nya dipindahkan ke daerah Gayo dan alas bersama pasukan yang dipimpin oleh Teuku Seupot Mata.
Kemudian pada tangga 22 Oktober 1910, pasukan Belanda mengejar Cut Nyak Meutia yang diperkirakan sedang berada di daerah Lhokreuhat. Keesokan harinya, pengejaran dilakukan kembali ke daerah Krueng Putoe, lalu menuju ke bukit Paya. Cut Nyak Meutia saat itu semakin terjepit, dan selalu berpindah-pindah dari satu gunung ke gunung lain. Kemudian pada tanggal 25 Oktober di Krueng Putoe, pasukan dari Cut Nyak Meutia menghadapi serangan Belanda.
Disinilah Cut Nyak Meutia bersama pasukan muslim lainnya seperti Teuku Chik Paya Bakong, Teuku Mat saleh dan Teungku Seupot Mata gugur. Cut Nyak Meutia sempat mewasiatkan kepada Teuku Syech Buwah untuk tidak menghadapi serangan Belanda kembali. Beliau memberikan taktik untuk mundur sejauh mungkin, kemudian menyusun kembali serangan karena posisi mereka sudah sangat terjepit kala itu. Cut Nyak Meutia menitipkan anaknya untuk dicari dan dijaga kala itu. Cut Nyak Meutia wafat di Alue Kurieng, Aceh pada tanggal 24 Oktober 1910, kemudian Cut Nyak Meutia dinobatkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional pada tanggal 2 Mei 1964 berdasarkan Keppres No. 106 tahun 1964.