Review Buku “Asal Mula Konflik Aceh dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad Ke-19”

Rahmad Ardiansyah

Judul BUKU : Asal Mula Konflik Aceh dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad Ke-19
Penulis : Anthony Reid
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tahun terbit : 2005
Tebal buku : 372 halaman  

“KEHIDUPAN DAN KONFLIK YANG BERKELANJUTAN DI ACEH”

Buku ini merupakan hasil garapan kreatif dari seorang ahli sejarah Asia Tenggara. Beliau adalah Anthony Reid,ia merupakan direktur Asia research institute di university of Singapore. Ia pernah belajar di Selandia baru dan Cambrige. Ia seorang pengajar dan meneliti di University of Malaya (Kuala lumpur,1965-1970).Australian National University (Canberra,1970-1999) dan memberikan kuliah singkat di Yale,Aucland ,Ujung pandang (Makassar), Hawai dan Oxford.Ia menjadi direktur center for southeast Asia studies di university of California,Los angles(1999-2002).

Dasar buku non fiksi ini adalah desetasi di Cambrige University yang ditulis 40 tahun yang lalu. Ada beberapa bagian akhir direvisi pada tahun 1968 dalam hal pengetahuan utamanya,dengan menerjemahkan the Contest for North Sumatra(1969). Meskipun demikian,tulisan ini padas dasarnya tesis akademik Yang terutama bersumber dari arsip-arsip Eropa. Awalnya Aceh tidak pernah menjadi pemberitaan utama di dunia dan bukan menjadi wilayah konflik di Indonesia yang sedang mengalami kesulitan pada masa itu. Di tahun 1990-an,orang-orang aceh menjadi korban bersalah atau tidak bersalah akibat perang di wilayah mereka. Dan juga di tahun 2005.wilayah Aceh kembali menjadi perhatian dunia seperti yang pernah terejadi di tahun 1870. Jika dahulu orang aceh menjadi korban agresi Belanda dan real politik Inggris.Namun sekarang berbeda,orang-orang Acewh dianggap sebagai korban tak berdosa akibat terjangan Tsunami yang paling ganas didalam sejarah manusia.

Alasan lain mengapa penulis menulis buku ini adalah buku ini memaparkan peralihan yang tak mengenakkan bagi Sumatra utara khususnya Aceh. Dari beberapa kerajaan yang merdeka menjadi bagian dari hindia belanda. Hal ini tidak bisa dianggap menjadi konflik sederhana antara Imperialisme dan dan kedaerahan di Indonesia,namun juga sebagai konflik segitiga dan dalam konflik ini,kepentingan perdagangan straits settlements memainkan perang yang penting.Aceh dan Ooskust Vant Sumatra merupakan provinsi-provinsi hindia belanda yang paling terakhir menentang pengaruh hindia belanda. Hal tersebut di karenakan aceh dan Ooskust Vant sumatra hampir sepenuhnya wilayah perdangan Inggris. Setelah akhir abad,baru belanda merhasil mengatasi kesulitan dan meneguhkan kekuasaanya atas seluruh wilayah itudan mengakui kepentingan perdangan Inggris di pantai timur tetapi mengabaikannya dalam dengan Aceh.

Ketiga pihak dalam pertarungan ini tentu saja tidak terwakili secara berimbang. Sepanjang menyangkul dokumen – dokumen yang ada. Manfaat utama dari penggunaan sumber – sumber Inggris dan Belanda adalah dokumen Inggris memuat catatan yang boleh dikatakan simpatek mengenai kepentingan aceh, yang dapat mengimbangi kecenderungan alami Belanda. Dari sisi lain catatan kerajaan aceh tidak pernah ditemukan dan pandangan Aceh dikemukakan langsung hanya dalam segelintir kisah kepahlawwanan populer yang tidak akurat yang dicatat pada zaman itu.

Dalam buku ini dijelaskan bahwa pada zaman pra – islam atau zaman modern, wilayah Sumatra di utara garis khatulistiwa tampak jauh sekali. Penduduk wilayah itu, meski dilihat dari sisi suku bangsa termasuk orang Indonesia, hampir tidak tersentuh oleh peradaban besar Sriwijaya dan Majapahit. Namun dari sudut pandang Islam, Sumatra Utara selama 5 abad adalah titik pusat kepulauan Indonesia. Sudut barat laut Sumatra itu adalah daratan pertama tempat pedagang India dan Arab yang berlayar mencari harta ke China dan kepulauan rempah – rempah. Sejak abad ke – 11 dan menjelang akhir abad ke – 13 mereka membawa agama Islam dan organisasi politik ke beberapa kerajaan sampai pelabuhan yang sedang tumbuh disitu. Kerajaan – pelabuhan terbesar adalah Samudra (Pasai).

Untuk jangka waktu singkat Sumatra Utara dibayang – bayangi oleh Malaka sebagai pusat penting bagi pedagang Muslim di wilayah itu. Namun Pasai bertahan sebagai pusat pengetahuan agama Islam, dan secara alami menjadi tempat berkumpul para pedagang Muslim. Kerajaan – kerajaan di pantai timur yang terpecah belah dengan sangat tajamnya, hanya bersatu bila menghadapi Portugis. Sultan Ali Mughayad Syah dari Aceh mempersatukan kekuatan anti Portugis untuk mengusir pendatang baru itu dari markasnya di Pidiee (1521) dan Pasai (1524).

Kekuasaan kesultanan Aceh di dalam dan luar negeri mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636) yang cemerlang tapi keras. Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan di pantai timur, sampai ke asahan di selatan. Pelayaran penaklukan di lancarkannya jauh sampai ke Pahan, di pantai timus Semenanjung Malaya, dan pedagang asing dipaksa tunduk padanya. Kerajaannya kaya raya dan menjadi pusat ilmu pengetahuan tiada tanding di kepulauan itu.

Hal yang menjadi perhatian baba-bab dalam buku ini adalah persoalan khusus yang timbul akibat pemisahan kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik di Sumatra Utara pada masa ekspansi kekuasaan. Dalam buku ini penulis mengakhiri pembahasan peristiwa – peristiwa itu sampai tahun 1898, walaupun perang Aceh berlangsung terus sampai abad ke – 20. Sampai tahun itu pertarungan segitiga itu benar – benar nyata. Setelah itu nasib sumatra utara sudah ditetapkan, dan masalah utama kemudian adalah meredam perlawanan. Meski sangat penting untuk sejarah Indonesia, kemudian ini adalah masalah terpisah dan selain itu sudah banyak mendapat perhatian dari ilmuan.

Pada buku ini pengarang menggunakan ejaan Indonesia modern sebisa mungkin. Nama dari orang Indonesia menggunakan ejaan huruf Romawi seperti galibnya dalam bahasa standar Inggris atau Melayu, kecuali jika ada alasan bahwa orang yang bersangkutan sendiri menggunakan cara lain untuk nama dirinya.

Penulis kadangkalanya menggunakan istilah “Indonesia” yang belum lumrah dipakai pada abad ke – 19 untuk menerjemahkan istilah indie. Untuk menghindari kerancuan penulis juga menggunakan istilah Indonesia untuk penduduk asli semenanjung malaya dan kepulauan Indonesia.

Ada nilai lebih yang ditampilkan dalam buku ini. Meskipun terjadi banyak perubahan selama 40 tahun terakhir, namun tidak ada teks dari buku asli yang diubah untuk menerjemahkan saat ini, kecuali judulnya: asal mula konflik aceh tidak pernah terlintas dalam benak penulis di tahun 1960-an. Tepatnya karena teks asli seluruhnya tidak diarahkan kepada klaim atas kemerdekan Aceh, penulis memilih untuk mempertahankan teks ini seperti apa adanya. Hal tersebut dikarenakan motivasi sang penulis yaitu agar naskah tersebut seluruh mungkin dengan catatan sejarah dan sejauh ini selayak mungkin bagi kandidat seorang doktor untuk menunjukkan simpati kepada wilayah kecil yang mencoba bertahan hidup dalam lingkungan yang berseteru.

Disamping itu juga yang mengejutkan selama 40 tahun, literatur tentang penyatuan Aceh ke Hindia Belanda tidak banyak berubah sejak buku ini pertam kali diterbitkan. Dibandingkan buku tentang aceh lainnya di tahun 1945 misalnya yang ditulis oleh Nazaruddin Syamsudin, Isa Sulaeman, Eric Morris, Timothy Kell, Edward Aspinal. Dan beberapa tulisan mengenai kesultanan Aceh sebelum tahun 1824 oleh Denys Lombard, Ito Takeshi, Jorge Manuel Dos Santos Alves, Amirul Hadi dan Lee Kam Hing. Dan beberapa tulisan pada abad ke – 19 seperti yang ditulis oleh Prof. Ibrahim Alvian dalam bukunya yang berjudul Perang Dijalan Allah: Aceh 1873 – 1912 (Jakarta: 1987). Buku ini tetap menjadi satu – satunya catatan arsip studi yang cermat tentang masuknya Aceh kedalam perpolitikan di Indonesia.

Namun tidak dipungkiri bahwa dalam buku ini terdapat kelemahan. Penggunaan bahasa dalam nama tempat di Aceh menyangkut ortografi yang rumit yang diciptakan pertama kali oleh Snouck Hurgronje untuk mencerminkan diftong dalam bahasa lisan Aceh misalnya, pelabuhan yang sudah lama disebut orang dari luar Aceh “Olehleh” adalah oleelheue, sedangkan “Kertie” adalah Keureutoe. Ejaan ini mengikuti sistem ponetik bahasa Belanda atau Indonesia: “J” dibaca y dalam bahasa Inggris, “TJ” dibaca c dalam bahasa Inggris dan “SJ” dibaca sh. Sehingga banyak pembaca yang kurang mengerti dan harus menerka maksudnya. Selain itu juga nama ibu kota Aceh menimbulkan masalah yang agak khusus. Biasanya ibu kota disebut Aceh saja atau Banda Aceh (Kota Aceh) bila perlu dibedakan antara negara secara keseluruhan dan ibu kota. Namun setelah Belanda menundukkan pada tahun 1874 apa yang disebutnya Kraton Sultan, baru kemudian bahwa orang Aceh menyebut istana Kerajaan itu “Kutaradja” (Benteng Raja) Namun pada tahun 1963 secara resmi diubah kembali menjadi Banda Aceh.

Buku ini sangat cocok dibaca oleh orang – orang yang tertarik dalam perihal sejarah tentang Indonesia. Karena dalam buku ini memaparkan secara detail mengenai suatu peristiwa yang terjadi di daerah Sumatra Utara khususnya aceh.

Bagikan:

Rahmad Ardiansyah

Perkenalkan, saya Rahmad Ardiansyah, S.Pd. Guru lulusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Semarang, Calon Guru Penggerak angkatan 11 Kota Semarang dan kontributor Modul Pembelajaran MGMP Sejarah Kota Semarang.

Leave a Comment

Bantu kami untuk lebih berkembang dengan subcribe channel youtube idsejarah